“I wanna lay you down
in bad of roses...for tonight I"ll sleep on a bed of nails...lantunan
syair lagu dari Bon jovi terdengar merdu keluar dari radio tape butut di sudut
kamarku. Sepatah-dua patah kata-kata pun ku lantunkan dengan lantang, seakan ingin
menyamai merdunya suara Jon Bon Jovi.
"Tok...tok...tok...terdengar
suara pintu kamarku di ketuk, "mungkin mama," pikirku, dengan malas
aku pun bangun dari kasurku dan melangkah ke arah pintu. Aku melihat mama ku
sudah berdiri di depan pintu dengan senyuman mengembang di wajahnya,
"Ada apa mah? Lagi males untuk nyapu di
halaman akh...badannya capek banget..." Seruku sambil kembali merebahkan
badanku di tempat tidur.
Siang ini aku memang pulang
terlambat, selain memang tidak ada jadwal kursus bahasa inggris, aku pun
menyempatkan diri bersama teman-temanku berlatih basket. Maklum saat ini basket
lagi trend di kalangan anak muda kotaku. Sehingga sepulang sekolah, aku pun
bermain basket di halaman SMU dekat sekolah kami. Satu-satunya fasilitas
lapangan basket yang di punyai dan masih dalam satu kompleks sekolah atau satu
yayasan dengan sekolahku.
"Papa baru pulang, katanya bawa
oleh-oleh untuk kamu. Kalau gak mau ya sudah," ujar ibuku sambil beranjak
pergi sembari ingin menutup kembali pintu kamarku.
Aku pun mendengar kata oleh-oleh
terlompat bangun dan langsung semangat. Aku ingat papa pernah berjanji kepadaku, jika aku naik kelas dan
mencapai peringkat minimal 5 besar, akan di belikan radio tape baru. Kebetulan
memang aku mendapatkan ranking 3 di kelasku, ketika ujian kenaikan kelas 5 ke
kelas 6.
"Sekarang
waktunya aku mendapatkan hadiah," pikirku, karena sudah 1 bulan hadiahnya
tidak kunjung di belikan, karena kesibukan papaku di luar kota. Dengan
berbasa-basi seperti anak yang merindukan papanya, aku pun memeluk papa dan
menciumnya, walaupun mataku tetap jelalatan memandangi setiap bungkusan yang
ada di meja.
"Sehat Pa, Aan
udah kangen nih," ujarku manja. Adikku Rika yang tengah duduk dekat papaku
nyeletuk,
"Basa basi,
bilang aja nagih hadiahnya," ujarnya sambil memonyongkan mulutnya untuk
menggodaku.
"He...he...kurang
lebih begitulah Pa," ujarku ketauan belangnya.
"Malu dong Pa, Angel
saja udah punya radio tape baru, Kusmiran juga, Sehat baru kemarin
di belikan, sedangkan aku hanya punya radio tape lama yang butut bekas papa,
suaranya cempreng lagi." Seruku tidak mau kalah.
"Papa juga sudah
janji khan, sebagai seorang satria gaban (film fiksi pahlawan berhelm dari
Jepang yang tenar di jaman tersebut) harus memenuhi janjinya, sekarang mana Pa?”
Ujarku berusaha mengingatkan papaku, aku pun melanjutkan ocehanku seperti anak
ayam yang mencuap-cuap mencari induknya yang hilang entah kemana.
Sedari tadi papa dan
mama hanya melihat aku mengoceh tanpa menghiraukan sama sekali apa yang ku
ucapkan. Mama sedang sibuk mengatur oleh-oleh makanan untuk tetangga, sedangkan
papaku sambil mendengarkan suara anaknya yang bagai kaset rusak, sibuk menyedu
teh manis hangatnya sembari sesekali tersenyum bagai mendengar aku melantunkan
tembang kenangan rusak.
"Sudah selesai?
Tanya papaku seperti meledekku.
"Itu ambil di
ruang tamu depan dekat pintu kamarmu di atas kursi." Seru papaku sambil
tertawa. Adikku pun tertawa keras, melihat aku di permainkan seperti itu.
Sedari tadi ternyata hadiah itu sudah ada dekat pintu kamarku, tetapi terlewat
olehku. Aku pun melesat meninggalkan keluargaku mentertawakan kekonyolanku
barusan.
Radio tersebut
berbentuk persegi panjang dengan 2 buah kotak speaker di kanan dan kiri yang
bisa di lepas. Merknya yang terkenal buatan Jepang, membuatku bangga akan radio
tape baru hadiah papa.
"Wah,
teman-temanku pasti ngiri nih melihat radio tape milikku dengan merk terkenal
pula," pikirku sambil tersenyum.
"Sudah waktunya
kau pensiun, radio tape butut," ujarku bergumam ketika akan menggantikan
tempatnya dengan radio tape baru.
Dipikir-pikir cukup
terharu juga. Radio butut ini sudah lama menjadi temanku untuk mengusir
kejenuhan, mengusir suasana mengerikan di malam hari, menemaniku dalam sendiri
di kamar sehingga berani tidur sendiri. Akhirnya radio tape butut tersebut, aku
pajang di meja belajarku sebagai barang antik. Suatu saat aku bisa mengingat
akan jasa-jasanya. Aku pun menyalakan radio tape baru tersebut dan terdengar
jelas bedanya dengan radio tape butut milik papa yang lama...
Keesokan harinya,
sepulang dari kursus bahasa Inggris, kamarku di singgahi oleh 4 orang anak
ajaib sohibku yang super jahil di sekolah. Seperti biasa kalau bukan
Angel, Amir, Kusmiran dan Sehat. Mereka penasaran ingin melihat tape
terbaruku. Ternyata mereka pun mengakui dari kualitas suara lebih jelas, jernih
dan mengasyikkan dari yang mereka punya. Dari segi tombol, punyaku lebih banyak
tombol di banding mereka, walaupun aku belum bisa tahu persatu fungsi tombol-tombol
tersebut. Maklum yang kami tahu, kemuktahiran teknologi kami nilai dari
banyaknya tombol. Tidak di sangsikan lagi, akhirnya radio tape ku lebih hebat
di banding teman-temanku semua. Tapi sudahlah...
"An,
menurutmu kemarin mau mendekorasi kamarmu, biar lebih keren..." Seru
kusmiran.
"Belum sempat beli posternya
kus, nantilah pas pulang kursus besok," seruku mengingatkan kembali akan
rencanaku untuk mendekorasi kamarku dengan menempel poster-poster group musik
yang aku sukai.
"Aku
mau merubah penampilan akh!," seru Sehat terlihat bersemangat.
"Penampilan
yang mana sehat, badanmu yang gendut gak bisa di kecilin lagi. Atau mau jadi
Gaban-Shariban?" Seru angel tertawa bercanda.
"Rambut
mau aku buat acak-acak-an, kalau perlu gondrong, kalau kursus pakai celana dan
baju robek-robek, pakai sendal jepit, pakai kalung tengkorak, biar keren,"
seru Sehat seperti menjelaskan rentetan menu yang menjadi agenda makannya.
"Kalau
rambut gak mungkin gondrong lah Sehat, kalau yang lain bisalah di rubah," seru
Amir yang tumben-tumbennya mendukung idenya Sehat. Dua orang ini biasanya tidak
pernah akur dan hasil akhirnya pasti Amir yang mengalah.
"Mulai
besok akh pas sekolah, aku mau pakai minyak rambut yang tebal biar rambutku
bisa berdiri...kerenkan seperti group musik Duran..Duran.." Ujar Angel
menimpali rencana sehat.
Pada
akhirnya teman-temanku sepakat untuk merubah tatanan rambut ketika sekolah
besok, kerena kalau pakaian, tas dan sepatu tidak mungkin di rubah. Bisa-bisa
di hukum di tiang bendera lagi dech...
Ke-esokan harinya...
Pagi
itu seperti biasa sehabis mandi, berpakaian dan terakhir merapikan rambut.
Namun untuk urusan yang paling akhir, aku pun sengaja hilangkan. "Ingin
seperti Jon bon Jovi dengan rambut urakan." Pikirku sambil melangkah
menuju meja makan untuk menyantap sarapan.
"An,
kamu udah nyisir belum sih? Emang minyak rambut kamu habis? Nanti siang mama
belikan dech. Sini mama sisir" ujar mama berusaha mendekati Aan dan
mengambil sisir sehbais menyisir rambut Rika adikku.
"Eittt
mah, jangan...ini lagi trend nih...musimnya Rock n Roll. Nanti sore pas pulang
sekolah mau beli kalung sama gelang akh...biar keren..."Teriakku sambil
menghabiskan roti bakar dan susu sarapanku. Lalu berbalik berniat untuk
langsung berangkat sekolah sebelum mama berubah pikiran dan bertambah murka.
"An,
bentar...itu mama punya kalung metal...kamu mau gak? Ujar mama setengah
berteriak.
"Loh..."
Ujarku terdiam, tumben nih mama gak marah, aku pun menghentikan langkahku dan
berputar menghadap ke mama.
"Mana
mah," seruku senang karena mama mendukung anaknya berkembang sesuai dengan
usianya…he..he…he
"Itu
kalung tasbih peninggalan punya nenek, keren kalau di pakai, mau?" Ujar
mama sambil melangkah menuju kamar. Namun tanpa menunggu mama kembali, aku pun
langsung kabur terbirit-birit,
"Mana
ada tasbih di jadiin kalung, ada-ada aja orang tua," pikirku sambil
melarikan diri.
Alhasil
aku pun tiba di sekolah dan kembali bergabung dengan gank-ku. Pagi ini kami
membawa penampilan baru yang membuat setiap teman-teman memperhatikan kami.
Rambutku, Amir dan sehat benar-benar terlihat urakan dan tidak tersisir dengan
rapi alias berantakan habis, sedangkan rambut Angel dan Kusmiran bagaikan
duri-duri rambut ada yang kecil, besar, tampak hitam dan mengkilat. Entah
berapa banyak gel minyak rambut yang mereka habiskan.
Kepala
sekolah yang kebetulan setiap pagi selalu keliling untuk mengontrol kelas dan
anak anak murid sebelum bel masuk, terdiam terpaku di tempat, ketika melihat
kami berlima yang sedang bercengkrama.
"Panggil
bu Sri Mulyati kemari, " serunya menyuruh guru yang mendampinginya untuk
pergi mencari Ibu Sri. Kami berlima di larang meninggalkan tempat kami berada,
seperti biasa di pojokan luar depan kelas. Kelas kami memang berada tepat di
pojok dan mempunyai ruang yang biasa di pakai untuk kami berkumpul. Di tempat
tersebut terdapat bangku duduk panjang yang terbuat dari kayu. Tempat yang
asyik untuk bercerita dan membagi pengalaman serta bermain. Sambil menunggu Bu
Sri datang pak kepala sekolah pun membuka obrolan.
"Bisa
bernyanyai atau menggunakan alat musik?" Kami pun berlima hanya
menggelengkan kepala.
Tidak
lama bu Sri pun datang tergopoh-gopoh dan terdiam sambil mengamati dengan lekat
penampilan kami berlima. Pak Kepala Sekolah hanya berbisik dan Bu Sri pun
menganggukkan kepala tanda mengerti. Seutas senyum menyeringai terbias di
wajahnya sambil tetap memandangi kami tajam terutama kepada diriku. Merasa aku
di pandangi tajam, aku pun hanya menunduk dan jariku menunjuk ke arah sehat.
Sebagai tanda isyarat bahwa ide ini berasal dari sehat.
"Gak
usah tunjuk-tunjuk, semuanya salah, semua ikut ibu," seru Bu Sri berjalan
menuju kantor guru. Bagai di cocok hidungnya seperti kerbau, kami pun mengikuti
bu Sri.
"Pak
Mulyono, kelima anak ini katanya sangat ingin ikut kegiatan paduan suara, minta
tolong di daftarkan ya pak." Seru bu sri ketika berada di ruang guru dan
kami di pertemukan dengan Pak Mulyono guru seni suara.
Aku
pun mengerti apa yang di bisikkan oleh bapak Kepala Sekolah kepada bu Sri.
Ternyata kami diserahkan kepada pak Mulyono guru seni suara, untuk di jadikan
anggota paduan suara di bawah asuhan beliau. Selama ini kelompok paduan suara
sekolah kami, memang selalu kekurangan murid dan peminatnya sangat kurang.
Wajar Kalau menurut kami, kegiatan tersebut sangat membosankan karena kami pun
tidak yakin dengan kualitas suara kami. Selain itu gurunya pun galak dan
cerewet seperti perempuan, termasuk gaya dan kelakuannya.
"Siapa
yang tidak geli jika melihatnya," pikir kami semua jika melihat pak
mulyono mengajar.
"Alamat
tidak beres nih..."Pikirku sambil memandang keempat teman-temanku yang
lain. Mending kami di hukum dengan cara biasa seperti berdiri di depan tiang
bendera atau membersihkan sampah, dari pada harus bergabung dalam paduan suara
di bawah bimbingan pak Mulyono.
"Anak-anak
kalau aku dengar ada yang keluar dari kelompok paduan suaranya pak Mulyono,
siap-siap saja orang tuanya datang dan di jamin tidak bakal ikut Ujian
Nasional." Ancam bu sri di depan pak Mulyono.
"Silahkan
pak Mulyono," ujar bu Sri mempersilahkan bapak tersebut untuk memberikan
pengarahan kepada kami sedangkan bu Sri berlalu meninggalkan kami dan bersiap
siap untuk mengajar.
"Hmmmm...setiap
hari sabtu sore dan minggu pagi datang ke sekolah untuk latihan ya," ujar
pak Mulyono seperti biasanya kemayu...
"Dan...satu
lagi...harus rapi, karena paduan suara memerlukan orang-orang yang rapi."
Sambung pak mulyono sambil mengibaskan telapak tangannya sebagai isyarat
menyuruh kami pergi.
"Ini
yang aku tidak suka...jadwalnya paduan suara mengganggu jadwal basket dan
tidurku di hari minggu," ujarku kesal sambil berjalan di koridor sekolah
menuju kelas.
“Oooh,
itu khan tidak masalah an, bisa kita atur kok rencana kita,” seru sehat
menirukan gayanya pak Mulyono yang kemayu dan keperempuanan. Kami pun tertawa
terkikik menahan suara kami supaya tidak mengganggu kelas yang sedang kami
lewati.
Akhirnya
dengan terpaksa kami pun bergabung dengan paduan suara. Mencoba belajar
mengolah suara...siapa tau bakal benar-benar jadi vokalis...he...he...he. Namun
ternyata itu tidak berjalan lama, sumbangnya suara Sehat dan Amir, malu-malunya
suaraku dan Mukhlis untuk keluar bernyanyi serta cemprengnya suara Kusmiran
membuat kami di usir dari kelompok paduan suara dengan sukses.
"Akhirnya,
tidur sampai siang di hari minggu ku pun sukses tidak ada yang
mengganggu," pikirku sambil berjalan keluar kelas paduan suara.
“Mungkin
bu Sri lain kali akan memikirkan cara yang terbaik untuk menghukum kami”
pikirku sambil tersenyum.
Namun
ketika masuk sekolah di hari Seninnya, ibu Sri melakukan perubahan yang
radikal. Ia merubah posisi tempat duduk murid di kelas kami. Anak laki-laki di
larang duduk mengelompok seperti biasanya. Tempat duduk diatur berjajar di
selang seling, antara laki-laki dan perempuan. Satu bangku di isi laki-laki
dengan perempuan. Dengan urutan berdekatan dengan dinding laki-laki sebelahnya
perempuan, lalu bangku berikutnya pun sama.
“Ini
untuk meredam biar di dalam kelas tidak berisik mengobrol.” jelasnya
Aku yang kebagian duduk bersama teman satu gank-ku berjajar merapat ke dinding.
Aku yang kebagian duduk bersama teman satu gank-ku berjajar merapat ke dinding.
"Sepertinya bu Sri sengaja biar aku bisa
ngobrol sama tembok saja kali ya." Pikirku sambil mendesah jenuh. Setiap
aku jenuh, aku pun menulis di dinding tentang kejadian ku yang ku alami
sebelumnya ataupun barusan beserta tanggal kejadian. Ternyata kebiasaanku pun
di ikuti oleh teman-teman satu gank-ku. Kami pun sering bertukar tempat untuk
membaca cerita yang dialami temanku yang lain.
"Hei,
coba nih kalian baca. Aan menuliskan kejadian kemarin...ha...ha...ha" Seru
Kusmiran tertawa, sedangkan Amir,Angel dan Sehat pun berebutan untuk membaca
tulisanku yang di tunjuk Kusmiran.
3 November
Aku benar-benar malu,
jidatku kepentok tiang rambu-rambu lalu lintas ketika berjalan di trotoar
menuju stadion menonton pertandingan basket. Gara-gara cewek cantik yang lewat,
berkacamata dan cantik juga...semua teman-temanku tertawa termasuk si cantik
yang ada di seberangku...malunya...
Sedangkan cerita
sehat:
15 oktober
Asyik menonton acara
kartun Mickey Mouse di televisi sambil makan snack yang di belikan mama. Tidak sadar
yang aku makan adalah sticker hadiah beserta plastik pembungkusnya. Aku pun
tersedak...hampir mati rasanya tidak bisa bernapas...untung bisa keluar karena
punggungku di pukul-pukul mama...
"Ha...ha...ha...,sehat...sehat...makan
melulu, sekalian aja sendal di makan...rakus...nya," seru Amir tertawa
terpingkal-pingkal diikuti oleh tawa kami yang berderai ramai.
Cerita Amir pun tidak kalah serunya:
21 Oktober
Menatap bintang yang memenuhi langit malam itu. Alangkah indahnya, tetapi tiba-tiba...cairan lengket dan terasa agak hangat menempel di jidatku. Aku pun mengambilnya dengan jariku dan menciumnya...uhhh baunya...ku lihat di atasku membentang kabel listrik dengan seekor burung tepat diatasku...sialan...ternyata tahi burung...tapi kata orang bakal dapat rejeki...mudah-mudahan...
"Ini kurang nih
mir..." Seru kusmiran sambil bersiap-siap ingin menuliskan sesuatu sebagai
tambahan namun di larang amir dengan marah.
"Mau di tambahkan
apaan kus?" Seru sehat penasaran...
"Aku pun menjilat
tahi burung tersebut berharap rejeki cepat datang...ha...ha...ha." Seru
kusmiran dengan terpingkal-pingkal, kami pun tidak kalah hebohnya tertawa.
Melihat kehebohan kami yang tertawa-tawa ketika jam istirahat, menimbulkan
beberapa pertanyaan bagi teman-teman kami yang lain.
Pada akhirnya mereka
pun turut membaca hasil curahan hati kami di dinding.
Sebenarnya perubahan ini sangat efektif, karena sebelumnya kelas kami yang di kenal paling berisik. Namun setelah dilakukan perubahan tempat duduk, menjadi yang paling tenang diantara kelas yang lain. Kelas kami pun menjadi percontohan di sekolah, namun hal tersebut tidak berlangsung lama...
Sebenarnya perubahan ini sangat efektif, karena sebelumnya kelas kami yang di kenal paling berisik. Namun setelah dilakukan perubahan tempat duduk, menjadi yang paling tenang diantara kelas yang lain. Kelas kami pun menjadi percontohan di sekolah, namun hal tersebut tidak berlangsung lama...
Tepat 3 bulan setelah
perubahan, timbul masalah. Ternyata anak-anak laki-laki di kelas ku terlampau
aktif. Sebelumnya hanya aku dan gank ku yang senang menulis di dinding,
sedangkan anak-anak lain hanya membaca kejadian-kejadian kami yang telah kami
tuliskan di dinding. Namun lama kelamaan sepertinya kegiatan tersebut
menyenangkan. Karena hampir tiap hari kami dapat membaca dan mengingat kejadian
yang telah terjadi. Hal itu pun menular ke teman-temanku yang lain. Mereka
mengikuti, hampir semua dinding di kelas penuh dengan coretan curhat, kejadian
tragis, putus cinta dan lain sebagainya. Bahkan teman-teman kelasku sudah
membuat kavling-kavling sendiri sesuai dengan tempat privasi yang diinginkan.
Sebelumnya hal ini tidak di sadari oleh bu Sri karena memang belum terlihat dan
masih sedikit tulisan, sehingga tidak terlalu terlihat. Namun setelah
lama-kelamaan dan dinding telah penuh karena semua orang ikut menulis, bu Sri
pun merasa kecolongan dan naik pitam. Siapa lagi yang bakal di salahkan tiada
lain Aan and the gank.
"Kalian...gak ada
tempat lain untuk menulis selain di dinding!!! Tidak pernah di ajarkan untuk
menulis di kertas ya!!!, Atau Kertas di buku kalian habis? Kalau habis bilang
ke ibu!!!, sekalian ibu belikan yang banyak!!! Ujar bu guru dengan nada yang
tinggi dan menggema ke seluruh ruangan kelas ini, tanpa ada sedikitpun yang
berbicara.
“Kalau kalian mau tahu,
kejadian ini sudah ketahuan sampai ke kepala sekolah. Ibu benar-benar malu,
seperti tidak bisa mengajarkan yang baik ke kalian." Lanjut Seru bu Sri
yang kali ini kata-katanya sepertinya keluar dari hati yang paling dalam dan
penuh penjiwaan. Sehingga aku pun melihatnya terpana bagai melihat sebuah
penjelmaan bu broto di serial drama losmen TVRI.
"Aan, kamu jangan
memasang tampang yang tidak bersalah! Kamu menatap ibu seperti itu memangnya
kenapa? Kamu pikir ibu tidak sedang marah? Sedang bersandiwara?" Teriak bu
sri dengan penuh emosi yang meluap luap. Merasa kalau kali ini bu Sri
mengetahui apa yang ia pikirkan dan merasa ia pasti menjadi satu-satunya
tersangka yang bertanggung jawab penuh atas kejadian ini, akhirnya Aan pun ikut
tertunduk seperti teman kelas lainnya.
Perasaannya pun kali ini terbukti…
"Sekarang aan,
ibu tanya? Jangan pernah mengelak! ibu tau kalau kamu dedengkotnya yang memulai
ini semua!” Masih dengan teriakan dan sedikit mengancam dengan mata melotot
yang tajam dan muka yang merah.
"Alasan kamu
menulis cerita-cerita orang gila di dinding itu, maksudnya apa?" Tanya bu
Sri yang menyebut cerita kami adalah cerita orang gila. Hal tersebut sebenarnya
membuat aku ingin tertawa, namun ku tahan sehingga pada akhirnya hanya tercetus
membentuk sebuah sunggingan senyum yang terlihat.
"Begini bu,
sebelumnya aku minta maaf. Gak ada maksud apa-apa bu. Sungguh...sebelumnya aku
hanya iseng, karena di sana sebelumnya terlihat tulisan rumus matematika dan
arti dari teori-teori seperti bahan contekan untuk ujian. Karena ke-ide-an ya
akhirnya aku menulis tentang kejadian ku sendiri bu. Lebih baik seperti itu
khan bu daripada aku membuat contekan didinding." Ujarku menjelaskan
dengan mimik muka serius dan seperti biasanya orang yang pasti melihat bakal
akan tersenyum atau bahkan reda marahnya jika melihat mimikku yang lugu dan
menggemaskan seperti yang sudah-sudah.
Ternyata cara ku
berhasil, bu Sri menundukkan kepalanya dan menghembuskan napas dan berbalik
sambil berjalan menuju ke meja guru depan kelas. Sepertinya sedang berusaha untuk
meredakan kemarahannya dan mencoba untuk berlaku tenang.
" Hari minggu
semuanya masuk, bantu pak Buat untuk mengecat kelas kalian" serunya
pendek, lalu kemudian membuka buku untuk meneruskan pelajaran.
Ketika jam istirahat…
"Ngel,
ngapain? Teriakku, ketika melihat Angel yang kembali mencoret-coret dinding
walaupun memang sudah di larang bu Sri...Gak kapok-kapok nih anak" pikirku
sambil mendekatinya beserta 3 orang temanku yang lain.
"Baca dech
an," ujarnya sambil tersenyum.
"Hari ini kemungkinan
hari terakhirku untuk menulis di dinding ini. Ya Allah, berkatilah kami semua,
karena sebenarnya niat kami baik. Cuma bu Sri saja yang menyangka kami tidak
berniat baik. Salam perpisahan dari ku untuk dindingku tercinta. Oh ya, maaf ya
bu Sri, sebenarnya aku harus menyampaikan ini, tapi aku tidak berani untuk
langsung bertatap muka dengan ibu. Kemarin malam yang melempar batu ke genteng
bu Sri adalah aku. Karena aku di tantang oleh teman-temanku...sekali lagi aku
minta maaf. Dinding ini akan menjadi saksinya bu, sekali lagi aku minta maaf.”
Aku dan teman-temanku
hanya tertawa kecil sambil menengok kanan dan kiri takut ada yang mengadukannya
ke bu Sri.
"Polos amat
ngel...ketauan habislah kita," ujar Kusmiran menahan geli akibat tertawa
yang di tahan.
"Sudahlah, hari minggu
juga akan di cat, puas-puasin aja dululah..." Seruku lalu kembali menulis
di dinding yang menjadi kavlingku. Mungkin hari itu merupakan hari terakhir
kami dengan puas mencoret-coret dinding sekolah dasar.
No comments:
Post a Comment