Alkisah di ceritakan
Negeri Banduburi, selama memerintah Maharaja Shariyuna belum pernah mendapatkan
kemalangan, ia selalu mendapatkan berkah berupa negeri yang luas dan makmur
serta mendapatkan anak yang seantero negeri memuji akan kecantikannya. Maka
pada suatu tahun dan bulan genap, datanglah murka Tuhan padanya. Karena hawa
nafsu dan dengkinya pada saudara tuanya Buajangga Tala menyebabkan saudara
tuanya mengalah dan pergi keluar dari negerinya.
Pada suatu malam
datanglah air dari sebelah wetan (timur) dengan bergemuruh suaranya. Dalam
sekejab seluruh negeri habis dan terendam banjir, ada yang berlari ke sana
kemari, ada yang mencari pohon dan memanjat naik sampai ke atas, ada yang
meminta tolong dan menangis. Semua nya kalang kabut berlari mencari aman ke tempat-tempat
yang tinggi, karena air semakin lama semakin meninggi sampai ke puncak rumah.
Banyak yang mati tenggelam, sedangkan yang sudah mencapai tempat yang tinggi
seperti bukit atau gunung selamat namun kehilangan harta benda mereka. Semuanya
tidak ada yang tersisa, pintu kota dan pagar pagar tembok habislah tengelam
atau hanyut di terjang air. Segala gudang gudang obat, senapan hilang
tenggelam, begitupun juga kuda kuda dan kerbau juga mati karena tenggelam dan
ikut hanyut entah kemana. Istana raja yang begitu tinggi pun tenggelam sama
sekali. Pohon pohon besar pun tumbang tidak terlihat kembali. Negerai banduburi
pun dalam semalam sudah menjadi lautan, tidak terlihat lagi kehidupan disana.
Maharaja Sahriyuna
pun terhanyut kesana kemari dengan sebuah pohon kelapa. Istrinya pun meninggal
dan anaknya Tuan Putri Budi Wangi pun entah kemana. Dia timbul tenggelam
bergelayutan dengan pohon kelapa di bawa ombak, tiada makan dan minum. Beberapa
hari dan malam terasa tersiksa, dilihatnya tiang bendera dan pintu kota serta
istananya yang tinggi sudah tidak kelihatan lagi. Semuanya yang dilihat oleh
dia adalah lautan, maka menangislah dia meratap di batang kayu kelapa.
Sebermula, Tuan
Putri Budi Wangi ketika air besar sudah hampir naik, ia naik terus ke atas
puncak atap rumahnya bersama dengan dayang dayangnya dengan tangis meratap
merasa ketakutan. Sedangkan Merak Mas pun melayang layang sambil memperhatikan
putri merasa kasihan dan tidak dapat menolong apapun. Pada zaman dahulu kala nenek
moyangnya Tuan Putri menyimpan kulit mutiara yang terlalu amat besar dan lebar.
Kulit tersebut diletakkan nenek moyangnya di atas loteng rumahnya. Ketika Tuan
putri dan dayang dayang nya sudah sampai ke atap mereka menemukan kulit
tersebut. Tanpa pikir panjang Putri dan para dayang dayangnya pun mencoba untuk
masuk kedalam kulit mutiara tersebut sambil berharap dapat tertolong dengan
menyerahkan diri mereka ke Yang Maha Kuasa. Sambil berdoa ia pun menangis
teringat akan Ayah dan ibundanya, sambil menangis bercucuran air mata, ia pun
berkata kepada Merak Mas.
“Ya Merak Mas,
pergilah mencari keselamatanmu sendiri. Janganlah engkau pedulikan aku. Pergilah
untuk mencari kehidupan yang lebih baik disuatu tempat.” Seru Tuan Putri
“Ya tuanku gusti,
sama sama berdoa didalam hati
supaya selamat dengan seperti
masuklah tuan di kulit mutiara yang putih
Jikalau ada umur yang panjang
Niscaya patik kembali pulang
Berdoa patik malam dan siang, supaya selamat Tuanku
serta dayang dayang.” Pantun Merak
dalam menjawab perkataan Tuan Putri sambil terus melayang layang diatas air.
Merak Mas masih mengawasi
tuan putri dan para dayang dengan rasa khawatir dan bingung atas keselamatan mereka.
Akhirnya Tuan Putri dan para dayang masuk ke dalam kulit mutiara yang putih
tersebut bersama bersaman dengan air bah yang semakin besar dan meninggi,
sampai melebihi rumah Tuan Putri serta mulai membasahi kulit mutiara tersebut.
Akhirnya kulit mutiara tersebut tenggelam dan Merak Mas pun menangis serta
meninggalkan tempat tersebut mencari kehidupannya kesana kemari. Ia pun terbang
kemanapun sayap dan angin membawa dirinya. Akhinya ia pun sampai di gunung
Biranda Wangi tempat segala Merak berada. Disanalah ia berteman dan tinggal
bersama dengan merak merak lainnya.
Hatta, Negeri
Banduburi pun telah binasa dan sudah menjadi lautan. Tidak ada lagi manusia
apalagi hewan yang hidup disana. Para penduduk lari kedalam hutan atau keatas
gunung bahkan ke bukit bukit yang tinggi untuk menyelamatkan diri. Mereka panik
dan kebingungan, semua lari demi menyelematkan nyawa tanpa menghiraukan lagi harta
benda mereka. Harta benda mereka satu satunya adalah diri mereka dan baju yang
melekat pada dirinya. Maharaja Sahriyuna pun masih terkatung katung diatas air
berpegangan dengan dahan pohon kelapa. Ia pun masih sering menangis jika
teringat dengan anak dan istrinya. Tidak makan dan minum berhari hari, tidurpun
dia tidak dapat karena merasa khawatir dengan keadaan dirinya yang sekarang.
Badannya pun kurus kering, bajunya pun sudah lepuh karena tergerus air dan
sobek disana sini.
‘Ala Ba’du
(Kemudian), Selama 40 hari 40 malam Maharaja Sariyuna menahan makan dan minum,
karena ia seorang raja yang sakti maka dapatlah ia bertahan selama itu tidak
makan dan minum. Setelah 40 hari 40 malam maka surutlah air yang membanjiri
negeri Banduburi. Maharaja Sariyuna pun terdampar di sebuah hutan besar. Ia pun
lemah lunglai, seluruh anggota badannya pun sulit untuk di gerakkan. Jangankan
berdiri, berbalikpun dia tidak bisa. Badannya pun di kerubungi oleh lalat dan
nyamuk tidak terasa lagi. Sedangkan Tuan Putri didalam Mutiara pun sama terdampar
di sebuah kolam yang dalam bekas taman istananya sendiri, tanpa seorang pun
yang mengetahuinya. Mereka pun juga tidak menyadari bahwa Banjir pun telah
surut karena setiap mereka membuka kulit Mutiara yang dilihat masih air
menggenangi kulit mutiara tersebut.
Tersebutlah dalam
cerita, Merak mas terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya berada didekat
sebuah air terjun. Air tersebut mengalir dan turun dari celah celah gunung.
Melihat turunnya air tersebut Merak mas teringat dengan Tuan Putri. Masih khawatir dan bingung
memikirkan keberadaan dan keselamatan Tuan Putri sehingga dari ia membuka
matanya sampai dengan tengah hari, Merak Mas pun masih bengong berdiam diri.
Berbeda dengan teman temannya sesama Merak yang sudah mengalun alunkan suaranya
menuju air terjun dan mandi disana, riuh rendah mereka berbondong bondong di
sekitar aliran sungai, ada yang bergemetar merasakan dingin, ada yang mematuk
matuk dan mencakar cakar tanah disekitar sungai tersebut, ada yang riuh rendah
memanggil manggil anak anaknya, terbilang beratus ratus ribu merak tiada
terhitung memadati air terjun dan sungai disekitarnya. Jikalau matahari sudah
akan meninggi merekapun terbang mencari makan hingga matahari sudah di tengah
tengah. Mereka menari nari dengan membuka sayap sayap mereka. Melenggak lenggok
kanan dan kiri sedangkan sayap mereka tertampar tampar angin yang sayup sayup,
laksana kaum muda sedang bertemu kekasihnya dan saling berkasih kasihan dengan
mesranya. Namun Merak Mas pun masih belum sadar juga akan lamunannya, sampai
dengan matahari tinggi barulah ia tersadar. Ia pun mulai terbang tinggi dan
mulai bercampur dengan teman temannya yang lain membuka sayapnya menari nari melenggak
lenggokkan sayap begitu mesra dan indahnya, enak dipandang mata.
Setelah cukup
bermain main dengan teman temannya, Merak Mas pun terbang menuju ke negeri
tuannya. Dilihatnya istana tuannya sudah tidak ada, pintu kota pun sudah rubuh
tidak berbentuk kembali, rumah rumah penduduk pun sudah tidak berbentuk kembali
bahkan seperti lapangan lumpur yang luas. Tidak ada seorang pun bahkan hewan
pun yang kelihatan, semuanya telah tiada dan begitu sepi dan senyap. Tidak
terdengar juga suara apapun, yang terdengar hanyalah suara angin yang berdesir
rendah.
Merak emas pun
menjadi bertambah kuatir dengan melihat hal tersebut. Saat itu memang sedang
terik teriknya panas matahari. Ia pun timbul dahaganya, lalu terbang mencari
air minum. Tidak beberapa jauh didapatinya sebuah kolam yang masih penuh
airnya, maka turunlah ia untuk memuaskan dahaganya. Setelah terpuaskan, ia
mengamati keadaan kolam tersebut dan mengenali bahwa kolam tersebut adalah
kolam yang merupakan salah satu kolam taman tempat Tuan Putrinya tinggal.
Terlihat dari batu dan tangga turunnya yang masih tersisa walaupun sudah tidak
berbentuk lagi dan berserakan, namun ia masih mengenalinya. Batu batuan bekas
sisa rumah dan taman tersebut banyak yang tidak berbentuk lagi bahkan masuk ke
dalam kolam yang sangat dalam. Berbagai pohon pohon kembang, pohon delima,
jeruk, Apel dan Anggur serta pot pot kembang pun sudah hilang dibawa air.
Setelah puas
mengamati daerah sekitar kolam tersebut. Merak Mas pun kembali meminum airnya
karena hari itu memang sedang terik teriknya sinar panas matahari. Sinar
matahari pun memancar terang menyinari sampai kedasar kolam. Sehingga secara
tidak sengaja terlihat bayang bayang kulit Mutiara yang berwarna putih berada
didalam kolam tersebut terpancar terang terkena sinar Matahari. Merak mas pun
terkejut dan mengenali kulit Mutiara Putih tersebut sebagai tempat Tuan
Putrinya berada. Ada perasaan senang namun juga bingung hatinya karena tidak
merasa mampu menyelamatkan Tuan Putri Budi Wangi. Akhirnya ia pun berpantun di
pinggir kolam.
Mau Mengambil tiada berdaya
Mau selulup (menyelam) tiada upaya
Seorang pun tiada mengetahui itu rahasia
Isinya mutiara amat mulia
Mau diambil airnya sawat
Tambah dalamnya sangat kelewat
Dalam mutiara tuan putri ada termuat
Tetapi seorang tiada mengetahui ini riwayat
Sudah tulisan apa boleh buat
Merak mau menganbil tiada kuat
Diceritakan bahwa
Tuan Putri Budi Wangi didalam kulit Mutiara atas ijin yang Maha Kuasa sehat
walafiat bersama dengan para dayang dayangnya. Dayang dayang Tuan Putri
berjumlah dua orang, salah satu bernama Tun Delima dan seorang lagi bernama Tun
Anggur. Mereka bertiga tiada berpisah dan selalu menjaga satu sama lainnya.
“Ya saudaraku Tun
Delima, bahwa kita bertiga ini adalah di pelihara oleh Yang Maha Kuasa. Adakah
seorang manusia pun yang mengetahui kita disini?” Tanya Tuan Putri kepada Tun
Delima
“Ya Tuan Putri ,
sungguh benar apa kata Tuan Putri, tidak ada seorang manusia pun yang tahu kita
berada di tempat ini. Karena kita berada di tempat yang menurut orang aneh dan
tidak mungkin. Jika pun air sudah surut, niscaya kulit mutiara ini juga pasti
dipungut oleh anak anak kecil, Jikalau diambil oleh orang tua niscaya ia juga
tidak akan peduli.” Jelas Tun Delima sambil menyembah untuk menunjukkan rasa
hormat dalam menjawab pertanyaan Tuan Putri.
“Ya Tuanku,
bahwasanya kalaupun ada manusia yang masih hidup diluar sana, tetapi menurut
saya tidak ada seorang pun yang hidup, melainkan semuanya sudah binasa dan
menyelamatkan diri, sebab air tersebut sangat luar biasa besarnya. Kita pun juga
hampir berpisah nyawa dengan badan. Jikalau tidak ada kulit mutiara ini niscaya
kita tidak akan selamat dan mayat kita pasti akan dibawa kesana kemari oleh
air,” Tukas Tun Anggur menambahi jawaban dari Tun Delima sambil juga
menghormat.
“Hai Tun Anggur,
marilah kita buat penghibur, jangan selamanya kita terus berkelu kesah dan
menanggung duka nestapa di dalam kulit Mutiara ini,” Sahut Tun Delima setengah
berteriak menyemangati Tun Anggur
Tun Aggur pun
menanggapi, “ Apa yang menjadi penghibur, makanan pun tidak ada. Hanya bermain
main dan bernyanyi sajalah yang kita bisa.”
“Siapa yang pandai
bermain pantun?” Tanya Tuan Putri Budi Wangi. “Biarlah Tun Anggur dahulu yang
bernyanyi, Tun Anggur akan menghibur hatiku. Setelah itu biarlah aku menghibur
hati Tun Delima, biar kita sama sama menghiburkan hati.” Sambung Tuan Putri
tersenyum disambut dengan ucapan setuju kedua dayang dayang tuan Putri
tersebut.
Tun Anggur pun mulai
mengeluarkan suaru untuk berpantun serta bernyanyi didalam kulit mutiara.
Kayu sepotonglah sudah patah
Bukannya patah disengajakan
Untunglah tuan untunglah beta
Kita ketiga diselamatkan
Kayu kelapa diukir ukir
Buah gelagah saya taburin
Buat apa dipikir pikir
Hati ketiga baik diliburin
Tuan Putri pun
menjawab pantun Tun Anggur.
Kayu gelagah dibuat tongkat
Buat memalu raja perwira
Kita ketiga sama terikat
Apa boleh buat dalam sengsara
Bukannya demang menjadi ratu
Ratu Jawa sudahlah tua
Sahajanya memang sudah begitu
Sudah terserah badan dan nyawaI
Disambutlah Pantun Tuan putri dengan Tun Delima. Tun
Delima pun melantunkan pantun
Anak raja menjadi Ratu
Jeruk jepan saya taburin
Sudah memang jadi begitu
Mengatur pantun kita liburin
Ratu perwira terlalu gagah
Naik kuda memegang pedang
Didalam mutiara kita bertiga
Buat apa dipikir pikir yang panjang panjang
Raja muda menunggang kuda
Buah kenari didalam kisah
Ayah dan bunda telah tiada
Menyerahkan diri pada yang kuasa
Ketika Tun Delima
berpantun menyebut nyebut nama Ayah dan Bunda, Tuan Putri pun menjadi sedih dan
menangis bercucuran air mata. Melihat Tuan Putri menangis, kedua dayang dayang
pun juga ikut menangis sedih mengingat nasib mereka. Demikianlah setiap hari
yang mereka lakukan, setelah bermain pantun lalu mereka pun menangis berharap
sampai kapan mereka bisa keluar dari kulit Mutiara ini dan bisa melihat negeri
lagi. Karena ketika mereka membuka kulit mutiara yang dilihatnya masih air dan
berharap sampai kapan air menjadi kering.
Tersebutlah sang
Merak Mas merasa yakin bahwa kulit mutiara itu ada di taman kolam dan memang
Kulit Muatiara tempat sang putri dan dayang dayang berada. Ia pun berusaha
untuk mencari bantuan dan terbang kearah hutan serta daerah yang kelihatan oleh
pandangan matanya. Berharap bahwa di hutan tersebut ada manusia yang dapat
menolongnya. Dilihat dan dicarinya tidak ada seorang manusia pun yang ada
disana namun dia menemukan seorang manusia yang dalam keadaan sakit terlantar
dibawah pohon. Rupanya sudah kurus kering dan sudah tidak dapat di kenali lagi,
pipinya sudah tidak berdaging, hanya tulang dan keliatan giginya saja,
rambutnya sudah beriap riap kusut tidak teratur serta terurai menutupi mukanya.
Badannya pun sudah tidak berbaju dan berkain lagi, perutnya amat besar tingginya
dari kakinya, kemaluannya memakai ampok ampok (kemungkinan pakaian dalam
pelindung kemaluan yang terbuat dari kulit), lain dari pada itu kulitnya sudah
pada bruntusan sebab dikerubungi oleh lalat dan nyamuk.
Melihat hal tersebut
terbitlah rasa iba pada diri Merak Mas. “Baiklah aku akan mencarikan buah
buahan dan makanan untuknya. Kalaupun ia dapat sembuh tentu ia dapat menolong
aku untuk mengambilkan kulit mutiara di dasar kolam tersebut.” Pikir Merak Mas.
Ia pun langsung tergerak hatinya dan mulai mencarikan makanan buah buahan yang
banyak terdapat didaerah tersebut, seperti jambu, sawo dan delima bahkan jeruk
jepun dan anggur. Dipatuknyalah buah buahan tersebut dan di bawanya dihadapan
orang yang sakit tersebut. Untuk menghibur orang sakit tersebut, Merak Mas pun
mengajak berbicara kepadanya.
“Ya Orang yang sedang sakit
Santaplah ini buah buahan
Kalaukan boleh jadi sembuhan
Mengharap pertolongan Tuhan
Minta baik dengan keanugerahan.”
Untuk membantu orang
sakit itu supaya bisa makan. Merak pun mematuk buah buahan tersebut lalu
langsung di suapkan pada mulut orang sakit tersebut, dengan maksud supaya bisa
langsung makan. Demikianlah keseharian Merak itu pun sampai dengan datangnya
sore hari. Ketika sore hari maka Merak Mas pun berkata kepada orang sakit itu.
“Ya Orang sakit
Tinggallah baik baik akan sedikit
Karena beta pulang di gunung bukit
Besok kembali pula akan berbangkit.”
Maka Merak Mas pun
kembali ke gunung Birunda Wangi karena hari telah menjelang sore. Tinggallah
Maharaja Sahriyuna dengan sakitnya seorang diri, tidak dapat berkata kata,
dapat hanya makan yang didapat dari merak dan itupun hanya sedikit sedikit.
Setiap hari pun Merak kembali ke Maharaja Sahriyuna, walaupun Merak mas pun
tidak menyadari sedikitpun bahwa itu adalaha Maharaja Sahriyuna Ayahandanya
Tuan Putri majikannya. Hal itu pun terus dilakukan oleh Merak menjadi berbulan
bulan dan bertahun tahun sampai tidak ada satu haripun yang terlewat oleh Merak
untuk merawat orang yang sakit tersebut. Tidak satu pun juga yang terlewat oleh
Merak Mas pun untuk terus mengawasi Kulit Mutiara di dasar kolam. Sehingga pada
akhirnya Orang sakit itu pun hampir bisa sembuh dan sudah bisa berkata kata,
namun berjalan pun belum bisa karena merasa kakinya masih lemas.
No comments:
Post a Comment