Monday, October 4, 2021

DONGENG MERPATI MAS DAN MERPATI PERAK DALAM CERITA TUAN PUTRI DIDALAM KULIT MUTIARA Bagian Kedua



 Alkisah di ceritakan Negeri Banduburi, selama memerintah Maharaja Shariyuna belum pernah mendapatkan kemalangan, ia selalu mendapatkan berkah berupa negeri yang luas dan makmur serta mendapatkan anak yang seantero negeri memuji akan kecantikannya. Maka pada suatu tahun dan bulan genap, datanglah murka Tuhan padanya. Karena hawa nafsu dan dengkinya pada saudara tuanya Buajangga Tala menyebabkan saudara tuanya mengalah dan pergi keluar dari negerinya.

Pada suatu malam datanglah air dari sebelah wetan (timur) dengan bergemuruh suaranya. Dalam sekejab seluruh negeri habis dan terendam banjir, ada yang berlari ke sana kemari, ada yang mencari pohon dan memanjat naik sampai ke atas, ada yang meminta tolong dan menangis. Semua nya kalang kabut berlari mencari aman ke tempat-tempat yang tinggi, karena air semakin lama semakin meninggi sampai ke puncak rumah. Banyak yang mati tenggelam, sedangkan yang sudah mencapai tempat yang tinggi seperti bukit atau gunung selamat namun kehilangan harta benda mereka. Semuanya tidak ada yang tersisa, pintu kota dan pagar pagar tembok habislah tengelam atau hanyut di terjang air. Segala gudang gudang obat, senapan hilang tenggelam, begitupun juga kuda kuda dan kerbau juga mati karena tenggelam dan ikut hanyut entah kemana. Istana raja yang begitu tinggi pun tenggelam sama sekali. Pohon pohon besar pun tumbang tidak terlihat kembali. Negerai banduburi pun dalam semalam sudah menjadi lautan, tidak terlihat lagi kehidupan disana.

Maharaja Sahriyuna pun terhanyut kesana kemari dengan sebuah pohon kelapa. Istrinya pun meninggal dan anaknya Tuan Putri Budi Wangi pun entah kemana. Dia timbul tenggelam bergelayutan dengan pohon kelapa di bawa ombak, tiada makan dan minum. Beberapa hari dan malam terasa tersiksa, dilihatnya tiang bendera dan pintu kota serta istananya yang tinggi sudah tidak kelihatan lagi. Semuanya yang dilihat oleh dia adalah lautan, maka menangislah dia meratap di batang kayu kelapa.

Sebermula, Tuan Putri Budi Wangi ketika air besar sudah hampir naik, ia naik terus ke atas puncak atap rumahnya bersama dengan dayang dayangnya dengan tangis meratap merasa ketakutan. Sedangkan Merak Mas pun melayang layang sambil memperhatikan putri merasa kasihan dan tidak dapat menolong apapun. Pada zaman dahulu kala nenek moyangnya Tuan Putri menyimpan kulit mutiara yang terlalu amat besar dan lebar. Kulit tersebut diletakkan nenek moyangnya di atas loteng rumahnya. Ketika Tuan putri dan dayang dayang nya sudah sampai ke atap mereka menemukan kulit tersebut. Tanpa pikir panjang Putri dan para dayang dayangnya pun mencoba untuk masuk kedalam kulit mutiara tersebut sambil berharap dapat tertolong dengan menyerahkan diri mereka ke Yang Maha Kuasa. Sambil berdoa ia pun menangis teringat akan Ayah dan ibundanya, sambil menangis bercucuran air mata, ia pun berkata kepada Merak Mas.
           
“Ya Merak Mas, pergilah mencari keselamatanmu sendiri. Janganlah engkau pedulikan aku. Pergilah untuk mencari kehidupan yang lebih baik disuatu tempat.” Seru Tuan Putri

“Ya tuanku gusti,
sama sama berdoa didalam hati
supaya selamat dengan seperti
masuklah tuan di kulit mutiara yang putih
Jikalau ada umur yang panjang
Niscaya patik kembali pulang
Berdoa patik malam dan siang, supaya selamat Tuanku serta dayang dayang.” Pantun Merak dalam menjawab perkataan Tuan Putri sambil terus melayang layang diatas air.

Merak Mas masih mengawasi tuan putri dan para dayang dengan rasa khawatir dan bingung atas keselamatan mereka. Akhirnya Tuan Putri dan para dayang masuk ke dalam kulit mutiara yang putih tersebut bersama bersaman dengan air bah yang semakin besar dan meninggi, sampai melebihi rumah Tuan Putri serta mulai membasahi kulit mutiara tersebut. Akhirnya kulit mutiara tersebut tenggelam dan Merak Mas pun menangis serta meninggalkan tempat tersebut mencari kehidupannya kesana kemari. Ia pun terbang kemanapun sayap dan angin membawa dirinya. Akhinya ia pun sampai di gunung Biranda Wangi tempat segala Merak berada. Disanalah ia berteman dan tinggal bersama dengan merak merak lainnya.

Hatta, Negeri Banduburi pun telah binasa dan sudah menjadi lautan. Tidak ada lagi manusia apalagi hewan yang hidup disana. Para penduduk lari kedalam hutan atau keatas gunung bahkan ke bukit bukit yang tinggi untuk menyelamatkan diri. Mereka panik dan kebingungan, semua lari demi menyelematkan nyawa tanpa menghiraukan lagi harta benda mereka. Harta benda mereka satu satunya adalah diri mereka dan baju yang melekat pada dirinya. Maharaja Sahriyuna pun masih terkatung katung diatas air berpegangan dengan dahan pohon kelapa. Ia pun masih sering menangis jika teringat dengan anak dan istrinya. Tidak makan dan minum berhari hari, tidurpun dia tidak dapat karena merasa khawatir dengan keadaan dirinya yang sekarang. Badannya pun kurus kering, bajunya pun sudah lepuh karena tergerus air dan sobek disana sini.

‘Ala Ba’du (Kemudian), Selama 40 hari 40 malam Maharaja Sariyuna menahan makan dan minum, karena ia seorang raja yang sakti maka dapatlah ia bertahan selama itu tidak makan dan minum. Setelah 40 hari 40 malam maka surutlah air yang membanjiri negeri Banduburi. Maharaja Sariyuna pun terdampar di sebuah hutan besar. Ia pun lemah lunglai, seluruh anggota badannya pun sulit untuk di gerakkan. Jangankan berdiri, berbalikpun dia tidak bisa. Badannya pun di kerubungi oleh lalat dan nyamuk tidak terasa lagi. Sedangkan Tuan Putri didalam Mutiara pun sama terdampar di sebuah kolam yang dalam bekas taman istananya sendiri, tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Mereka pun juga tidak menyadari bahwa Banjir pun telah surut karena setiap mereka membuka kulit Mutiara yang dilihat masih air menggenangi kulit mutiara tersebut.

Tersebutlah dalam cerita, Merak mas terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya berada didekat sebuah air terjun. Air tersebut mengalir dan turun dari celah celah gunung. Melihat turunnya air tersebut Merak mas teringat  dengan Tuan Putri. Masih khawatir dan bingung memikirkan keberadaan dan keselamatan Tuan Putri sehingga dari ia membuka matanya sampai dengan tengah hari, Merak Mas pun masih bengong berdiam diri. Berbeda dengan teman temannya sesama Merak yang sudah mengalun alunkan suaranya menuju air terjun dan mandi disana, riuh rendah mereka berbondong bondong di sekitar aliran sungai, ada yang bergemetar merasakan dingin, ada yang mematuk matuk dan mencakar cakar tanah disekitar sungai tersebut, ada yang riuh rendah memanggil manggil anak anaknya, terbilang beratus ratus ribu merak tiada terhitung memadati air terjun dan sungai disekitarnya. Jikalau matahari sudah akan meninggi merekapun terbang mencari makan hingga matahari sudah di tengah tengah. Mereka menari nari dengan membuka sayap sayap mereka. Melenggak lenggok kanan dan kiri sedangkan sayap mereka tertampar tampar angin yang sayup sayup, laksana kaum muda sedang bertemu kekasihnya dan saling berkasih kasihan dengan mesranya. Namun Merak Mas pun masih belum sadar juga akan lamunannya, sampai dengan matahari tinggi barulah ia tersadar. Ia pun mulai terbang tinggi dan mulai bercampur dengan teman temannya yang lain membuka sayapnya menari nari melenggak lenggokkan sayap begitu mesra dan indahnya, enak dipandang mata.

Setelah cukup bermain main dengan teman temannya, Merak Mas pun terbang menuju ke negeri tuannya. Dilihatnya istana tuannya sudah tidak ada, pintu kota pun sudah rubuh tidak berbentuk kembali, rumah rumah penduduk pun sudah tidak berbentuk kembali bahkan seperti lapangan lumpur yang luas. Tidak ada seorang pun bahkan hewan pun yang kelihatan, semuanya telah tiada dan begitu sepi dan senyap. Tidak terdengar juga suara apapun, yang terdengar hanyalah suara angin yang berdesir rendah.

Merak emas pun menjadi bertambah kuatir dengan melihat hal tersebut. Saat itu memang sedang terik teriknya panas matahari. Ia pun timbul dahaganya, lalu terbang mencari air minum. Tidak beberapa jauh didapatinya sebuah kolam yang masih penuh airnya, maka turunlah ia untuk memuaskan dahaganya. Setelah terpuaskan, ia mengamati keadaan kolam tersebut dan mengenali bahwa kolam tersebut adalah kolam yang merupakan salah satu kolam taman tempat Tuan Putrinya tinggal. Terlihat dari batu dan tangga turunnya yang masih tersisa walaupun sudah tidak berbentuk lagi dan berserakan, namun ia masih mengenalinya. Batu batuan bekas sisa rumah dan taman tersebut banyak yang tidak berbentuk lagi bahkan masuk ke dalam kolam yang sangat dalam. Berbagai pohon pohon kembang, pohon delima, jeruk, Apel dan Anggur serta pot pot kembang pun sudah hilang dibawa air.

Setelah puas mengamati daerah sekitar kolam tersebut. Merak Mas pun kembali meminum airnya karena hari itu memang sedang terik teriknya sinar panas matahari. Sinar matahari pun memancar terang menyinari sampai kedasar kolam. Sehingga secara tidak sengaja terlihat bayang bayang kulit Mutiara yang berwarna putih berada didalam kolam tersebut terpancar terang terkena sinar Matahari. Merak mas pun terkejut dan mengenali kulit Mutiara Putih tersebut sebagai tempat Tuan Putrinya berada. Ada perasaan senang namun juga bingung hatinya karena tidak merasa mampu menyelamatkan Tuan Putri Budi Wangi. Akhirnya ia pun berpantun di pinggir kolam.

Mau Mengambil tiada berdaya
Mau selulup (menyelam) tiada upaya
Seorang pun tiada mengetahui itu rahasia
Isinya mutiara amat mulia
Mau diambil airnya sawat
Tambah dalamnya sangat kelewat
Dalam mutiara tuan putri ada termuat
Tetapi seorang tiada mengetahui ini riwayat
Sudah tulisan apa boleh buat
Merak mau menganbil tiada kuat

Diceritakan bahwa Tuan Putri Budi Wangi didalam kulit Mutiara atas ijin yang Maha Kuasa sehat walafiat bersama dengan para dayang dayangnya. Dayang dayang Tuan Putri berjumlah dua orang, salah satu bernama Tun Delima dan seorang lagi bernama Tun Anggur. Mereka bertiga tiada berpisah dan selalu menjaga satu sama lainnya.

“Ya saudaraku Tun Delima, bahwa kita bertiga ini adalah di pelihara oleh Yang Maha Kuasa. Adakah seorang manusia pun yang mengetahui kita disini?” Tanya Tuan Putri kepada Tun Delima

“Ya Tuan Putri , sungguh benar apa kata Tuan Putri, tidak ada seorang manusia pun yang tahu kita berada di tempat ini. Karena kita berada di tempat yang menurut orang aneh dan tidak mungkin. Jika pun air sudah surut, niscaya kulit mutiara ini juga pasti dipungut oleh anak anak kecil, Jikalau diambil oleh orang tua niscaya ia juga tidak akan peduli.” Jelas Tun Delima sambil menyembah untuk menunjukkan rasa hormat dalam menjawab pertanyaan Tuan Putri.

“Ya Tuanku, bahwasanya kalaupun ada manusia yang masih hidup diluar sana, tetapi menurut saya tidak ada seorang pun yang hidup, melainkan semuanya sudah binasa dan menyelamatkan diri, sebab air tersebut sangat luar biasa besarnya. Kita pun juga hampir berpisah nyawa dengan badan. Jikalau tidak ada kulit mutiara ini niscaya kita tidak akan selamat dan mayat kita pasti akan dibawa kesana kemari oleh air,” Tukas Tun Anggur menambahi jawaban dari Tun Delima sambil juga menghormat.

“Hai Tun Anggur, marilah kita buat penghibur, jangan selamanya kita terus berkelu kesah dan menanggung duka nestapa di dalam kulit Mutiara ini,” Sahut Tun Delima setengah berteriak menyemangati Tun Anggur

Tun Aggur pun menanggapi, “ Apa yang menjadi penghibur, makanan pun tidak ada. Hanya bermain main dan bernyanyi sajalah yang kita bisa.”

“Siapa yang pandai bermain pantun?” Tanya Tuan Putri Budi Wangi. “Biarlah Tun Anggur dahulu yang bernyanyi, Tun Anggur akan menghibur hatiku. Setelah itu biarlah aku menghibur hati Tun Delima, biar kita sama sama menghiburkan hati.” Sambung Tuan Putri tersenyum disambut dengan ucapan setuju kedua dayang dayang tuan Putri tersebut.

Tun Anggur pun mulai mengeluarkan suaru untuk berpantun serta bernyanyi didalam kulit mutiara.

Kayu sepotonglah sudah patah
Bukannya patah disengajakan
Untunglah tuan untunglah beta
Kita ketiga diselamatkan
Kayu kelapa diukir ukir
Buah gelagah saya taburin
Buat apa dipikir pikir
Hati ketiga baik diliburin

Tuan Putri pun menjawab pantun Tun Anggur.
Kayu gelagah dibuat tongkat
Buat memalu raja perwira
Kita ketiga sama terikat
Apa boleh buat dalam sengsara
Bukannya demang menjadi ratu
Ratu Jawa sudahlah tua
Sahajanya memang sudah begitu
Sudah terserah badan dan nyawaI

Disambutlah  Pantun Tuan putri dengan Tun Delima. Tun Delima pun melantunkan pantun

Anak raja menjadi Ratu
Jeruk jepan saya taburin
Sudah memang jadi begitu
Mengatur pantun kita liburin
Ratu perwira terlalu gagah
Naik kuda memegang pedang
Didalam mutiara kita bertiga
Buat apa dipikir pikir yang panjang panjang
Raja muda menunggang kuda
Buah kenari didalam kisah
Ayah dan bunda telah tiada
Menyerahkan diri pada yang kuasa

Ketika Tun Delima berpantun menyebut nyebut nama Ayah dan Bunda, Tuan Putri pun menjadi sedih dan menangis bercucuran air mata. Melihat Tuan Putri menangis, kedua dayang dayang pun juga ikut menangis sedih mengingat nasib mereka. Demikianlah setiap hari yang mereka lakukan, setelah bermain pantun lalu mereka pun menangis berharap sampai kapan mereka bisa keluar dari kulit Mutiara ini dan bisa melihat negeri lagi. Karena ketika mereka membuka kulit mutiara yang dilihatnya masih air dan berharap sampai kapan air menjadi kering.

Tersebutlah sang Merak Mas merasa yakin bahwa kulit mutiara itu ada di taman kolam dan memang Kulit Muatiara tempat sang putri dan dayang dayang berada. Ia pun berusaha untuk mencari bantuan dan terbang kearah hutan serta daerah yang kelihatan oleh pandangan matanya. Berharap bahwa di hutan tersebut ada manusia yang dapat menolongnya. Dilihat dan dicarinya tidak ada seorang manusia pun yang ada disana namun dia menemukan seorang manusia yang dalam keadaan sakit terlantar dibawah pohon. Rupanya sudah kurus kering dan sudah tidak dapat di kenali lagi, pipinya sudah tidak berdaging, hanya tulang dan keliatan giginya saja, rambutnya sudah beriap riap kusut tidak teratur serta terurai menutupi mukanya. Badannya pun sudah tidak berbaju dan berkain lagi, perutnya amat besar tingginya dari kakinya, kemaluannya memakai ampok ampok (kemungkinan pakaian dalam pelindung kemaluan yang terbuat dari kulit), lain dari pada itu kulitnya sudah pada bruntusan sebab dikerubungi oleh lalat dan nyamuk.

Melihat hal tersebut terbitlah rasa iba pada diri Merak Mas. “Baiklah aku akan mencarikan buah buahan dan makanan untuknya. Kalaupun ia dapat sembuh tentu ia dapat menolong aku untuk mengambilkan kulit mutiara di dasar kolam tersebut.” Pikir Merak Mas. Ia pun langsung tergerak hatinya dan mulai mencarikan makanan buah buahan yang banyak terdapat didaerah tersebut, seperti jambu, sawo dan delima bahkan jeruk jepun dan anggur. Dipatuknyalah buah buahan tersebut dan di bawanya dihadapan orang yang sakit tersebut. Untuk menghibur orang sakit tersebut, Merak Mas pun mengajak berbicara kepadanya.

“Ya Orang yang sedang sakit
Santaplah ini buah buahan
Kalaukan boleh jadi sembuhan
Mengharap pertolongan Tuhan
Minta baik dengan keanugerahan.”

Untuk membantu orang sakit itu supaya bisa makan. Merak pun mematuk buah buahan tersebut lalu langsung di suapkan pada mulut orang sakit tersebut, dengan maksud supaya bisa langsung makan. Demikianlah keseharian Merak itu pun sampai dengan datangnya sore hari. Ketika sore hari maka Merak Mas pun berkata kepada orang sakit itu.

“Ya Orang sakit
Tinggallah baik baik akan sedikit
Karena beta pulang di gunung bukit
Besok kembali pula akan berbangkit.”


Maka Merak Mas pun kembali ke gunung Birunda Wangi karena hari telah menjelang sore. Tinggallah Maharaja Sahriyuna dengan sakitnya seorang diri, tidak dapat berkata kata, dapat hanya makan yang didapat dari merak dan itupun hanya sedikit sedikit. Setiap hari pun Merak kembali ke Maharaja Sahriyuna, walaupun Merak mas pun tidak menyadari sedikitpun bahwa itu adalaha Maharaja Sahriyuna Ayahandanya Tuan Putri majikannya. Hal itu pun terus dilakukan oleh Merak menjadi berbulan bulan dan bertahun tahun sampai tidak ada satu haripun yang terlewat oleh Merak untuk merawat orang yang sakit tersebut. Tidak satu pun juga yang terlewat oleh Merak Mas pun untuk terus mengawasi Kulit Mutiara di dasar kolam. Sehingga pada akhirnya Orang sakit itu pun hampir bisa sembuh dan sudah bisa berkata kata, namun berjalan pun belum bisa karena merasa kakinya masih lemas.

No comments:

Post a Comment

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO