Sunday, March 19, 2017

AAN KECIL “CORETAN DINDING”

“I wanna lay you down in bad of roses...for tonight I"ll sleep on a bed of nails...lantunan syair lagu dari Bon jovi terdengar merdu keluar dari radio tape butut di sudut kamarku. Sepatah-dua patah kata-kata pun ku lantunkan dengan lantang, seakan ingin menyamai merdunya suara Jon Bon Jovi.
"Tok...tok...tok...terdengar suara pintu kamarku di ketuk, "mungkin mama," pikirku, dengan malas aku pun bangun dari kasurku dan melangkah ke arah pintu. Aku melihat mama ku sudah berdiri di depan pintu dengan senyuman mengembang di wajahnya,
 "Ada apa mah? Lagi males untuk nyapu di halaman akh...badannya capek banget..." Seruku sambil kembali merebahkan badanku di tempat tidur.
Siang ini aku memang pulang terlambat, selain memang tidak ada jadwal kursus bahasa inggris, aku pun menyempatkan diri bersama teman-temanku berlatih basket. Maklum saat ini basket lagi trend di kalangan anak muda kotaku. Sehingga sepulang sekolah, aku pun bermain basket di halaman SMU dekat sekolah kami. Satu-satunya fasilitas lapangan basket yang di punyai dan masih dalam satu kompleks sekolah atau satu yayasan dengan sekolahku.
"Papa baru pulang, katanya bawa oleh-oleh untuk kamu. Kalau gak mau ya sudah," ujar ibuku sambil beranjak pergi sembari ingin menutup kembali pintu kamarku.
Aku pun mendengar kata oleh-oleh terlompat bangun dan langsung semangat. Aku ingat papa pernah berjanji kepadaku, jika aku naik kelas dan mencapai peringkat minimal 5 besar, akan di belikan radio tape baru. Kebetulan memang aku mendapatkan ranking 3 di kelasku, ketika ujian kenaikan kelas 5 ke kelas 6.
"Sekarang waktunya aku mendapatkan hadiah," pikirku, karena sudah 1 bulan hadiahnya tidak kunjung di belikan, karena kesibukan papaku di luar kota. Dengan berbasa-basi seperti anak yang merindukan papanya, aku pun memeluk papa dan menciumnya, walaupun mataku tetap jelalatan memandangi setiap bungkusan yang ada di meja.
"Sehat Pa, Aan udah kangen nih," ujarku manja. Adikku Rika yang tengah duduk dekat papaku nyeletuk,
"Basa basi, bilang aja nagih hadiahnya," ujarnya sambil memonyongkan mulutnya untuk menggodaku.
"He...he...kurang lebih begitulah Pa," ujarku ketauan belangnya.
"Malu dong Pa, Angel saja udah punya radio tape baru, Kusmiran juga, Sehat baru kemarin di belikan, sedangkan aku hanya punya radio tape lama yang butut bekas papa, suaranya cempreng lagi." Seruku tidak mau kalah.
"Papa juga sudah janji khan, sebagai seorang satria gaban (film fiksi pahlawan berhelm dari Jepang yang tenar di jaman tersebut) harus memenuhi janjinya, sekarang mana Pa?” Ujarku berusaha mengingatkan papaku, aku pun melanjutkan ocehanku seperti anak ayam yang mencuap-cuap mencari induknya yang hilang entah kemana.
Sedari tadi papa dan mama hanya melihat aku mengoceh tanpa menghiraukan sama sekali apa yang ku ucapkan. Mama sedang sibuk mengatur oleh-oleh makanan untuk tetangga, sedangkan papaku sambil mendengarkan suara anaknya yang bagai kaset rusak, sibuk menyedu teh manis hangatnya sembari sesekali tersenyum bagai mendengar aku melantunkan tembang kenangan rusak.
"Sudah selesai? Tanya papaku seperti meledekku.
"Itu ambil di ruang tamu depan dekat pintu kamarmu di atas kursi." Seru papaku sambil tertawa. Adikku pun tertawa keras, melihat aku di permainkan seperti itu. Sedari tadi ternyata hadiah itu sudah ada dekat pintu kamarku, tetapi terlewat olehku. Aku pun melesat meninggalkan keluargaku mentertawakan kekonyolanku barusan.
Radio tersebut berbentuk persegi panjang dengan 2 buah kotak speaker di kanan dan kiri yang bisa di lepas. Merknya yang terkenal buatan Jepang, membuatku bangga akan radio tape baru hadiah papa.
"Wah, teman-temanku pasti ngiri nih melihat radio tape milikku dengan merk terkenal pula," pikirku sambil tersenyum.
"Sudah waktunya kau pensiun, radio tape butut," ujarku bergumam ketika akan menggantikan tempatnya dengan radio tape baru.
Dipikir-pikir cukup terharu juga. Radio butut ini sudah lama menjadi temanku untuk mengusir kejenuhan, mengusir suasana mengerikan di malam hari, menemaniku dalam sendiri di kamar sehingga berani tidur sendiri. Akhirnya radio tape butut tersebut, aku pajang di meja belajarku sebagai barang antik. Suatu saat aku bisa mengingat akan jasa-jasanya. Aku pun menyalakan radio tape baru tersebut dan terdengar jelas bedanya dengan radio tape butut milik papa yang lama...
Keesokan harinya, sepulang dari kursus bahasa Inggris, kamarku di singgahi oleh 4 orang anak ajaib sohibku yang super jahil di sekolah. Seperti biasa kalau bukan Angel, Amir, Kusmiran dan Sehat. Mereka penasaran ingin melihat tape terbaruku. Ternyata mereka pun mengakui dari kualitas suara lebih jelas, jernih dan mengasyikkan dari yang mereka punya. Dari segi tombol, punyaku lebih banyak tombol di banding mereka, walaupun aku belum bisa tahu persatu fungsi tombol-tombol tersebut. Maklum yang kami tahu, kemuktahiran teknologi kami nilai dari banyaknya tombol. Tidak di sangsikan lagi, akhirnya radio tape ku lebih hebat di banding teman-temanku semua. Tapi sudahlah...
                   "An, menurutmu kemarin mau mendekorasi kamarmu, biar lebih keren..." Seru kusmiran.
            "Belum sempat beli posternya kus, nantilah pas pulang kursus besok," seruku mengingatkan kembali akan rencanaku untuk mendekorasi kamarku dengan menempel poster-poster group musik yang aku sukai.
                   "Aku mau merubah penampilan akh!," seru Sehat terlihat bersemangat.
                   "Penampilan yang mana sehat, badanmu yang gendut gak bisa di kecilin lagi. Atau mau jadi Gaban-Shariban?" Seru angel tertawa bercanda.
                   "Rambut mau aku buat acak-acak-an, kalau perlu gondrong, kalau kursus pakai celana dan baju robek-robek, pakai sendal jepit, pakai kalung tengkorak, biar keren," seru Sehat seperti menjelaskan rentetan menu yang menjadi agenda makannya.
                   "Kalau rambut gak mungkin gondrong lah Sehat, kalau yang lain bisalah di rubah," seru Amir yang tumben-tumbennya mendukung idenya Sehat. Dua orang ini biasanya tidak pernah akur dan hasil akhirnya pasti Amir yang mengalah.
                   "Mulai besok akh pas sekolah, aku mau pakai minyak rambut yang tebal biar rambutku bisa berdiri...kerenkan seperti group musik Duran..Duran.." Ujar Angel menimpali rencana sehat.
                   Pada akhirnya teman-temanku sepakat untuk merubah tatanan rambut ketika sekolah besok, kerena kalau pakaian, tas dan sepatu tidak mungkin di rubah. Bisa-bisa di hukum di tiang bendera lagi dech...

Ke-esokan harinya...

                   Pagi itu seperti biasa sehabis mandi, berpakaian dan terakhir merapikan rambut. Namun untuk urusan yang paling akhir, aku pun sengaja hilangkan. "Ingin seperti Jon bon Jovi dengan rambut urakan." Pikirku sambil melangkah menuju meja makan untuk menyantap sarapan.
                   "An, kamu udah nyisir belum sih? Emang minyak rambut kamu habis? Nanti siang mama belikan dech. Sini mama sisir" ujar mama berusaha mendekati Aan dan mengambil sisir sehbais menyisir rambut Rika adikku.
                   "Eittt mah, jangan...ini lagi trend nih...musimnya Rock n Roll. Nanti sore pas pulang sekolah mau beli kalung sama gelang akh...biar keren..."Teriakku sambil menghabiskan roti bakar dan susu sarapanku. Lalu berbalik berniat untuk langsung berangkat sekolah sebelum mama berubah pikiran dan bertambah murka.
                   "An, bentar...itu mama punya kalung metal...kamu mau gak? Ujar mama setengah berteriak.
                   "Loh..." Ujarku terdiam, tumben nih mama gak marah, aku pun menghentikan langkahku dan berputar menghadap ke mama.
                   "Mana mah," seruku senang karena mama mendukung anaknya berkembang sesuai dengan usianya…he..he…he
                   "Itu kalung tasbih peninggalan punya nenek, keren kalau di pakai, mau?" Ujar mama sambil melangkah menuju kamar. Namun tanpa menunggu mama kembali, aku pun langsung kabur terbirit-birit,
                   "Mana ada tasbih di jadiin kalung, ada-ada aja orang tua," pikirku sambil melarikan diri.
                   Alhasil aku pun tiba di sekolah dan kembali bergabung dengan gank-ku. Pagi ini kami membawa penampilan baru yang membuat setiap teman-teman memperhatikan kami. Rambutku, Amir dan sehat benar-benar terlihat urakan dan tidak tersisir dengan rapi alias berantakan habis, sedangkan rambut Angel dan Kusmiran bagaikan duri-duri rambut ada yang kecil, besar, tampak hitam dan mengkilat. Entah berapa banyak gel minyak rambut yang mereka habiskan.
                   Kepala sekolah yang kebetulan setiap pagi selalu keliling untuk mengontrol kelas dan anak anak murid sebelum bel masuk, terdiam terpaku di tempat, ketika melihat kami berlima yang sedang bercengkrama.
                   "Panggil bu Sri Mulyati kemari, " serunya menyuruh guru yang mendampinginya untuk pergi mencari Ibu Sri. Kami berlima di larang meninggalkan tempat kami berada, seperti biasa di pojokan luar depan kelas. Kelas kami memang berada tepat di pojok dan mempunyai ruang yang biasa di pakai untuk kami berkumpul. Di tempat tersebut terdapat bangku duduk panjang yang terbuat dari kayu. Tempat yang asyik untuk bercerita dan membagi pengalaman serta bermain. Sambil menunggu Bu Sri datang pak kepala sekolah pun membuka obrolan.
                   "Bisa bernyanyai atau menggunakan alat musik?" Kami pun berlima hanya menggelengkan kepala.
                   Tidak lama bu Sri pun datang tergopoh-gopoh dan terdiam sambil mengamati dengan lekat penampilan kami berlima. Pak Kepala Sekolah hanya berbisik dan Bu Sri pun menganggukkan kepala tanda mengerti. Seutas senyum menyeringai terbias di wajahnya sambil tetap memandangi kami tajam terutama kepada diriku. Merasa aku di pandangi tajam, aku pun hanya menunduk dan jariku menunjuk ke arah sehat. Sebagai tanda isyarat bahwa ide ini berasal dari sehat.
                   "Gak usah tunjuk-tunjuk, semuanya salah, semua ikut ibu," seru Bu Sri berjalan menuju kantor guru. Bagai di cocok hidungnya seperti kerbau, kami pun mengikuti bu Sri.
                   "Pak Mulyono, kelima anak ini katanya sangat ingin ikut kegiatan paduan suara, minta tolong di daftarkan ya pak." Seru bu sri ketika berada di ruang guru dan kami di pertemukan dengan Pak Mulyono guru seni suara.
                   Aku pun mengerti apa yang di bisikkan oleh bapak Kepala Sekolah kepada bu Sri. Ternyata kami diserahkan kepada pak Mulyono guru seni suara, untuk di jadikan anggota paduan suara di bawah asuhan beliau. Selama ini kelompok paduan suara sekolah kami, memang selalu kekurangan murid dan peminatnya sangat kurang. Wajar Kalau menurut kami, kegiatan tersebut sangat membosankan karena kami pun tidak yakin dengan kualitas suara kami. Selain itu gurunya pun galak dan cerewet seperti perempuan, termasuk gaya dan kelakuannya.
                   "Siapa yang tidak geli jika melihatnya," pikir kami semua jika melihat pak mulyono mengajar.
                   "Alamat tidak beres nih..."Pikirku sambil memandang keempat teman-temanku yang lain. Mending kami di hukum dengan cara biasa seperti berdiri di depan tiang bendera atau membersihkan sampah, dari pada harus bergabung dalam paduan suara di bawah bimbingan pak Mulyono.
                   "Anak-anak kalau aku dengar ada yang keluar dari kelompok paduan suaranya pak Mulyono, siap-siap saja orang tuanya datang dan di jamin tidak bakal ikut Ujian Nasional." Ancam bu sri di depan pak Mulyono.
                   "Silahkan pak Mulyono," ujar bu Sri mempersilahkan bapak tersebut untuk memberikan pengarahan kepada kami sedangkan bu Sri berlalu meninggalkan kami dan bersiap siap untuk mengajar.
                   "Hmmmm...setiap hari sabtu sore dan minggu pagi datang ke sekolah untuk latihan ya," ujar pak Mulyono seperti biasanya kemayu...
                   "Dan...satu lagi...harus rapi, karena paduan suara memerlukan orang-orang yang rapi." Sambung pak mulyono sambil mengibaskan telapak tangannya sebagai isyarat menyuruh kami pergi.
                   "Ini yang aku tidak suka...jadwalnya paduan suara mengganggu jadwal basket dan tidurku di hari minggu," ujarku kesal sambil berjalan di koridor sekolah menuju kelas.
                   “Oooh, itu khan tidak masalah an, bisa kita atur kok rencana kita,” seru sehat menirukan gayanya pak Mulyono yang kemayu dan keperempuanan. Kami pun tertawa terkikik menahan suara kami supaya tidak mengganggu kelas yang sedang kami lewati.
                   Akhirnya dengan terpaksa kami pun bergabung dengan paduan suara. Mencoba belajar mengolah suara...siapa tau bakal benar-benar jadi vokalis...he...he...he. Namun ternyata itu tidak berjalan lama, sumbangnya suara Sehat dan Amir, malu-malunya suaraku dan Mukhlis untuk keluar bernyanyi serta cemprengnya suara Kusmiran membuat kami di usir dari kelompok paduan suara dengan sukses.
                   "Akhirnya, tidur sampai siang di hari minggu ku pun sukses tidak ada yang mengganggu," pikirku sambil berjalan keluar kelas paduan suara.
                   “Mungkin bu Sri lain kali akan memikirkan cara yang terbaik untuk menghukum kami” pikirku sambil tersenyum.
                   Namun ketika masuk sekolah di hari Seninnya, ibu Sri melakukan perubahan yang radikal. Ia merubah posisi tempat duduk murid di kelas kami. Anak laki-laki di larang duduk mengelompok seperti biasanya. Tempat duduk diatur berjajar di selang seling, antara laki-laki dan perempuan. Satu bangku di isi laki-laki dengan perempuan. Dengan urutan berdekatan dengan dinding laki-laki sebelahnya perempuan, lalu bangku berikutnya pun sama.
                   “Ini untuk meredam biar di dalam kelas tidak berisik mengobrol.” jelasnya
Aku yang kebagian duduk bersama teman satu gank-ku berjajar merapat ke dinding.
                    "Sepertinya bu Sri sengaja biar aku bisa ngobrol sama tembok saja kali ya." Pikirku sambil mendesah jenuh. Setiap aku jenuh, aku pun menulis di dinding tentang kejadian ku yang ku alami sebelumnya ataupun barusan beserta tanggal kejadian. Ternyata kebiasaanku pun di ikuti oleh teman-teman satu gank-ku. Kami pun sering bertukar tempat untuk membaca cerita yang dialami temanku yang lain.
                   "Hei, coba nih kalian baca. Aan menuliskan kejadian kemarin...ha...ha...ha" Seru Kusmiran tertawa, sedangkan Amir,Angel dan Sehat pun berebutan untuk membaca tulisanku yang di tunjuk Kusmiran.

3 November
Aku benar-benar malu, jidatku kepentok tiang rambu-rambu lalu lintas ketika berjalan di trotoar menuju stadion menonton pertandingan basket. Gara-gara cewek cantik yang lewat, berkacamata dan cantik juga...semua teman-temanku tertawa termasuk si cantik yang ada di seberangku...malunya...

Sedangkan cerita sehat:

15 oktober
Asyik menonton acara kartun Mickey Mouse di televisi sambil makan snack yang di belikan mama. Tidak sadar yang aku makan adalah sticker hadiah beserta plastik pembungkusnya. Aku pun tersedak...hampir mati rasanya tidak bisa bernapas...untung bisa keluar karena punggungku di pukul-pukul mama...

"Ha...ha...ha...,sehat...sehat...makan melulu, sekalian aja sendal di makan...rakus...nya," seru Amir tertawa terpingkal-pingkal diikuti oleh tawa kami yang berderai ramai.

Cerita Amir pun tidak kalah serunya:

21 Oktober

Menatap bintang yang memenuhi langit malam itu. Alangkah indahnya, tetapi tiba-tiba...cairan lengket dan terasa agak hangat menempel di jidatku. Aku pun mengambilnya dengan jariku dan menciumnya...uhhh baunya...ku lihat di atasku membentang kabel listrik dengan seekor burung tepat diatasku...sialan...ternyata tahi burung...tapi kata orang bakal dapat rejeki...mudah-mudahan...

"Ini kurang nih mir..." Seru kusmiran sambil bersiap-siap ingin menuliskan sesuatu sebagai tambahan namun di larang amir dengan marah.
"Mau di tambahkan apaan kus?" Seru sehat penasaran...
"Aku pun menjilat tahi burung tersebut berharap rejeki cepat datang...ha...ha...ha." Seru kusmiran dengan terpingkal-pingkal, kami pun tidak kalah hebohnya tertawa. Melihat kehebohan kami yang tertawa-tawa ketika jam istirahat, menimbulkan beberapa pertanyaan bagi teman-teman kami yang lain.
Pada akhirnya mereka pun turut membaca hasil curahan hati kami di dinding.
Sebenarnya perubahan ini sangat efektif, karena sebelumnya kelas kami yang di kenal paling berisik. Namun setelah dilakukan perubahan tempat duduk, menjadi yang paling tenang diantara kelas yang lain. Kelas kami pun menjadi percontohan di sekolah, namun hal tersebut tidak berlangsung lama...
Tepat 3 bulan setelah perubahan, timbul masalah. Ternyata anak-anak laki-laki di kelas ku terlampau aktif. Sebelumnya hanya aku dan gank ku yang senang menulis di dinding, sedangkan anak-anak lain hanya membaca kejadian-kejadian kami yang telah kami tuliskan di dinding. Namun lama kelamaan sepertinya kegiatan tersebut menyenangkan. Karena hampir tiap hari kami dapat membaca dan mengingat kejadian yang telah terjadi. Hal itu pun menular ke teman-temanku yang lain. Mereka mengikuti, hampir semua dinding di kelas penuh dengan coretan curhat, kejadian tragis, putus cinta dan lain sebagainya. Bahkan teman-teman kelasku sudah membuat kavling-kavling sendiri sesuai dengan tempat privasi yang diinginkan. Sebelumnya hal ini tidak di sadari oleh bu Sri karena memang belum terlihat dan masih sedikit tulisan, sehingga tidak terlalu terlihat. Namun setelah lama-kelamaan dan dinding telah penuh karena semua orang ikut menulis, bu Sri pun merasa kecolongan dan naik pitam. Siapa lagi yang bakal di salahkan tiada lain Aan and the gank.
"Kalian...gak ada tempat lain untuk menulis selain di dinding!!! Tidak pernah di ajarkan untuk menulis di kertas ya!!!, Atau Kertas di buku kalian habis? Kalau habis bilang ke ibu!!!, sekalian ibu belikan yang banyak!!! Ujar bu guru dengan nada yang tinggi dan menggema ke seluruh ruangan kelas ini, tanpa ada sedikitpun yang berbicara.
“Kalau kalian mau tahu, kejadian ini sudah ketahuan sampai ke kepala sekolah. Ibu benar-benar malu, seperti tidak bisa mengajarkan yang baik ke kalian." Lanjut Seru bu Sri yang kali ini kata-katanya sepertinya keluar dari hati yang paling dalam dan penuh penjiwaan. Sehingga aku pun melihatnya terpana bagai melihat sebuah penjelmaan bu broto di serial drama losmen TVRI.
"Aan, kamu jangan memasang tampang yang tidak bersalah! Kamu menatap ibu seperti itu memangnya kenapa? Kamu pikir ibu tidak sedang marah? Sedang bersandiwara?" Teriak bu sri dengan penuh emosi yang meluap luap. Merasa kalau kali ini bu Sri mengetahui apa yang ia pikirkan dan merasa ia pasti menjadi satu-satunya tersangka yang bertanggung jawab penuh atas kejadian ini, akhirnya Aan pun ikut tertunduk seperti teman kelas lainnya.
 Perasaannya pun kali ini terbukti…
"Sekarang aan, ibu tanya? Jangan pernah mengelak! ibu tau kalau kamu dedengkotnya yang memulai ini semua!” Masih dengan teriakan dan sedikit mengancam dengan mata melotot yang tajam dan muka yang merah.
"Alasan kamu menulis cerita-cerita orang gila di dinding itu, maksudnya apa?" Tanya bu Sri yang menyebut cerita kami adalah cerita orang gila. Hal tersebut sebenarnya membuat aku ingin tertawa, namun ku tahan sehingga pada akhirnya hanya tercetus membentuk sebuah sunggingan senyum yang terlihat.
"Begini bu, sebelumnya aku minta maaf. Gak ada maksud apa-apa bu. Sungguh...sebelumnya aku hanya iseng, karena di sana sebelumnya terlihat tulisan rumus matematika dan arti dari teori-teori seperti bahan contekan untuk ujian. Karena ke-ide-an ya akhirnya aku menulis tentang kejadian ku sendiri bu. Lebih baik seperti itu khan bu daripada aku membuat contekan didinding." Ujarku menjelaskan dengan mimik muka serius dan seperti biasanya orang yang pasti melihat bakal akan tersenyum atau bahkan reda marahnya jika melihat mimikku yang lugu dan menggemaskan seperti yang sudah-sudah.
Ternyata cara ku berhasil, bu Sri menundukkan kepalanya dan menghembuskan napas dan berbalik sambil berjalan menuju ke meja guru depan kelas. Sepertinya sedang berusaha untuk meredakan kemarahannya dan mencoba untuk berlaku tenang.
" Hari minggu semuanya masuk, bantu pak Buat untuk mengecat kelas kalian" serunya pendek, lalu kemudian membuka buku untuk meneruskan pelajaran.

Ketika jam istirahat…

                   "Ngel, ngapain? Teriakku, ketika melihat Angel yang kembali mencoret-coret dinding walaupun memang sudah di larang bu Sri...Gak kapok-kapok nih anak" pikirku sambil mendekatinya beserta 3 orang temanku yang lain.
"Baca dech an," ujarnya sambil tersenyum.
"Hari ini kemungkinan hari terakhirku untuk menulis di dinding ini. Ya Allah, berkatilah kami semua, karena sebenarnya niat kami baik. Cuma bu Sri saja yang menyangka kami tidak berniat baik. Salam perpisahan dari ku untuk dindingku tercinta. Oh ya, maaf ya bu Sri, sebenarnya aku harus menyampaikan ini, tapi aku tidak berani untuk langsung bertatap muka dengan ibu. Kemarin malam yang melempar batu ke genteng bu Sri adalah aku. Karena aku di tantang oleh teman-temanku...sekali lagi aku minta maaf. Dinding ini akan menjadi saksinya bu, sekali lagi aku minta maaf.”
Aku dan teman-temanku hanya tertawa kecil sambil menengok kanan dan kiri takut ada yang mengadukannya ke bu Sri.
"Polos amat ngel...ketauan habislah kita," ujar Kusmiran menahan geli akibat tertawa yang di tahan.
"Sudahlah, hari minggu juga akan di cat, puas-puasin aja dululah..." Seruku lalu kembali menulis di dinding yang menjadi kavlingku. Mungkin hari itu merupakan hari terakhir kami dengan puas mencoret-coret dinding sekolah dasar. 

No comments:

Post a Comment

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO