Kisah malu
dalam pramuka akhirnya bisa ku lupakan bersamaan dengan datangnya libur panjang
kenaikan kelas 3 ke kelas Empat yang akan tiba. Untungnya... aku bertemu dengan
teman-teman pramuka pun jarang juga, karena kesibukan kami dalam ujian naik
kelas dan class meeting sehabis ujian. Class meeting merupakan semacam event
pertandingan setelah ujian naik kelas, sembari menunggu hasil raport naik kelas
di bagikan. Ketika Class meeting berjalan, aku banyak menghabiskan waktu di
perpustakaan, berharap tanggal untuk libur segera datang.
Akhirnya waktu
yang di tunggu-tunggu pun tiba. Rencana papaku untuk pulang kampung ke Kuningan
Jawa Barat begitu menggembirakan kami sekeluarga. Tetapi jika tahu tujuannya
kesana untuk apa, di jamin 100% halal aku bakal pikir-pikir dulu. Tapi gak
deng...siapa lagi yang mau di tinggal sendiri dirumah...
Perjalanan
menuju Kuningan Jawa Barat di tempuh dalam waktu 2 malam satu hari. Sangat
mengasyikkan melihat pemandangan luar daerah yang penuh misteri dan baru menurutku..
Perjalanan dari Palembang ke Tanjung Karang di tempuh menggunakan Kereta Api.
Setelah itu memakai taxi menuju pelabuhan Bakauheni untuk naik kapal Ferry
Penyeberangan menuju Pelabuhan Merak. Sepanjang jalan tidak henti aku
menengokkan kepala ke kanan dan kekiri seperti orang yang baru lepas dari
belenggu. Apalagi ketika berada di atas kapal laut yang menurutku besaaaaar
sekali. Sehingga bisa menampung mobil, bus serta ribuan orang. Aku juga
menikmati indahnya pulau-pulau yang tersebar di selat sunda, melihat deburan
ombak, dan...
"Oooohhhh,
sekumpulan ikan lumba-lumba terlihat berenang berlomba disamping kapal kami,
sangat menakjubkan...benar-benar hari keberuntunganku," teriakku
kegirangan dan masih sambil berteriak menunjuk kearah sekumpulan lumba-lumba.
Aku baru kali ini melihat lumba-lumba dari dekat, maklum di kota kami belum ada
kebun binatang. Penuh orang di dek kapal melihat pertunjukan yang langka ini.
Menurut papaku juga hal yang belum pernah terjadi, karena selama papaku
melanglang buana ke seluruh kota selama muda belum pernah terjadi hal yang
sedemikian.
"Jika
melihat lumba-lumba di selat ini, berarti tidak lama lagi kita pasti beruntung
loh," ujar seorang pemuda yang tidak jauh berdirinya dari ku, yang secara
tidak sengaja terdengar olehku. Pemuda tersebut terlibat percakapan dengan kekasihnya
mungkin.
"Takhayul
akh, kata siapa?" Seru sang perempuan yang berada di samping pemuda
tersebut.
"Kataku
barusan, khan keberuntungannya aku bersama mu saat ini," seru sang pemuda
terlihat dengan muka merayu dan manja.
????...Hmmmm.
Tidak penting kok di kupingin ya," pikirku.
Selama 2 jam perjalan dari bakauheni ke merak,
akhirnya kapal pun merapat. Perjalanan pun di sambung dengan menggunakan bus
antar kota jurusan Merak-Cirebon. Kali ini karena keadaan masih siang, aku pun
dapat menikmati pemandangan yang tersajikan dari kota-kota yang kami lewati.
Akhirnya entah
berapa jam, aku tidak ingat karena kondisiku sudah lelah dan terlelap tidur di
pangkuan mama, kami pun tiba di Cirebon dan hari pun sudah gelap. Dari terminal
tersebut kami pun melanjutkan menggunakan taxi menuju Kuningan. Ketika sampai
pun aku masih lelap tertidur dan di bangunkan oleh papaku karena aku harus bisa
berjalan sendiri. Banyaknya bawaan buah tangan yang di bawa papaku ke kampung,
sehingga kerepotan jika harus mengendong aku dan adikku.
"Hmmmmm,
hawanya sangat sejuk, dingin dan segar, tidak seperti di Palembang yang panas
dan gerah. Gumam ku sambil merapatkan jaket ku dan menggigil karena kedinginan.
"Bakal betah
lama nih sepertinya," pikirku kembali.
Sebenarnya aku
pernah di bawa pulang ke kampung setiap tahunnya semenjak bayi. Namun menginjak
aku masuk sekolah dasar, pulang kampung pun di tunda sampai kenaikan kelasku ke
kelas empat. Berarti 3 tahun aku sekeluarga tidak pulang ke Kuningan. Jadi
wajar kenangan 3 tahun yang lalu terlupakan karena aku pun masih kecil sehingga
tidak ingat. Akan aku lihat kejutan yang akan terjadi jika matahari sudah
menyingsing. Aku anggap kejutan karena terobsesi oleh cerita papaku tentang
kuningan sepanjang perjalanan.
"Di
Kuningan terdapat gunung Ciremai yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat.
Alamnya pun masih asri, dingin dan sejuk, jangan memaksakan mandi kalau di pagi
hari karena airnya bakal sedingin es batu." Ujar papaku mengawali
ceritanya tentang Kuningan kepadaku dan adik perempuanku.
Cerita itu yang
membuat penasaran diriku di samping cerita lainnya.
"kalau mau
lihat pemandangan langsung, nanti lihat dari lapangan sepak bola dekat rumah
ya." Sambung papaku menambah penasaran ku.
Setibanya di
tujuan...
Heboh keluarga
kakek dan nenekku menerima kedatangan kami sekeluarga. Ternyata di sana sudah
ada paman dan bibiku yang sudah datang duluan dari Bekasi. Bibiku ini merupakan
adik dari papaku dan tinggal di bekasi. Setiap liburan panjang pasti pulang ke
kampung. Bibiku ini mempunyai anak bernama Taufik yang masih berusia 2 tahun. Di
samping bibiku terdapat lagi adik dari papaku yang paling bungsu. Belum menikah
dan berwajah seperti orang keturunan Cina serta berkulit putih. Baru ku tahu
bahwa semua keturunan papa dan ibuku semuanya memiliki pigmen kulit putih.
"Hm,
pantas saja aku sekeluarga mewarisi pigment tersebut," pikirku sambil
memperhatikan keluarga besar Papa ku. Sehabis makan aku dan adikku di suruh
lebih dulu beristirahat karena para orang tua akan membahas sesuatu hal yang
penting.
"Aduuuuh,
baru datang kok rapat, benar-benar sulit di mengerti jalan pikiran para orang
tua," pikirku dan aku pun langsung menghempaskan badan ke kasur dan tidak
ingat lagi apa-apa.
Paginya....
"Waaaah,"
gumamku sambil terbelalak mataku melihat keajaiban didepan mataku. Baru kali
ini aku melihat kebesaran Allah SWT berupa gunung tertinggi di Jawa Barat.
Gunung tersebut tampak gagah dan menjulang tinggi. Dengan di selimuti pepohonan
yang berwarna hijau tua dan muda kontras dengan gumpalan kabut putih tipis yang
menutupi sebagian puncaknya. Benar kata papa, dari tempat ku berdiri yaitu
pelataran rumput hijau yang menjadi lapangan bermain bola kaki, gunung Ciremai
tampak jelas menjulang.
"indah
sekali." Lanjutku kembali ku bergumam melihat apa yang ada di depanku.
Tidak bergeming sedikitpun aku berdiri, lama sekali aku memandang dan mengagumi
keindahan ciptaan Tuhan. Maklum di tempatku Palembang, aku hanya bisa melihat
Sungai Musi.
Aku pun
bergumam dalam hati "mungkin suatu saat akan ku daki dirimu berkali-kali
untuk memuaskan hasratku dan bersujud syukur ketika sudah sampai di tepi
kawahmu," janji kepada diriku. Keinginan tersebut sangat menggebu-gebu,
sampai ku ucapkan berkali-kali. Setelah merasa puas memandangi kemegahan gunung
ciremai, aku pun berjalan-jalan di sekitar persawahan dan hutan, serta menyusuri
kali di dekat kampung dengan ditemani oleh adik papaku yang paling bungsu Mang
Nur.
Sepanjang
perjalanan, pamanku mang Nur banyak bercerita tentang kampung, memang
menakjubkan kampung ini, sungainya masih jernih, masih ku lihat anak anak sebayaku
yang memancing ataupun berenang. Aku di kenalkan pamanku kepada anak anak
sebayaku yang memang kebanyakan masih saudara. Menurut pamanku ini, satu
kampung ini masih ada darah saudara semua.
"Hm,...wah
repot kalau lebaran, semuanya harus bersalaman dan dikunjungi," pikirku
seperti adat biasanya di kampung kami Palembang, sambil memandangi satu persatu
teman-teman baruku yang dikenalkan oleh Mang Nur.
Ingin rasanya
aku ikut berenang, namun malu karena aku saat itu belum bisa berenang. Ku
tampik ajakan mereka dengan alasan lagi capek dan takut masuk angin. Sambil bermain
air dan memandang teman-temanku riuh bermain air, mang nur pun bertanya tentang
beberapa hal.
"An,
pengen sunat gak sih? Pamanku bertanya lugas.
"Pengen
sih mang, memang kenapa? Malu juga sih...ada beberapa teman baikku di kelas
tahun lalu sudah bersunat." Jawabku sambil terus memandang teman-temanku
dan tertawa ketika melihat ada temanku di isengi oleh yang lain.
"Kapan ya,
papa mengijinkan ku untuk bersunat?. Kalau menurut teman-temanku sih gak sakit.
Mereka kebanyakan melakukannya di rumah sakit dan dapat banyak uang lagi,"
seru ku bertanya kepada pamanku sambil aku pun tersenyum karena membayangkan
bahwa aku mempunyai banyak uang.
"Hm...ya
berdoa aja semoga segera, tapi yakin benar mau nih bersunat?," tanya mang
nur berusaha meyakinkan diriku yang sepertinya polos menjawab apa adanya.
"Ya, mau
lah...wong dapat duit. Pengen beli sepeda uangnya," seruku senang,
membayangkan diriku menaiki sepeda baru. Mang Nur pun tertawa lepas melihat
kepolosanku dan mengajakku pulang ke rumah.
Tidak dinyana,
ternyata ucapan mang nur menjadi kenyataan. Baru aku tahu bahwa sebenarnya rencana
Sunat ini memang sudah di persiapkan jauh-jauh hari. Memang keinginan papa
sengaja membawaku pulang ke Kuningan untuk melakukan hajatan sunatanku. Ketika kami
sampai dirumah, papa dengan lugas memberitahu bahwa besok aku akan di sunat
pagi hari dengan bapak mantri. Bapak mantri di kampung ini merupakan seorang
dokter kesehatan, seperti yang sudah kuduga masih mempunyai hubungan
kekerabatan saudara dengan keluargaku. Kalau aku sih memanggilnya "Abah."
Alhasil MulaI
sore ini, rumah kakek pun sudah penuh dengan para saudara dekat dan jauh. Aku
menjadi heran dan sekaligu sangat bahagia karena acara Sunatanku bisa
menyatukan seluruh keluargaku. Aku bisa berkenalan dengan saudara saudara yang
lain. Biasanya jika melihat acara hajatan di kampungku apalagi sunatan tidak
pernah yang seramai begini.
“Mungkin karena
keluarga papa keluarga besar kali ya,” tanyaku dalam hati. Sambil memperhatikan
satu persatu keluarga yang sedang riuh bercanda dan bahkan mengobrol lepas.
Keluarga dari
Kakek saja anaknya udah 8 termasuk papa. Belum saudara kandung dari Kakek
sendiri yang masih ada, saudara dari nenek, belum lagi anak anak kakek banyak
yang udah punya anak anak. Intinya semua saudara jauh dari papa datang, belum
lagi saudara-saudara dekat pun datang berkunjung. Sehingga rumah pun menjadi
ramai. Untuk para ibu acara masak-memasak begitu ramai sampai tetangga datang
membantu.
Rasa senang
membuncah di hatiku, karena baru bertemu banyak saudara saudaraku dan yang punya hajat adalah diriku sendiri. Sehingga
keramaian seperti ini tidak disia siakan oleh ku untuk acara bermain. Namun niat
tersebut sepertinya diurungkan dahulu oleh ku, karena larangan bermain dari
paman, bibi bahkan orang tuaku. Bermain jauh pun juga dilarang yang alhasil...aku
pun protes...
“waduuuh,
kenapa sih?” Keluhku pada papa dan mama.
"Nanti
kalau banyak bermain, pas di potong darahnya akan banyak keluar, nanti
kehabisan darah," jelas papaku sambil tersenyum.
"Hm,
mungkin iya, mungkin tidak,...akh di rumah sakit ini pasti banyak persediaan
darah kan, untuk menggantikan darahku yang habis," pikirku.
“itu hanya
alasan mama dan papa saja biar aku tidak mengganggu percakapan para saudara
saudara yang sedang temu kangen” pikirku kembali.
Walaupun masih
dongkol dalam hati, akhirnya ku ikuti juga kemauan para orang tua, karena kalau
tidak begitu semua saudara pasti berteriak dan memarahiku.
"
Hm...orang tua memang aneh...tidak mengerti keinginan anak-anak" pikirku.
Akhirnya aku
pun hanya diam dan mendengarkan beberapa pembicaraan ringan para saudara,
sambil mencoba untuk memakan penganan khas Sunda seperti kue Bacang, dempling,
papais serta banyak makanan lain yang aku pun tidak ingat apa namanya. Beberapa
saudara pun mencoba untuk mencairkan suasana yang formal dan mebosankan bagi
diriku dengan mengajak ku ngobrol. Namun pembicaraannya masih sekitar acara
sunatan, yang pada akhirnya menjadi penyebab rasa takutku semakin membesar.
"Kalau
dulu bapak di sunat memakai buluh bambu loh an, gak ada suntik bius seperti
sekarang ini," kata mang oka salah satu pamanku yang lain.
“Oh ya, masa
sih mang? Emang bisa? Tanyaku sambil membelalakkan mataku tanda rasa tak
percaya.
Mang Oka pun
hanya tersenyum lalu menjelaskan bahwa buluh bambu itu di pilih bagian yang
paling tajamnya yaitu kulit bambu yang masih muda. Lalu ia juga melanjutkan
cerita tentang kisah lainnya.
"Ada juga
temen bapak, katanya memakai parang,” seru mang Oka sambil tertawa dan
mengayunkan tangannya dan membayangkan bahwa ia seperti memegang parang lalu
mempraktekkan bagian mana yang di potong. Aku pun yang mendengar seakan
terhipnotis rasa tak percaya namun yang cerita Paman ku sendiri yang mau tidak
mau rasa percaya mengalahkan rasa tidak percaya. Apalagi pamanku yang satu ini
pintar sekali bicaranya seakan akan kejadian tersebut memang terjadi.
“Duuuh
seremnya, gimana ya rasanya" pikirku sambil mengernyitkan dahi dan sambil
bergidik ngeri membayangkan keadaan seperti itu.
"Nanti
setelah sunat, pasti di pakaikan bokor dari rotan atau pun bambu, itu seperti
kurungan ayam tapi lebih kecil. Sebelum di sunat anaknya harus di kerem dulu
dalam kurungan ayam di halaman rumah seharian. Biar gak jalan-jalan atau
bermain" lanjutnya sambil menunjuk kurungan ayam yang ada di halaman rumah
Kakek.
Pamanku terus
saja berbicara tanpa menghiraukan perasaanku yang sangat was-was dan ketakutan.
Aku yang mendengarkan cerita mang oka,
terkesiap ngeri membayangkan orang di sunat pakai buluh bambu dan parang.
"Gimana
kalau salah potong ya, bisa habis burungku nanti," panik mulai
menghinggapi diriku. Apalagi membayangkan diriku di keram dalam kurungan ayam
selama seharian. Tidak menunggu lama, aku pun sukses kabur dari hadapan mang
oka, bergabung bersama temanku bagas.
"Sunat itu
sakit loh an, sakitnya kaya di gigit kuda," seru bagas menambah rasa
takutku membuncah. Membuatkan ingin melarikan diri dari acara sunatanku.
Akhirnya aku
pun sukses kabur lagi dari bagas...kali ini lebih baik di kamar tidur
menyendiri dan berusaha tidur dengan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut. Namun
bayangan-bayangan menyeramkan dari sunat itu pun terus menghantui ku. Sakit
nggak ya? Bagaimana kalau pisau potongnya lupa akhirnya memakai buluh bambu
atau parang ya. Bagaimana kalau salah potong hingga burungku jadi setengah atau
hilang sama sekali ...haaaaaaa," tidak...tidak..."Teriakku.
Namun sore
harinya aku di tenangkan kembali oleh para saudara. Mang Oka pun hanya
tersenyum senang karena sudah mempermainkan suasana hatiku dan sekarang mang
Oka pun mulai ikut menghibur. Itu untungnya kalau punya banyak saudara, aku di
sidang di tengah-tengah makan malam. Di hibur, di iming-imingi dengan uang dan
sepeda. Mantrinya pun datang untuk menghiburku dan berjanji akan memotong
burungku dengan sukses tanpa sakit, di bentuk dan di ukir dengan indah sehingga
pasti akan memuaskan pasanganku jika besar nanti.
Ha...ha
ha...emang patung," pikirku. Sedangkan para saudara yang lain pun tertawa
riuh. Aku pun terheran-heran melihat keriuhan para saudara besarku. Keriuhan
pun terus berlanjut karena tema pembicaraan sekarang adalah tentang burung dan
sunat. Aku pun yang tidak mengerti akhirnya pamit untuk pergi duluan tidur,
karena rencananya acara pemenggalan burungku ini besok pagi subuh jam 6.
Sambil berjalan
pergi ke kamar tidur aku masih mendengar keriuhan para saudara besarku "Hm...tetap
tidak bisa ku mengerti," pikirku sambil ikut tertawa senyum mendengar
keriuhan mereka serta tersenyum membayangkan acara besar besok.
"Wah,
pasti banyak nih yang mengantarkanku ke rumah sakit," pikirku dengan
senang, lumayan jadi selebritis satu hari" pikirku sembari menghempaskan
badanku di atas kasur empukku. Aku pun
tersenyum dalam tidurku dan tidak sabar untuk menunggu hari esok.
Keesokan
harinya...
Aku di paksa
bangun dan mandi. “wuiiih, dinginnya pagi ini, kalau tidak ingat kalau hari ini
adalah hari penting, sudah pasti aku masih meringkuk di dalam selimut.” Keluhku
dalam hati sambil berjalan menuju kamar mandi sambil di tuntun mama. Untungnya
mama sudah memasak air panas untuk di pakaiku mandi dan mama pun membersihkan burungku
dengan teliti...hi hi hi...malu juga tapi ya mau gimana lagi khan mau di lihat
pak mantri sunat. Setelah mandi aku pun di pakaikan baju koko dan sarung serta
peci baru, lalu pergi bergabung dengan saudara-saudara lain di ruang tamu.
“He he he...Mah,
naek apa nanti ke rumah sakit?" Tanyaku. Biasanya kalau sesuai adat
sebelum sunat aku di arak keliling kampung memakai kuda dan di panggil dengan
"pengantin sunat". Tetapi kata papaku tidak punya waktu lagi.
"Dugaanku
mungkin aku ke rumah sakit menaiki kuda atau dokar (andong)," pikirku
pasti seru sekali nih.
Pagi itu aku
didudukkan di dalam rumah bersama para saudaraku yang lebih besar serta bersama
para orang tua. Tidak di perbolehkan sama sekali keluar rumah atau pun menengok
keadaan luar rumah sama sekali. Akhirnya acara pemenggalan pun akan di mulai, tetapi...
Tiba tiba....
Aku di dekap
dengan papa dan pamanku sebelah kanan dan kiri. Dengan sedikit paksaan mataku
di tutup dengan tangan papaku. Aku di gotong, entah oleh dengan pamanku yang
mana lagi...ini pemaksaan dan melanggar hak asasi anak anak!!! Aku pun
berteriak tidak terima...
"Apa-apaan
ini...mama kok begini...mama...!!!teriakku...
Aku di
baringkan di atas meja yang di tempatkan di depan rumah. Aku memberontak sekuat
tenaga...berusaha untuk lepas dan tidak terima di berlakukan seperti
ini...namun pegangan papa dan paman-pamanku yang lain sangat erat. Bertambah
panik juga karena ternyata disekeliling meja tempat ku di baringkan sudah
banyak orang kampung yang berkumpul. Ssetelah di baringkan, sarungku pun di
buka dan aku pun menangis...tidak terima burungku di lihat dan di penggal
didepan orang banyak.
Aku terus
berteriak-teriak memaki semua pamanku yang memegang ku erat-erat di campur
dengan tangisanku, aku menangis bukan karena sakit, tapi malu...kok telanjang
di depan orang banyak. Harga diriku benar-benar jatuh hari itu. Aku baru
berhenti menangis dan berteriak setelah paman-pamanku melepaskan peganganku,
tetapi ketika mau menutupkan kainku, aku di larang.
"Loh,
emang sudah?" Katanya di rumah sakit abah?" Tanyaku kepada abah
mantri yang tau-tau sudah sedari tadi di depanku sedang membereskan
peralatannya.
"Loh, tadi
yang teriak-teriak tadi kenapa? Memang tidak terasa? Coba lihat dech
burungnya?" Jawab abah mantri dengan tersenyum.
"Aku malu
bah, kok burungku di lihatkan sama orang lain," jawabku sambil melihat
keadaan burungku yang tertutup perban.
"He...he...he,
ternya sudah ya," teriakku di sambut tertawanya para saudara yang lain
melihat polosnya diriku. Aku pun kembali di gotong ke dalam rumah dan
ditidurkan pada sebuah kasur yang sudah di persiapkan untuku. Disamping tempat
tidur aku pun melihat dua baskom yang telah berisi uang. Hilang sudah perasaan
ku tadi yang malu karena burungku di pertontonkan oleh orang banyak. Rasa sakit
yang selama ini aku keluhkan ketika bersunat pun tidak pernah aku rasakan sama
sekali.
"He he he,
ternyata dengan mempertontonkan burungku bisa dapat uang banyak juga ya? Tapi bener
nggak sih burung ku masih ada" Pikirku sambil tertawa senang namun juga
khawatir, akhirnya aku pun memerika keadaan burungku. Para saudara besarku pun
tertawa melihat kepolosanku.
Aku pun melihat
kembali keadaan burung ku, ternyata baik-baik saja dan hanya di perban
ujungnya. Benar kata pamanku, aku memakai bokor kecil untuk menahan agar kainku
tidak mengenai sang burung yang lagi sakit. Cukup lama sekitar satu bulan aku
menyembuhkan sang burungku. Sampai ketika keluargaku pulang ke Palembang
burungku pun sudah pulih seperti sedia kala. Aku pun bangga dengan diriku yang
sudah bersunat.
Ketika masuk ke
sekolah pun hilang sudah rasa maluku akibat insident baju pramuka. Aku pun
malah membuat pengumuman kalau aku sudah bersunat, dengan harapan agar
teman-temanku bisa memberikan uang kepadaku lagi. Kalau pun tidak percaya aku
rela mempertontonkan burungku. Tapi bukannya uang yang kudapatkan tapi cemoohan
dan hukuman dari guru wali kelasku.
Seperti yang
sudah terjadi dengan teman-temanku berarti aku sudah mendeklarasikan sebagai
laki-laki dewasa. Aku pun sudah layak bergabung dengan anak-anak yang sudah
bersunat. Sebelumnya aku tidak pernah tahu ada perkumpulan anak-anak yang sudah
sunat, itu pun aku di tawari oleh beberapa orang teman kelas sebelah setelah
mereka mendengar pengumuman kalau aku sudah bersunat. Syaratnya aku hanya
menunjukkan burungku sebagai bukti. Dengan senang hati aku pun menunjukkannya.
"Nih,"
ujarku sambil menunjukkan burungku, "keren khan?" Aku pun disahkan
menjadi anggota, disambut dengan ucapan selamat dan tepuk tangan anggota
tersebut.
Walaupun
anggotanya pun hanya lima orang, Angel, Amir, Wahyudi Sehat dan Kusmiran.
Namanya juga perkumpulan anak-anak, tidak ada kegiatannya sama sekali. Hanya
kumpul-kumpul di waktu istirahat dan pulang bareng, tetapi sudahlah... efeknya
aku mempunyai tambah banyak teman di sekolah dan populer di kalangan anak-anak
SD di sekolahku. Efek lain dari pemberitahuan ku di sekolah adalah terjadinya
ijin masal anak laki-laki karena mengadakan acara sunat karena tergiur
mendengar ceritaku.
“Ternyata
memang sunat itu tidak sakit, malah membawa rejeki,” Ujarku kepada setiap anak
anak yang menanyakan tentang sunat.
No comments:
Post a Comment