Thursday, March 9, 2017

AAN KECIL “BURUNG KU DI TONTON ORANG SEKAMPUNG”

             Kisah malu dalam pramuka akhirnya bisa ku lupakan bersamaan dengan datangnya libur panjang kenaikan kelas 3 ke kelas Empat yang akan tiba. Untungnya... aku bertemu dengan teman-teman pramuka pun jarang juga, karena kesibukan kami dalam ujian naik kelas dan class meeting sehabis ujian. Class meeting merupakan semacam event pertandingan setelah ujian naik kelas, sembari menunggu hasil raport naik kelas di bagikan. Ketika Class meeting berjalan, aku banyak menghabiskan waktu di perpustakaan, berharap tanggal untuk libur segera datang.

            Akhirnya waktu yang di tunggu-tunggu pun tiba. Rencana papaku untuk pulang kampung ke Kuningan Jawa Barat begitu menggembirakan kami sekeluarga. Tetapi jika tahu tujuannya kesana untuk apa, di jamin 100% halal aku bakal pikir-pikir dulu. Tapi gak deng...siapa lagi yang mau di tinggal sendiri dirumah...

            Perjalanan menuju Kuningan Jawa Barat di tempuh dalam waktu 2 malam satu hari. Sangat mengasyikkan melihat pemandangan luar daerah yang penuh misteri dan baru menurutku.. Perjalanan dari Palembang ke Tanjung Karang di tempuh menggunakan Kereta Api. Setelah itu memakai taxi menuju pelabuhan Bakauheni untuk naik kapal Ferry Penyeberangan menuju Pelabuhan Merak. Sepanjang jalan tidak henti aku menengokkan kepala ke kanan dan kekiri seperti orang yang baru lepas dari belenggu. Apalagi ketika berada di atas kapal laut yang menurutku besaaaaar sekali. Sehingga bisa menampung mobil, bus serta ribuan orang. Aku juga menikmati indahnya pulau-pulau yang tersebar di selat sunda, melihat deburan ombak, dan...

            "Oooohhhh, sekumpulan ikan lumba-lumba terlihat berenang berlomba disamping kapal kami, sangat menakjubkan...benar-benar hari keberuntunganku," teriakku kegirangan dan masih sambil berteriak menunjuk kearah sekumpulan lumba-lumba. Aku baru kali ini melihat lumba-lumba dari dekat, maklum di kota kami belum ada kebun binatang. Penuh orang di dek kapal melihat pertunjukan yang langka ini. Menurut papaku juga hal yang belum pernah terjadi, karena selama papaku melanglang buana ke seluruh kota selama muda belum pernah terjadi hal yang sedemikian.

            "Jika melihat lumba-lumba di selat ini, berarti tidak lama lagi kita pasti beruntung loh," ujar seorang pemuda yang tidak jauh berdirinya dari ku, yang secara tidak sengaja terdengar olehku. Pemuda tersebut terlibat percakapan dengan kekasihnya mungkin.

            "Takhayul akh, kata siapa?" Seru sang perempuan yang berada di samping pemuda tersebut.

            "Kataku barusan, khan keberuntungannya aku bersama mu saat ini," seru sang pemuda terlihat dengan muka merayu dan manja.

            ????...Hmmmm. Tidak penting kok di kupingin ya," pikirku.

             Selama 2 jam perjalan dari bakauheni ke merak, akhirnya kapal pun merapat. Perjalanan pun di sambung dengan menggunakan bus antar kota jurusan Merak-Cirebon. Kali ini karena keadaan masih siang, aku pun dapat menikmati pemandangan yang tersajikan dari kota-kota yang kami lewati.

            Akhirnya entah berapa jam, aku tidak ingat karena kondisiku sudah lelah dan terlelap tidur di pangkuan mama, kami pun tiba di Cirebon dan hari pun sudah gelap. Dari terminal tersebut kami pun melanjutkan menggunakan taxi menuju Kuningan. Ketika sampai pun aku masih lelap tertidur dan di bangunkan oleh papaku karena aku harus bisa berjalan sendiri. Banyaknya bawaan buah tangan yang di bawa papaku ke kampung, sehingga kerepotan jika harus mengendong aku dan adikku.

            "Hmmmmm, hawanya sangat sejuk, dingin dan segar, tidak seperti di Palembang yang panas dan gerah. Gumam ku sambil merapatkan jaket ku dan menggigil karena kedinginan.

            "Bakal betah lama nih sepertinya," pikirku kembali.

            Sebenarnya aku pernah di bawa pulang ke kampung setiap tahunnya semenjak bayi. Namun menginjak aku masuk sekolah dasar, pulang kampung pun di tunda sampai kenaikan kelasku ke kelas empat. Berarti 3 tahun aku sekeluarga tidak pulang ke Kuningan. Jadi wajar kenangan 3 tahun yang lalu terlupakan karena aku pun masih kecil sehingga tidak ingat. Akan aku lihat kejutan yang akan terjadi jika matahari sudah menyingsing. Aku anggap kejutan karena terobsesi oleh cerita papaku tentang kuningan sepanjang perjalanan.

            "Di Kuningan terdapat gunung Ciremai yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat. Alamnya pun masih asri, dingin dan sejuk, jangan memaksakan mandi kalau di pagi hari karena airnya bakal sedingin es batu." Ujar papaku mengawali ceritanya tentang Kuningan kepadaku dan adik perempuanku.

            Cerita itu yang membuat penasaran diriku di samping cerita lainnya.

            "kalau mau lihat pemandangan langsung, nanti lihat dari lapangan sepak bola dekat rumah ya." Sambung papaku menambah penasaran ku.

            Setibanya di tujuan...

            Heboh keluarga kakek dan nenekku menerima kedatangan kami sekeluarga. Ternyata di sana sudah ada paman dan bibiku yang sudah datang duluan dari Bekasi. Bibiku ini merupakan adik dari papaku dan tinggal di bekasi. Setiap liburan panjang pasti pulang ke kampung. Bibiku ini mempunyai anak bernama Taufik yang masih berusia 2 tahun. Di samping bibiku terdapat lagi adik dari papaku yang paling bungsu. Belum menikah dan berwajah seperti orang keturunan Cina serta berkulit putih. Baru ku tahu bahwa semua keturunan papa dan ibuku semuanya memiliki pigmen kulit putih.

            "Hm, pantas saja aku sekeluarga mewarisi pigment tersebut," pikirku sambil memperhatikan keluarga besar Papa ku. Sehabis makan aku dan adikku di suruh lebih dulu beristirahat karena para orang tua akan membahas sesuatu hal yang penting.

            "Aduuuuh, baru datang kok rapat, benar-benar sulit di mengerti jalan pikiran para orang tua," pikirku dan aku pun langsung menghempaskan badan ke kasur dan tidak ingat lagi apa-apa.

Paginya....

            "Waaaah," gumamku sambil terbelalak mataku melihat keajaiban didepan mataku. Baru kali ini aku melihat kebesaran Allah SWT berupa gunung tertinggi di Jawa Barat. Gunung tersebut tampak gagah dan menjulang tinggi. Dengan di selimuti pepohonan yang berwarna hijau tua dan muda kontras dengan gumpalan kabut putih tipis yang menutupi sebagian puncaknya. Benar kata papa, dari tempat ku berdiri yaitu pelataran rumput hijau yang menjadi lapangan bermain bola kaki, gunung Ciremai tampak jelas menjulang.

            "indah sekali." Lanjutku kembali ku bergumam melihat apa yang ada di depanku. Tidak bergeming sedikitpun aku berdiri, lama sekali aku memandang dan mengagumi keindahan ciptaan Tuhan. Maklum di tempatku Palembang, aku hanya bisa melihat Sungai Musi.

            Aku pun bergumam dalam hati "mungkin suatu saat akan ku daki dirimu berkali-kali untuk memuaskan hasratku dan bersujud syukur ketika sudah sampai di tepi kawahmu," janji kepada diriku. Keinginan tersebut sangat menggebu-gebu, sampai ku ucapkan berkali-kali. Setelah merasa puas memandangi kemegahan gunung ciremai, aku pun berjalan-jalan di sekitar persawahan dan hutan, serta menyusuri kali di dekat kampung dengan ditemani oleh adik papaku yang paling bungsu Mang Nur.

            Sepanjang perjalanan, pamanku mang Nur banyak bercerita tentang kampung, memang menakjubkan kampung ini, sungainya masih jernih, masih ku lihat anak anak sebayaku yang memancing ataupun berenang. Aku di kenalkan pamanku kepada anak anak sebayaku yang memang kebanyakan masih saudara. Menurut pamanku ini, satu kampung ini masih ada darah saudara semua.

            "Hm,...wah repot kalau lebaran, semuanya harus bersalaman dan dikunjungi," pikirku seperti adat biasanya di kampung kami Palembang, sambil memandangi satu persatu teman-teman baruku yang dikenalkan oleh Mang Nur.

            Ingin rasanya aku ikut berenang, namun malu karena aku saat itu belum bisa berenang. Ku tampik ajakan mereka dengan alasan lagi capek dan takut masuk angin. Sambil bermain air dan memandang teman-temanku riuh bermain air, mang nur pun bertanya tentang beberapa hal.

            "An, pengen sunat gak sih? Pamanku bertanya lugas.

            "Pengen sih mang, memang kenapa? Malu juga sih...ada beberapa teman baikku di kelas tahun lalu sudah bersunat." Jawabku sambil terus memandang teman-temanku dan tertawa ketika melihat ada temanku di isengi oleh yang lain.

            "Kapan ya, papa mengijinkan ku untuk bersunat?. Kalau menurut teman-temanku sih gak sakit. Mereka kebanyakan melakukannya di rumah sakit dan dapat banyak uang lagi," seru ku bertanya kepada pamanku sambil aku pun tersenyum karena membayangkan bahwa aku mempunyai banyak uang.

            "Hm...ya berdoa aja semoga segera, tapi yakin benar mau nih bersunat?," tanya mang nur berusaha meyakinkan diriku yang sepertinya polos menjawab apa adanya.

            "Ya, mau lah...wong dapat duit. Pengen beli sepeda uangnya," seruku senang, membayangkan diriku menaiki sepeda baru. Mang Nur pun tertawa lepas melihat kepolosanku dan mengajakku pulang ke rumah.

            Tidak dinyana, ternyata ucapan mang nur menjadi kenyataan. Baru aku tahu bahwa sebenarnya rencana Sunat ini memang sudah di persiapkan jauh-jauh hari. Memang keinginan papa sengaja membawaku pulang ke Kuningan untuk melakukan hajatan sunatanku. Ketika kami sampai dirumah, papa dengan lugas memberitahu bahwa besok aku akan di sunat pagi hari dengan bapak mantri. Bapak mantri di kampung ini merupakan seorang dokter kesehatan, seperti yang sudah kuduga masih mempunyai hubungan kekerabatan saudara dengan keluargaku. Kalau aku sih memanggilnya "Abah."

            Alhasil MulaI sore ini, rumah kakek pun sudah penuh dengan para saudara dekat dan jauh. Aku menjadi heran dan sekaligu sangat bahagia karena acara Sunatanku bisa menyatukan seluruh keluargaku. Aku bisa berkenalan dengan saudara saudara yang lain. Biasanya jika melihat acara hajatan di kampungku apalagi sunatan tidak pernah yang seramai begini.

            “Mungkin karena keluarga papa keluarga besar kali ya,” tanyaku dalam hati. Sambil memperhatikan satu persatu keluarga yang sedang riuh bercanda dan bahkan mengobrol lepas.

            Keluarga dari Kakek saja anaknya udah 8 termasuk papa. Belum saudara kandung dari Kakek sendiri yang masih ada, saudara dari nenek, belum lagi anak anak kakek banyak yang udah punya anak anak. Intinya semua saudara jauh dari papa datang, belum lagi saudara-saudara dekat pun datang berkunjung. Sehingga rumah pun menjadi ramai. Untuk para ibu acara masak-memasak begitu ramai sampai tetangga datang membantu.

            Rasa senang membuncah di hatiku, karena baru bertemu banyak saudara saudaraku dan  yang punya hajat adalah diriku sendiri. Sehingga keramaian seperti ini tidak disia siakan oleh ku untuk acara bermain. Namun niat tersebut sepertinya diurungkan dahulu oleh ku, karena larangan bermain dari paman, bibi bahkan orang tuaku. Bermain jauh pun juga dilarang yang alhasil...aku pun protes...

            “waduuuh, kenapa sih?” Keluhku pada papa dan mama.

            "Nanti kalau banyak bermain, pas di potong darahnya akan banyak keluar, nanti kehabisan darah," jelas papaku sambil tersenyum.

            "Hm, mungkin iya, mungkin tidak,...akh di rumah sakit ini pasti banyak persediaan darah kan, untuk menggantikan darahku yang habis," pikirku.

            “itu hanya alasan mama dan papa saja biar aku tidak mengganggu percakapan para saudara saudara yang sedang temu kangen” pikirku kembali.

            Walaupun masih dongkol dalam hati, akhirnya ku ikuti juga kemauan para orang tua, karena kalau tidak begitu semua saudara pasti berteriak dan memarahiku.

            " Hm...orang tua memang aneh...tidak mengerti keinginan anak-anak" pikirku.

            Akhirnya aku pun hanya diam dan mendengarkan beberapa pembicaraan ringan para saudara, sambil mencoba untuk memakan penganan khas Sunda seperti kue Bacang, dempling, papais serta banyak makanan lain yang aku pun tidak ingat apa namanya. Beberapa saudara pun mencoba untuk mencairkan suasana yang formal dan mebosankan bagi diriku dengan mengajak ku ngobrol. Namun pembicaraannya masih sekitar acara sunatan, yang pada akhirnya menjadi penyebab rasa takutku semakin membesar.

            "Kalau dulu bapak di sunat memakai buluh bambu loh an, gak ada suntik bius seperti sekarang ini," kata mang oka salah satu pamanku yang lain.

            “Oh ya, masa sih mang? Emang bisa? Tanyaku sambil membelalakkan mataku tanda rasa tak percaya.

            Mang Oka pun hanya tersenyum lalu menjelaskan bahwa buluh bambu itu di pilih bagian yang paling tajamnya yaitu kulit bambu yang masih muda. Lalu ia juga melanjutkan cerita tentang kisah lainnya.

            "Ada juga temen bapak, katanya memakai parang,” seru mang Oka sambil tertawa dan mengayunkan tangannya dan membayangkan bahwa ia seperti memegang parang lalu mempraktekkan bagian mana yang di potong. Aku pun yang mendengar seakan terhipnotis rasa tak percaya namun yang cerita Paman ku sendiri yang mau tidak mau rasa percaya mengalahkan rasa tidak percaya. Apalagi pamanku yang satu ini pintar sekali bicaranya seakan akan kejadian tersebut memang terjadi.

            “Duuuh seremnya, gimana ya rasanya" pikirku sambil mengernyitkan dahi dan sambil bergidik ngeri membayangkan keadaan seperti itu.

            "Nanti setelah sunat, pasti di pakaikan bokor dari rotan atau pun bambu, itu seperti kurungan ayam tapi lebih kecil. Sebelum di sunat anaknya harus di kerem dulu dalam kurungan ayam di halaman rumah seharian. Biar gak jalan-jalan atau bermain" lanjutnya sambil menunjuk kurungan ayam yang ada di halaman rumah Kakek.

            Pamanku terus saja berbicara tanpa menghiraukan perasaanku yang sangat was-was dan ketakutan. Aku yang mendengarkan cerita mang  oka, terkesiap ngeri membayangkan orang di sunat pakai buluh bambu dan parang.

            "Gimana kalau salah potong ya, bisa habis burungku nanti," panik mulai menghinggapi diriku. Apalagi membayangkan diriku di keram dalam kurungan ayam selama seharian. Tidak menunggu lama, aku pun sukses kabur dari hadapan mang oka, bergabung bersama temanku bagas.

            "Sunat itu sakit loh an, sakitnya kaya di gigit kuda," seru bagas menambah rasa takutku membuncah. Membuatkan ingin melarikan diri dari acara sunatanku.

            Akhirnya aku pun sukses kabur lagi dari bagas...kali ini lebih baik di kamar tidur menyendiri dan berusaha tidur dengan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut. Namun bayangan-bayangan menyeramkan dari sunat itu pun terus menghantui ku. Sakit nggak ya? Bagaimana kalau pisau potongnya lupa akhirnya memakai buluh bambu atau parang ya. Bagaimana kalau salah potong hingga burungku jadi setengah atau hilang sama sekali ...haaaaaaa," tidak...tidak..."Teriakku.

            Namun sore harinya aku di tenangkan kembali oleh para saudara. Mang Oka pun hanya tersenyum senang karena sudah mempermainkan suasana hatiku dan sekarang mang Oka pun mulai ikut menghibur. Itu untungnya kalau punya banyak saudara, aku di sidang di tengah-tengah makan malam. Di hibur, di iming-imingi dengan uang dan sepeda. Mantrinya pun datang untuk menghiburku dan berjanji akan memotong burungku dengan sukses tanpa sakit, di bentuk dan di ukir dengan indah sehingga pasti akan memuaskan pasanganku jika besar nanti.

            Ha...ha ha...emang patung," pikirku. Sedangkan para saudara yang lain pun tertawa riuh. Aku pun terheran-heran melihat keriuhan para saudara besarku. Keriuhan pun terus berlanjut karena tema pembicaraan sekarang adalah tentang burung dan sunat. Aku pun yang tidak mengerti akhirnya pamit untuk pergi duluan tidur, karena rencananya acara pemenggalan burungku ini besok pagi subuh jam 6.

            Sambil berjalan pergi ke kamar tidur aku masih mendengar keriuhan para saudara besarku "Hm...tetap tidak bisa ku mengerti," pikirku sambil ikut tertawa senyum mendengar keriuhan mereka serta tersenyum membayangkan acara besar besok.

            "Wah, pasti banyak nih yang mengantarkanku ke rumah sakit," pikirku dengan senang, lumayan jadi selebritis satu hari" pikirku sembari menghempaskan badanku di atas kasur empukku.  Aku pun tersenyum dalam tidurku dan tidak sabar untuk menunggu hari esok.

            Keesokan harinya...

            Aku di paksa bangun dan mandi. “wuiiih, dinginnya pagi ini, kalau tidak ingat kalau hari ini adalah hari penting, sudah pasti aku masih meringkuk di dalam selimut.” Keluhku dalam hati sambil berjalan menuju kamar mandi sambil di tuntun mama. Untungnya mama sudah memasak air panas untuk di pakaiku mandi dan mama pun membersihkan burungku dengan teliti...hi hi hi...malu juga tapi ya mau gimana lagi khan mau di lihat pak mantri sunat. Setelah mandi aku pun di pakaikan baju koko dan sarung serta peci baru, lalu pergi bergabung dengan saudara-saudara lain di ruang tamu.

            “He he he...Mah, naek apa nanti ke rumah sakit?" Tanyaku. Biasanya kalau sesuai adat sebelum sunat aku di arak keliling kampung memakai kuda dan di panggil dengan "pengantin sunat". Tetapi kata papaku tidak punya waktu lagi.

            "Dugaanku mungkin aku ke rumah sakit menaiki kuda atau dokar (andong)," pikirku pasti seru sekali nih.

            Pagi itu aku didudukkan di dalam rumah bersama para saudaraku yang lebih besar serta bersama para orang tua. Tidak di perbolehkan sama sekali keluar rumah atau pun menengok keadaan luar rumah sama sekali. Akhirnya acara pemenggalan pun akan di mulai, tetapi...

            Tiba tiba....

            Aku di dekap dengan papa dan pamanku sebelah kanan dan kiri. Dengan sedikit paksaan mataku di tutup dengan tangan papaku. Aku di gotong, entah oleh dengan pamanku yang mana lagi...ini pemaksaan dan melanggar hak asasi anak anak!!! Aku pun berteriak tidak terima...

            "Apa-apaan ini...mama kok begini...mama...!!!teriakku...

            Aku di baringkan di atas meja yang di tempatkan di depan rumah. Aku memberontak sekuat tenaga...berusaha untuk lepas dan tidak terima di berlakukan seperti ini...namun pegangan papa dan paman-pamanku yang lain sangat erat. Bertambah panik juga karena ternyata disekeliling meja tempat ku di baringkan sudah banyak orang kampung yang berkumpul. Ssetelah di baringkan, sarungku pun di buka dan aku pun menangis...tidak terima burungku di lihat dan di penggal didepan orang banyak.

            Aku terus berteriak-teriak memaki semua pamanku yang memegang ku erat-erat di campur dengan tangisanku, aku menangis bukan karena sakit, tapi malu...kok telanjang di depan orang banyak. Harga diriku benar-benar jatuh hari itu. Aku baru berhenti menangis dan berteriak setelah paman-pamanku melepaskan peganganku, tetapi ketika mau menutupkan kainku, aku di larang.

            "Loh, emang sudah?" Katanya di rumah sakit abah?" Tanyaku kepada abah mantri yang tau-tau sudah sedari tadi di depanku sedang membereskan peralatannya.

            "Loh, tadi yang teriak-teriak tadi kenapa? Memang tidak terasa? Coba lihat dech burungnya?" Jawab abah mantri dengan tersenyum.

            "Aku malu bah, kok burungku di lihatkan sama orang lain," jawabku sambil melihat keadaan burungku yang tertutup perban.

            "He...he...he, ternya sudah ya," teriakku di sambut tertawanya para saudara yang lain melihat polosnya diriku. Aku pun kembali di gotong ke dalam rumah dan ditidurkan pada sebuah kasur yang sudah di persiapkan untuku. Disamping tempat tidur aku pun melihat dua baskom yang telah berisi uang. Hilang sudah perasaan ku tadi yang malu karena burungku di pertontonkan oleh orang banyak. Rasa sakit yang selama ini aku keluhkan ketika bersunat pun tidak pernah aku rasakan sama sekali.

            "He he he, ternyata dengan mempertontonkan burungku bisa dapat uang banyak juga ya? Tapi bener nggak sih burung ku masih ada" Pikirku sambil tertawa senang namun juga khawatir, akhirnya aku pun memerika keadaan burungku. Para saudara besarku pun tertawa melihat kepolosanku.

            Aku pun melihat kembali keadaan burung ku, ternyata baik-baik saja dan hanya di perban ujungnya. Benar kata pamanku, aku memakai bokor kecil untuk menahan agar kainku tidak mengenai sang burung yang lagi sakit. Cukup lama sekitar satu bulan aku menyembuhkan sang burungku. Sampai ketika keluargaku pulang ke Palembang burungku pun sudah pulih seperti sedia kala. Aku pun bangga dengan diriku yang sudah bersunat.

            Ketika masuk ke sekolah pun hilang sudah rasa maluku akibat insident baju pramuka. Aku pun malah membuat pengumuman kalau aku sudah bersunat, dengan harapan agar teman-temanku bisa memberikan uang kepadaku lagi. Kalau pun tidak percaya aku rela mempertontonkan burungku. Tapi bukannya uang yang kudapatkan tapi cemoohan dan hukuman dari guru wali kelasku.

            Seperti yang sudah terjadi dengan teman-temanku berarti aku sudah mendeklarasikan sebagai laki-laki dewasa. Aku pun sudah layak bergabung dengan anak-anak yang sudah bersunat. Sebelumnya aku tidak pernah tahu ada perkumpulan anak-anak yang sudah sunat, itu pun aku di tawari oleh beberapa orang teman kelas sebelah setelah mereka mendengar pengumuman kalau aku sudah bersunat. Syaratnya aku hanya menunjukkan burungku sebagai bukti. Dengan senang hati aku pun menunjukkannya.

            "Nih," ujarku sambil menunjukkan burungku, "keren khan?" Aku pun disahkan menjadi anggota, disambut dengan ucapan selamat dan tepuk tangan anggota tersebut.

            Walaupun anggotanya pun hanya lima orang, Angel, Amir, Wahyudi Sehat dan Kusmiran. Namanya juga perkumpulan anak-anak, tidak ada kegiatannya sama sekali. Hanya kumpul-kumpul di waktu istirahat dan pulang bareng, tetapi sudahlah... efeknya aku mempunyai tambah banyak teman di sekolah dan populer di kalangan anak-anak SD di sekolahku. Efek lain dari pemberitahuan ku di sekolah adalah terjadinya ijin masal anak laki-laki karena mengadakan acara sunat karena tergiur mendengar ceritaku.

            “Ternyata memang sunat itu tidak sakit, malah membawa rejeki,” Ujarku kepada setiap anak anak yang menanyakan tentang sunat.


No comments:

Post a Comment

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO