Masa kecil merupakan masa yang
terindah bagi sebagian orang. Tidak heran banyak orang yang ingin kembali ke
masa kecilnya. Masa di mana tidak memikirkan besok mau makan apa, tidak
memikirkan apa yang mau di presentasikan ketika meeting direksi, tidak
mengejar-ngejar bus pagi untuk beraktifitas, serta tidak memikirkan hari ini
tidak punya uang. Masa kecil merupakan masa yang di penuhi dengan nuansa
bermain dan bermain.
Beruntung jika masa kecilnya hidup
di daerah yang masih hijau, udara sejuk perkebunan hingga sawah yang menghijau,
air sungai yang mengalir deras menabrak bebatuan yang berjejer menghalangi. Air
yang membawa kisah-kisah indah dari atas bukit atau gunung yang menjulang
tinggi, membawa cerita indah penuh perjuangan untuk melewati berbagai rintangan
batu, kayu ataupun jeram. Membawa cerita untuk didengarkan oleh anak-anak
manusia yang sedang bermain di pelukan air sungai yang tenang mengalir dengan
suaranya yang bergemericik kecil. Suara-suara kisah yang akan kami alirkan ke
telinga mereka sehingga mereka tau akan makna hidup di kehidupan kalian nanti.
Anak-anak yang mendengarpun tersenyum riang dan senang, berlari dan
melompat menenggelamkan diri kedalam air sungai yang dingin dan menyegarkan.
"Akh...masa kecil itu indah..."
Di masa kecil sangat jauh aku
mengenal teknologi seperti sekarang ini. Teknologi yang paling maju di jamanku
hanyalah televisi, radio dan lemari pendingin serta mesin cuci. Di besarkan
pada daerah pinggiran kota yang untungnya masih terjangkau listrik dan
transportasi. jika di bandingkan dengan kampung sebelah yang masih menunggu
giliran mendapatkan jatah aliran listrik serta jalan yang belum mendapatkan
akses aspal seperti di kampungku.
Kampungku merupakan salah satu
kampung dari bagian ibu kota provinsi Sumatera Selatan yaitu Palembang. Kota
Palembang di masa kecilku masih merupakan kota yang akan berkembang. Pembukaan
hutan terjadi di daerah sekitar kota untuk perkebunan atau pun perumahan serta
perkantoran. untuk kampung kampung yang sudah ada, akses jalan di perbaiki demi
kelancaran transportasi dan bisnis di kota. Palembang sendiri merupakan ibu
kota provinsi yang terletak di bagian hilir dan hulu dari Sungai Musi.
Sedangkan Sungai Musi sendiri merupakan sungai yang membelah Kota Palembang.
Secara garis besar aku tidak
menceritakan kota Palembang secara keseluruhan. Kebetulan kampungku berada di
sebelah ilir dari Sungai Musi. Jaraknya dari rumahku hanya sekitar 1 km.
Ditengah-tengah sungai musi terdapat sebuah pulau yang dinamakan Pulau kemaro.
Pulau yang masih masuk wilayah kampungku dan masih di penuhi dengan pepohonan
yang rindang. Dengan rakit kecil pun kita bisa sampai ke pulau tersebut. Di
dalam pulau tersebut terdapat klenteng Cina yang aku tidak jelas kapan
berdirinya.
Walaupun ketika aku menuliskan
cerita ini, Pulau dan klenteng tersebut sudah cukup terkenal. Tinggal klik di
internet sudah aku dapatkan datanya. Namun akung, ketika itu kecil, aku di
larang orang tua untuk bermain di sekitar atau bahkan menyeberangi sungai
sampai ke pulau tersebut. Karena menurut kepercayaan kampung aku, daerah sungai
musi antara kampung dan pulau tersebut sering meminta nyawa manusia. Ada saja
yang tenggelam lalu meninggal setiap tahunnya. Hal tersebut memang terjadi dan
beberapa teman bahkan saudara ku telah menjadi korbannya. Menurut Cerita yang
melihat kejadian tersebut, air sungai mendadak pasang besar dan kemudian
bagaimana caranya air pasang tersebut menarik korbannya ke tengah sungai dan
tenggelam. Sudah 4 orang yang menjadi korban dalam 4 tahun terakhir, entahlah
sulit aku jelaskan secara logis hal tersebut. Masa kecilku memang selalu di
kelilingi oleh masalah masalah mistis, karena lingkungan yang masih di
kelilingi oleh hutan dan sungai serta masih terikat dengan adat.
Aan panggilan kecilku, dilahirkan
dengan kondisi yang masih sangat aku syukuri sampai sekarang, dibandingkan
dengan keadaan anak anak zama sekarang. Aku masih bisa merasakan dinginnya
pagi, mendengarkan kicauan burung riuh rendah didahan pohon rambutan di samping
rumah persis didepan kamarku. Masih bisa bermain di halaman rumahku yang penuh
dengan berjenis pepohonan, memancing ikan di kali buatan kecil di samping
rumahku.
Di kampungku memang terdapat kali
buatan dengan bermuara pada sungai musi. Kali tersebut dibangun ketika belanda
masih berkuasa dan mengelilingi sebuah bangunan rumah bergaya Eropa yang dulu
didiami oleh orang Belanda. Kebetulan kediaman orang Belanda tersebut tepatnya
di seberang rumahku yang berbatasan dengan kali. Bangunan tersebut masih
terawat dan sekarang di tinggali oleh penduduk pribumi keturunan. Menurut
ceritera para tetua di kampung bahwa tanah di sekitarku merupakan bekas tangsi
militer dan penginapan orang-orang Belanda. Hal tersebut aku benarkan juga
karena memang masih berdiri beberapa bangunan bangunan rumah khas jaman Belanda
di sekitar kampungku namun yang paling besar dan megah adalah bangunan rumah
Belanda yang ada diseberang kali rumahku.
Tidak heran aku dan adikku
perempuan Rika, cepat sekali bisa berenang. Karena kondisi kampung kami yang tidak
jauh dari air. Selain Rika aku mempunyai 1 saudara kandung lagi. Aku yang
paling sulung masih berumur 10 tahun, Rika berumur 8 tahun dan adik laki laki
ku Deni yang ketiga berumur 5 tahun. Pada saat itu aku belum mempunyai tambahan
2 saudara laki laki lagi seperti sekarang, he he he...
Karena kondisi lingkungan yang
memang masih liar dan rentan terjadi hal hal yang tidak diinginkan bagi kami
yang masih kecil, maka pengawasan orang yang lebih tua pun selalu kami
dapatkan. Kami juga diajarkan untuk saling menjaga dan tidak pernah untuk
sendiri jika berada di luar rumah. Namun ke-khawatiran tersebut sebenarnya
tidak perlu kami dapatkan karena di sekeliling rumah, sudah dikelilingi oleh pagar
tanaman hidup kembang sepatu dan kaca piring yang memang sengaja di tanam oleh
Ayahku. Begitu juga di sepanjang kali samping rumahku. Walaupun memang ada satu
tempat yang masih tidak terpagar dengan baik, namun tempat tersebut tetap lebih
tinggi dan aman karena terbatas dengan tonggak tonggak kayu. Tidak jauh dari
pinggir kali yang terbuka tersebut, terdapat tempat istirahat dan bercengkrama
kami sekeluarga. Ayah juga membuatkan bangku dan meja yang terbuat dari kayu,
tepat di bawah rimbunan bunga kertas.
Selain rerimbunan bunga kertas
yang sudah meninggi, ditempat tersebut juga di naungi oleh pohon nangka yang
dahan pohonnya condong mengarah ke tengah sungai. Tidak dapat ku mengerti ada
dahan pohon yang miring hampir diatas air sungai mengapung seperti jembatan.
Di tambah rindangnya pohon jambu biji bangkok yang tumbuh tidak jauh dari sisi
sungai ikut berpartisipasi menaungi tempat tersebut. Tidak heran jika tempat
tersebut menjadi tempat favorit kami bermain ketika pulang sekolah ataupun
libur.
Namun tetap saja orang tuaku
sering mengingatkan untuk tidak bermain di pinggir kali apalagi duduk duduk
diatas pohon nangka yang menjorok ke tengah sungai. Salah satu kebiasaanku yang
selalu aku lakukan, dengan santainya menjuntaikan kedua kakiku leluasa sehingga
aku dapat menyentuhkan permukaan air sungai dengan kakiku. Kebiasaan tersebut
kulakukan sambil memancing ataupun mengobrol dengan adik adikku. Terkadang
adikku yang perempuan menemani sambil bermain bunga sepatu, bunga bogenville,
segala jenis bunga di kumpulkan ataupun bermain masak-masakan ala anak anak.
Memancing merupakan kesenanganku semasa kecil, alat pancing yang aku pakai pun
tidak seperti sekarang ini yang serba mahal. Hanya dengan modal batang buluh
bambu yang kecil, benang pancing dan kail. Pelampungnya pun aku pakai dari
sendal bekas yang aku potong persegi empat kecil. Umpannya pun tersedia di alam
yaitu cacing tanah yang aku gali disekitar rumah, "Cukup sederhana
bukan?"
Hingga suatu hari libur di akhir
minggu, kami bermain seperti biasa di tempat tersebut. Keluarga kami memang
saat itu sedang menerima tamu sehingga mereka sibuk berbincang dan tidak
menemani kami bermain seperti biasanya. Seperti biasa aku pun menempati
singasana ku seperti biasa. Adikku yang perempuan sibuk mengambil bunga-bunga
bogenville atau kata ibuku namanya kembang kertas yang memang saat itu berbunga
jauh lebih banyak karena musim penghujan. Sedangkan Deni berjongkok di tepi
sungai sambil memperhatikan seekor binatang air yang seperti belalang namun
lebih kecil, dengan kaki panjangnya yang mampu menapak di atas air. Sepertinya
dia kagum sekali melihat binatang tersebut berjalan.
"Kakak...kakak...hebat ya binatang itu
bisa berjalan diatas air,"seru deni.
Aku pun menjawab sekenanya, "iya, punya
ilmu meringankan tubuh kali ya dek," perhatianku masih terpusat pada
pelampung kailku yang naik tenggelam tandanya umpanku sedang di makan oleh
ikan. Kali di samping rumah kami kebanyakan di huni oleh ikan sepat, ikan
betok, ikan gabus, lele bahkan belut. Semuanya pernah aku dapatkan tergantung
tempat aku menaruh kail.
Tidak menunggu lama, aku pun
mendapatkan ikan betok sebesar telapak tanganku. Aku berseru riang namun yang
lebih riang adikku deni. Karena memang selalu bagian dia untuk melepaskan kail
setiap aku mendapatkan ikan. Tidak ada perjanjian sebelumnya, karena memang
keinginan adikku memegang ikan, entah senang melihat ikan tersebut menggelepar
atau senang memasukkan ikan tersebut ke dalam ember. Semuanya di lakukan dengan
penuh riang, namun kali ini aku tidak bisa mengijinkan deni untuk melepaskan
kail di mulut ikan ini. Karena ikannya cukup besar dan duri di sisiknya bisa
merobek tangan adikku karena ikan betok memang terkenal mempunyai insang dan
sisik yang tajam. Sedangkan adik perempuan ku Rika hanya berceloteh riang menanggapi
hasil yang aku dapatkan kali ini dan membawakan ember tempat untuk ikan
tangkapanku
Sibuk menangani tangkapanku kali
ini aku tidak memperhatikan adikku deni lagi. Deni merangkak di pohon nangka
untuk mencoba mengikuti duduk ditempatku. Aku baru sadar ada bunyi yang jatuh
ke air yang cukup keras, mengagetkan aku dan Rika yang sedang mengelilingi
ember. Ku lihat adikku yang terjatuh ke dalam air sungai. Aku pun spontan
berteriak,
"denni!!!," tidak ku
teruskan kalimatku cuma tertegun karena kulihat adikku dengan menggunakan kedua
tangannya berenang seperti gaya katak ke pinggir sungai. Aku pun bergegas
melompat dan menolong adikku khawatir tidak bisa bertahan lama menggunakan gaya
spontannya.
Akhirnya adikku pun selamat,
"kok bisa den? Berenang seperti itu?" Tanyaku sedikit khawatir namun lega karena tidak melihat sesuatu yang harus di khawatirkan.
"Gak tau kak, sering lihat
kakak sama ayuk ika aja berenang jadi spontan ngikutin," jawab deni. Ayuk
adalah panggilan kakak perempuan di daerah kami.
Kami pun berdua segera ke kamar
mandi melewati pintu samping, takut ketahuan orang tuaku dengan di iringi oleh
ika adik perempuanku. Kami pun mandi sedangkan ika berpura pura nimbrung di
ruang tamu, jika di tanya tentang kami, ika akan menjawab "lagi mandi
sore," polos. Selepas ritual sehabis mandi, kami pun kembali ketempat
semula, namun dengan lebih hati hati. Sebenarnya kali ditempatku memang tidak
berbahaya, arusnya tidak deras dan tidak terlalu dalam. Namun menghormati
perintah orang tua alangkah baiknya.
Sambil tertawa untuk mencaikan
suasana tegang, aku pun melanjutkan kegiatanku kembali yaitu memancing. Kali
ini deni menjaga tangkapan ikanku agak jauh dari pinggir kali. Aku pun
memandang adikku dan adikku membalas memandang sambil tersenyum.
"Hari ini aku hampir
kehilangan adikku, semoga lain hari aku tidak akan kehilangan dirinya walaupun
sedetik pun," pikirku dalam hati.
Angin sepoi-sepoi dan langit sudah
memerah jingga di sore ini. Kami pun menghentikan kegiatan permainan kami, Aku
dan adikku pun menyandarkan joran pancinganku di pohon jambu biji. Tangkapanku
hari ini pun kami masukkan ke dalam kolam kecil yang di buatkan ayah tidak jauh
dari pohon rambutan di depan kamarku.
Hari ini aku mendapatkan
pelajaran dari adikku bahwa tanggung jawab itu harus sepenuhnya di jalankan dan
tidak bisa di abaikan. Aku yang tertua dan paling bertanggung jawab jika ada
sesuatu yang terjadi pada diri adik adikku di tengah kesibukan ayah dan ibuku.
Aku yang mengambil fungsi mengawasi adik adikku.
Pelajaran ini terulang kembali
ketika aku berkeluarga. Kelengahanku kembali terjadi setelah anak laki lakiku
pun tercebur ke dalam kolam buatan mertuaku. Itulah teguran kepadaku tentang
artinya tanggung jawab, ia selalu mengikuti setiap langkah kehidupanku dan
tidak bisa lepas selama nafas masih berhembus. Dalam hidup ini setiap manusia
apapun status sosialnya mempunyai tanggung jawab, itulah yang namanya hidup.
No comments:
Post a Comment