Friday, March 3, 2017

PERENANG DADAKAN

Masa kecil merupakan masa yang terindah bagi sebagian orang. Tidak heran banyak orang yang ingin kembali ke masa kecilnya. Masa di mana tidak memikirkan besok mau makan apa, tidak memikirkan apa yang mau di presentasikan ketika meeting direksi, tidak mengejar-ngejar bus pagi untuk beraktifitas, serta tidak memikirkan hari ini tidak punya uang. Masa kecil merupakan masa yang di penuhi dengan nuansa bermain dan bermain.

Beruntung jika masa kecilnya hidup di daerah yang masih hijau, udara sejuk perkebunan hingga sawah yang menghijau, air sungai yang mengalir deras menabrak bebatuan yang berjejer menghalangi. Air yang membawa kisah-kisah indah dari atas bukit atau gunung yang menjulang tinggi, membawa cerita indah penuh perjuangan untuk melewati berbagai rintangan batu, kayu ataupun jeram. Membawa cerita untuk didengarkan oleh anak-anak manusia yang sedang bermain di pelukan air sungai yang tenang mengalir dengan suaranya yang bergemericik kecil. Suara-suara kisah yang akan kami alirkan ke telinga mereka sehingga mereka tau akan makna hidup di kehidupan kalian nanti. Anak-anak yang mendengarpun  tersenyum riang dan senang, berlari dan melompat menenggelamkan diri kedalam air sungai yang dingin dan menyegarkan.
"Akh...masa kecil itu indah..."

Di masa kecil sangat jauh aku mengenal teknologi seperti sekarang ini. Teknologi yang paling maju di jamanku hanyalah televisi, radio dan lemari pendingin serta mesin cuci. Di besarkan pada daerah pinggiran kota yang untungnya masih terjangkau listrik dan transportasi. jika di bandingkan dengan kampung sebelah yang masih menunggu giliran mendapatkan jatah aliran listrik serta jalan yang belum mendapatkan akses aspal seperti di kampungku.

Kampungku merupakan salah satu kampung dari bagian ibu kota provinsi Sumatera Selatan yaitu Palembang. Kota Palembang di masa kecilku masih merupakan kota yang akan berkembang. Pembukaan hutan terjadi di daerah sekitar kota untuk perkebunan atau pun perumahan serta perkantoran. untuk kampung kampung yang sudah ada, akses jalan di perbaiki demi kelancaran transportasi dan bisnis di kota. Palembang sendiri merupakan ibu kota provinsi yang terletak di bagian hilir dan hulu dari Sungai Musi. Sedangkan Sungai Musi sendiri merupakan sungai yang membelah Kota Palembang.

Secara garis besar aku tidak menceritakan kota Palembang secara keseluruhan. Kebetulan kampungku berada di sebelah ilir dari Sungai Musi. Jaraknya dari rumahku hanya sekitar 1 km. Ditengah-tengah sungai musi terdapat sebuah pulau yang dinamakan Pulau kemaro. Pulau yang masih masuk wilayah kampungku dan masih di penuhi dengan pepohonan yang rindang. Dengan rakit kecil pun kita bisa sampai ke pulau tersebut. Di dalam pulau tersebut terdapat klenteng Cina yang aku tidak jelas kapan berdirinya.

Walaupun ketika aku menuliskan cerita ini, Pulau dan klenteng tersebut sudah cukup terkenal. Tinggal klik di internet sudah aku dapatkan datanya. Namun akung, ketika itu kecil, aku di larang orang tua untuk bermain di sekitar atau bahkan menyeberangi sungai sampai ke pulau tersebut. Karena menurut kepercayaan kampung aku, daerah sungai musi antara kampung dan pulau tersebut sering meminta nyawa manusia. Ada saja yang tenggelam lalu meninggal setiap tahunnya. Hal tersebut memang terjadi dan beberapa teman bahkan saudara ku telah menjadi korbannya. Menurut Cerita yang melihat kejadian tersebut, air sungai mendadak pasang besar dan kemudian bagaimana caranya air pasang tersebut menarik korbannya ke tengah sungai dan tenggelam. Sudah 4 orang yang menjadi korban dalam 4 tahun terakhir, entahlah sulit aku jelaskan secara logis hal tersebut. Masa kecilku memang selalu di kelilingi oleh masalah masalah mistis, karena lingkungan yang masih di kelilingi oleh hutan dan sungai serta masih terikat dengan adat.

Aan panggilan kecilku, dilahirkan dengan kondisi yang masih sangat aku syukuri sampai sekarang, dibandingkan dengan keadaan anak anak zama sekarang. Aku masih bisa merasakan dinginnya pagi, mendengarkan kicauan burung riuh rendah didahan pohon rambutan di samping rumah persis didepan kamarku. Masih bisa bermain di halaman rumahku yang penuh dengan berjenis pepohonan, memancing ikan di kali buatan kecil di samping rumahku.

Di kampungku memang terdapat kali buatan dengan bermuara pada sungai musi. Kali tersebut dibangun ketika belanda masih berkuasa dan mengelilingi sebuah bangunan rumah bergaya Eropa yang dulu didiami oleh orang Belanda. Kebetulan kediaman orang Belanda tersebut tepatnya di seberang rumahku yang berbatasan dengan kali. Bangunan tersebut masih terawat dan sekarang di tinggali oleh penduduk pribumi keturunan. Menurut ceritera para tetua di kampung bahwa tanah di sekitarku merupakan bekas tangsi militer dan penginapan orang-orang Belanda. Hal tersebut aku benarkan juga karena memang masih berdiri beberapa bangunan bangunan rumah khas jaman Belanda di sekitar kampungku namun yang paling besar dan megah adalah bangunan rumah Belanda yang ada diseberang kali rumahku.

Tidak heran aku dan adikku perempuan Rika, cepat sekali bisa berenang. Karena kondisi kampung kami yang tidak jauh dari air. Selain Rika aku mempunyai 1 saudara kandung lagi. Aku yang paling sulung masih berumur 10 tahun, Rika berumur 8 tahun dan adik laki laki ku Deni yang ketiga berumur 5 tahun. Pada saat itu aku belum mempunyai tambahan 2 saudara laki laki lagi seperti sekarang, he he he...

Karena kondisi lingkungan yang memang masih liar dan rentan terjadi hal hal yang tidak diinginkan bagi kami yang masih kecil, maka pengawasan orang yang lebih tua pun selalu kami dapatkan. Kami juga diajarkan untuk saling menjaga dan tidak pernah untuk sendiri jika berada di luar rumah. Namun ke-khawatiran tersebut sebenarnya tidak perlu kami dapatkan karena di sekeliling rumah, sudah dikelilingi oleh pagar tanaman hidup kembang sepatu dan kaca piring yang memang sengaja di tanam oleh Ayahku. Begitu juga di sepanjang kali samping rumahku. Walaupun memang ada satu tempat yang masih tidak terpagar dengan baik, namun tempat tersebut tetap lebih tinggi dan aman karena terbatas dengan tonggak tonggak kayu. Tidak jauh dari pinggir kali yang terbuka tersebut, terdapat tempat istirahat dan bercengkrama kami sekeluarga. Ayah juga membuatkan bangku dan meja yang terbuat dari kayu, tepat di bawah rimbunan bunga kertas.

Selain rerimbunan bunga kertas yang sudah meninggi, ditempat tersebut juga di naungi oleh pohon nangka yang dahan pohonnya condong mengarah ke tengah sungai. Tidak dapat ku mengerti ada dahan pohon yang miring hampir diatas air sungai mengapung seperti jembatan.  Di tambah rindangnya pohon jambu biji bangkok yang tumbuh tidak jauh dari sisi sungai ikut berpartisipasi menaungi tempat tersebut. Tidak heran jika tempat tersebut menjadi tempat favorit kami bermain ketika pulang sekolah ataupun libur.

Namun tetap saja orang tuaku sering mengingatkan untuk tidak bermain di pinggir kali apalagi duduk duduk diatas pohon nangka yang menjorok ke tengah sungai. Salah satu kebiasaanku yang selalu aku lakukan, dengan santainya menjuntaikan kedua kakiku leluasa sehingga aku dapat menyentuhkan permukaan air sungai dengan kakiku. Kebiasaan tersebut kulakukan sambil memancing ataupun mengobrol dengan adik adikku. Terkadang adikku yang perempuan menemani sambil bermain bunga sepatu, bunga bogenville, segala jenis bunga di kumpulkan ataupun bermain masak-masakan ala anak anak. Memancing merupakan kesenanganku semasa kecil, alat pancing yang aku pakai pun tidak seperti sekarang ini yang serba mahal. Hanya dengan modal batang buluh bambu yang kecil, benang pancing dan kail. Pelampungnya pun aku pakai dari sendal bekas yang aku potong persegi empat kecil. Umpannya pun tersedia di alam yaitu cacing tanah yang aku gali disekitar rumah, "Cukup sederhana bukan?"

Hingga suatu hari libur di akhir minggu, kami bermain seperti biasa di tempat tersebut. Keluarga kami memang saat itu sedang menerima tamu sehingga mereka sibuk berbincang dan tidak menemani kami bermain seperti biasanya. Seperti biasa aku pun menempati singasana ku seperti biasa. Adikku yang perempuan sibuk mengambil bunga-bunga bogenville atau kata ibuku namanya kembang kertas yang memang saat itu berbunga jauh lebih banyak karena musim penghujan. Sedangkan Deni berjongkok di tepi sungai sambil memperhatikan seekor binatang air yang seperti belalang namun lebih kecil, dengan kaki panjangnya yang mampu menapak di atas air. Sepertinya dia kagum sekali melihat binatang tersebut berjalan.

"Kakak...kakak...hebat ya binatang itu bisa berjalan diatas air,"seru deni.

Aku pun menjawab sekenanya, "iya, punya ilmu meringankan tubuh kali ya dek," perhatianku masih terpusat pada pelampung kailku yang naik tenggelam tandanya umpanku sedang di makan oleh ikan. Kali di samping rumah kami kebanyakan di huni oleh ikan sepat, ikan betok, ikan gabus, lele bahkan belut. Semuanya pernah aku dapatkan tergantung tempat aku menaruh kail.

Tidak menunggu lama, aku pun mendapatkan ikan betok sebesar telapak tanganku. Aku berseru riang namun yang lebih riang adikku deni. Karena memang selalu bagian dia untuk melepaskan kail setiap aku mendapatkan ikan. Tidak ada perjanjian sebelumnya, karena memang keinginan adikku memegang ikan, entah senang melihat ikan tersebut menggelepar atau senang memasukkan ikan tersebut ke dalam ember. Semuanya di lakukan dengan penuh riang, namun kali ini aku tidak bisa mengijinkan deni untuk melepaskan kail di mulut ikan ini. Karena ikannya cukup besar dan duri di sisiknya bisa merobek tangan adikku karena ikan betok memang terkenal mempunyai insang dan sisik yang tajam. Sedangkan adik perempuan ku Rika hanya berceloteh riang menanggapi hasil yang aku dapatkan kali ini dan membawakan ember tempat untuk ikan tangkapanku

Sibuk menangani tangkapanku kali ini aku tidak memperhatikan adikku deni lagi. Deni merangkak di pohon nangka untuk mencoba mengikuti duduk ditempatku. Aku baru sadar ada bunyi yang jatuh ke air yang cukup keras, mengagetkan aku dan Rika yang sedang mengelilingi ember. Ku lihat adikku yang terjatuh ke dalam air sungai. Aku pun spontan berteriak,

"denni!!!," tidak ku teruskan kalimatku cuma tertegun karena kulihat adikku dengan menggunakan kedua tangannya berenang seperti gaya katak ke pinggir sungai. Aku pun bergegas melompat dan menolong adikku khawatir tidak bisa bertahan lama menggunakan gaya spontannya.

Akhirnya adikku pun selamat, "kok bisa den? Berenang seperti itu?" Tanyaku sedikit khawatir namun lega karena tidak melihat sesuatu yang harus di khawatirkan.

"Gak tau kak, sering lihat kakak sama ayuk ika aja berenang jadi spontan ngikutin," jawab deni. Ayuk adalah panggilan kakak perempuan di daerah kami.

Kami pun berdua segera ke kamar mandi melewati pintu samping, takut ketahuan orang tuaku dengan di iringi oleh ika adik perempuanku. Kami pun mandi sedangkan ika berpura pura nimbrung di ruang tamu, jika di tanya tentang kami, ika akan menjawab "lagi mandi sore," polos. Selepas ritual sehabis mandi, kami pun kembali ketempat semula, namun dengan lebih hati hati. Sebenarnya kali ditempatku memang tidak berbahaya, arusnya tidak deras dan tidak terlalu dalam. Namun menghormati perintah orang tua alangkah baiknya.

Sambil tertawa untuk mencaikan suasana tegang, aku pun melanjutkan kegiatanku kembali yaitu memancing. Kali ini deni menjaga tangkapan ikanku agak jauh dari pinggir kali. Aku pun memandang adikku dan adikku membalas memandang sambil tersenyum.

"Hari ini aku hampir kehilangan adikku, semoga lain hari aku tidak akan kehilangan dirinya walaupun sedetik pun," pikirku dalam hati.

Angin sepoi-sepoi dan langit sudah memerah jingga di sore ini. Kami pun menghentikan kegiatan permainan kami, Aku dan adikku pun menyandarkan joran pancinganku di pohon jambu biji. Tangkapanku hari ini pun kami masukkan ke dalam kolam kecil yang di buatkan ayah tidak jauh dari pohon rambutan di depan kamarku.

            Hari ini aku mendapatkan pelajaran dari adikku bahwa tanggung jawab itu harus sepenuhnya di jalankan dan tidak bisa di abaikan. Aku yang tertua dan paling bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi pada diri adik adikku di tengah kesibukan ayah dan ibuku. Aku yang mengambil fungsi mengawasi adik adikku. 

         Pelajaran ini terulang kembali ketika aku berkeluarga. Kelengahanku kembali terjadi setelah anak laki lakiku pun tercebur ke dalam kolam buatan mertuaku. Itulah teguran kepadaku tentang artinya tanggung jawab, ia selalu mengikuti setiap langkah kehidupanku dan tidak bisa lepas selama nafas masih berhembus. Dalam hidup ini setiap manusia apapun status sosialnya mempunyai tanggung jawab, itulah yang namanya hidup.

No comments:

Post a Comment

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO