Monday, March 27, 2017

AAN KECIL “TRAGEDI DI RUMAH SAKIT (BAG 2)”

Malamnya....
                   Ramai sekali malam ini, papa datang bersama dengan para saudara, paman dan adik adikku. Di ranjang sebelah juga sedang berkumpul saudara saudaranya si makhluk cantik. Aku akui kalau keluarga mereka, adik adiknya juga cantik sehingga tidak heran jika hal tersebut sangat menarik perhatian para saudara dan adik laki laki ku. Tidak heran, jika mereka tidak beranjak sama sekali keluar dari kamarku ini. Tidak seperti sebelumnya, beberapa waktu yang lalu ketika kami sekeluarga menjenguk feby anak dari Mama Nawar (panggilan Mama adalah panggilan untuk paman atau saudara laki laki tertua di Palembang) yang masuk rumah sakit. Hanya sebentar bersalaman dan menanyakan kabarnya Feby, aku dan adikku akhirnya nongkrong di luar kamar dan membiarkan mama dan papa mengobrol di dalam kamar. Tapi kali ini mereka tidak beranjak sedikitpun dari tempat mereka. Aku pun hanya tersenyum melihat kelakuan para saudara dan adik laki laki ku.
                   “satu keluarga memang mata perempuan, meihat perempuan cantik pun luluh, dasar” pikirku sambil memperhatikan satu persatu adik laki laki serta saudara laki laki ku lainnya, yang memang saat itu sangat kalem sekali tidak seperti biasanya. Merasa dipandangi satu persatu mereka pun dengan kalem tetap tersenyum, walaupun mata mereka tidak lepas mencuri curi pandang ke keluarga sebelah.


                   Dikantor medis faviliun, tampak dua orang suster sedang membereskan berkas berkas pasien yang masih terpakai dan tidak terpakai. Sedangkan jam sudah menunjukkan waktu pukul 22.30 Malam dan sebentar lagi Shift Malam akan bertugas menggantikan mereka. Tampak dari jendela kaca yang mengarah ke belakang ruang medis ini cahaya temaram lampu lampu jalan yang berada di seberang kali buatan. Kali tersebut membatasi Rumah Sakit dengan Jalan Kompleks Perumahan, yang kabarnya kali tersebut sudah ada sejak lama semenjak Belanda menguasai daerah ini. Angin lembut membawa bulir bulir air yang turun dari langit tampak berjejer tak beraturan memenuhi jendela kaca kantor medis ini. Suara air yang konstan beraturan bertemu dengan benda benda keras bergelotak membentuk irama hujan rintik rintik yang menghiasi malam yang kelam ini.
                   Ruangan ini berbentuk persegi panjang dengan pintu masuk berada di tengah dari pedesterian panjang yang menghubungkan faviliun satu dengan yang lainnya. Sedangkan meja resepsionis berada di samping dari pintu masuk untuk memantau tamu tamu serta berfungsi sebagai tempat melapor pasien yang baru masuk dan juga keluar. Dari Meja resepsionis, terlihat pedesterian di dalam faviliun yang menghubungkan kamar pasien. pedesterian tersebut melingkar sampai pada akhirnya akan berakhir kembali di depan meja resepsionis. Ditengah faviliun ini juga di percantik dengan adanya taman hidup dibawah atap terbuka sehingga udara segar tetap terjaga.
                   “Sus ini pasien anak yang 3 hari lalu sudah meninggal sudah di data belum?” seru suster yang bertubuh langsing dan mempunyai muka yang bulat serta memakai kacamata. Ia tampak memegang sebuah map yang isinya beberapa berkas. Tampak di depan map tersebut tertera sebuah nama “Aditya Suseno” (mohon maaf jika ada kesamaan nama)
                   “belum sus, itu masih menunggu karena kasusnya masih ditangani kepolisian. Kebetulan masuk ke UGD keadaannya sudah dalam kondisi pengaruh obat terlarang dan tidak sadarkan diri bahkan jika sadar muntah dan pingsan kembali, terus berulang ulang. Di UGD sudah ditangani dan keadaannya sudah mulai membaik namun ketika masuk ke Faviliun ini keadaanya malah kembali drop dan tidak tertolong lagi.” Jelas Suster yang bertubuh gemuk tidak bergeming ketika menjelaskan, sambil matanya terus memperhatikan satu persatu berkas berkas yang ada atas mejanya. Tubuh gemuknya terlihat sampai memenuhi lengan kursi yang di dudukinya. Belum lagi lipatan pipinya tampak menggembung searah dengan kepala yang tertunduk.
                   “3 hari juga faviliun ini mengalami kejadian aneh semenjak anak tersebut pergi,” Gumam sang suster yang bertubuh langsing, sambil meletakkan tumpukan map tadi kearah meja suster gendut dan mengambil tumpukan kertas lainnya yang memang sudah disepakati harus di pindah ke ruang arsip atau tetap di lemari failing faviliun ini. Suster gendut pun mengerlingkan matanya lalu menoleh ke arah suster langsing tersebut. Lalu matanya menatap tajam ke arah suster tersebut.
                   “jangan membuat cerita cerita aneh yang bisa membuat pasien dan para keluarganya resah suster, sudah kewajiban kita untuk mengurus mereka dan membuat mereka nyaman sehingga keluarga yang sakit bisa cepat sembuh.” Serunya tampak berwibawa, namun ia pun menambahkan dengan suara lebih pelan, ”Bukan kali ini saya mengalami kejadian ini, namun 10 tahun karirku dan semenjak rumah sakit ini di dirikan aku pernah mengalami hal hal aneh namun memang belum pernah sampai bertemu....” tampak sang suster menghembuskan nafas dan seperti berat untuk berkata kata kembali namun ia pun melanjutkan, “...memang...sekarang yang sering terjadi hal hal aneh di faviliun ini semenjak selesai di bangun,” Nadanya pada akhirnya setuju dengan apa yang diutarakan sebelumnya oleh suster yang bertubuh langsing tersebut.
                   Suster yang bertubuh langsing pun tersenyum dan meminta maaf. Dia memaklumi ucapan suster gendut tersebut karena memang dia adalah suster paling senior di rumah sakit ini sedangkan ia baru 1 tahun. 1 tahun pertama di habiskan bertugas di faviliun Melati. Baru genap 1 tahunnya diangkat jadi suster tetap di rumah sakit ini, dia mendapat tugas untuk berjaga di faviliun Delima. Sampai dengan malam ini ia sudah berusia 1 tahun 10 hari bertugas di rumah sakit ini. 10 hari bertugas di faviliun Delima, ia pun sudah merasa ada kejanggalan yang terjadi di faviliun ini.
                   Menurut cerita, di awal berdirinya rumah sakit ini, faviliun Delima merupakan kompleks kamar mayat. Seiring dengan bertambahnya peningkatan pelayanan dan pasien yang masuk, maka Rumah sakit ini memindahkan kamar mayat dan menjadikan tempat sebelumnya sebagai faviliun Delima. Dilihat dari kondisinya memang Faviliun Delima merupakan faviliun paling baru diantara faviliun lainnya. Namun semenjak didirikan banyak kejadian diluar nalar yang terjadi baik di alami oleh pasien dan keluarga beserta staff medis Rumah Sakit.
                   “Jika dulu sering muncul hal aneh dari arwah penasaran yang menghuni kamar mayat, namun sekarang ini malah arwah penasaran dari orang orang yang meninggal di Faviliun ini,” Gumam Suster gendut sambil kembali menghembuskan nafas dan menarik tinggi tubuhnya keatas untuk meluruskan badannya yang sedari tadi menjadi tumpuan dari berat tubuhnya. Sedangkan suster yang bertubuh langsing malah berdehem dan merapatkan diri ke arah suster gendut karena perkataan suster tersebut bukannya mencairkan masalah malah menambah suasana seram di antara keduanya. “padahal di Faviliun lain banyak yang meninggal tapi tidak pernah ada yang mengalami hal hal aneh,” Sambung Suster gendut sambil menekuk kepalanya kebelakang untuk merenggangkan otot otot lehernya yang tegang karena terlalu lama menunduk. Lalu kembali terpekur menghadapi dokumen dokumen yang ada didepan mata mereka. Sedangkan Suster yang bertubuh langsing sekarang tampak berlutut di bawah untuk membongkar arsip yang ada di lemari bawah tersebut.
                   “Sus......saya boleh minta tolonggggggg......” terdengar suara laki laki yang tiba tiba terdengar nyaring sampai kedalam ruangan. Asal suara tersebut berada di luar kamar medis, tepatnya di pintu masuk pedesterian yang menghubungkan faviliun satu dengan yang lainnya. Tidak sempat kedua suster tersebut menengok ataupun beranjak dari tempatnya, suara tersebut terdengar lagi dengan lebih menghipnotis sehingga membuat mereka terpaku dan lebih  memilih berdiam diri.
                   “Sus.....saya boleh minta tolongggggg......saya Adit sus....kamar 5...tolong saya Sus, saya mau.....” suara tersebut awalnya menggema seperti suara pertama namun perlahan lahan melemah dan terputus sama sekali sampai tidak terdengar apa apa lagi. Yang terdengar hanyalah klotakan suara rintik air hujan yang turun membahasi jendela kaca ruangan medis ini.

Tiba-tiba...

                   “Sus, besok dokter kontrol jam berapa ya?” Seru suara seorang perempuan setengah baya, memecahkan rintikan suara hujan dan membuyarkan kekakuan kedua suster tersebut. Berdua secara refleks melihat kearah seorang perempuan yang tiba tiba hadir di tepi meja resepsionis dengan muka oval dan bermata sipit serta mempunyai rambut hitam pendek dengan berperawakan kurus. Kedua suster tersebut tampak sangat terkejut dengan mulut teranga dan mata melotot melihat kehadiran tiba tiba perempuan tersebut didepan mereka. Suster yang bertubuh langsing tampak refleks beringsut mundur dan terduduk bersilang sedangkan suster gendut tampak tertekan kebelakang kursi dengan raut muka tertekuk ke belakang. Perempuan yang melihat keterkejutan mereka atas kehadirannya, juga sama sama kaget tidak menyangka kalau kehadirannya bisa membuat hal yang sangat luar biasa bagi kedua suster tersebut.
                   “apa karena aku mirip artis kali ya?” pikir perempuan tersebut sambil masih tidak percaya kalau kehadirannya bisa membuat kedua suster tersebut terkejut.
                   “atau....make up ku ada yang aneh? Atau memang rambut ku acak acakan, ada belek gede, ada tahi lalat ngegede kali atau ada bekas makan di bibir?,” seru perempuan tersebut tampak panik sambil meraba pipi, mata, hidung tepi mulut sampai bibir dan rambutnya sendiri. Perempuan tersebut celingak celinguk sibuk mencari kaca cermin.
                   “Cari apa ya bu? Tanya suster yang bertubuh langsing sambil berdiri dan berusaha untuk tersenyum ramah berusaha untuk melupakan apa yang terjadi barusan.
                   “Cari kaca cermin atau punya kaca kecil rias kali sus,” Seru perempuan tersebut seperti tampak memaksa dengan menempelkan tubuhnya ke meja resepsionis ingin menggapai sebuah tas yang tampaknya tas suster tersebut.
                   “oh ini bu, pakai punya saya aja,” Sekarang giliran Suster yang bertubuh gendut yang menjawab dan mengambilkan dari dalam sebuah laci meja tempat duduknya. Sebuah tempat bedak berwarna putih yang jika di buka terdapat kaca dan alas bedak. Perempuan tersebut pun tidak menunggu lama, segera membuka dan langsung berkaca di depan kedua suster tersebut. Sambil memperhatikan tingkah aneh perempuan yang ada didepan mereka serta memastikan semuanya baik baik saja dan memang tidak ada orang yang minta tolong. Suster gendut pun tergelitik dan penasaran sehingga akhirnya keluar dari tempatnya dan meminta maaf untuk permisi ke depan pintu faviliun sebentar kepada perempuan tersebut. Tidak beberapa lama suster gendut pun kembali dan memberikan isyarat dengan dua lengan di bentangkan dan bahu di naikkan ke atas kepada suster bertubuh langsing.
                   “tidak ada siapa siapa,” serunya tanpa bersuara dan hanya isyarat bibir yang berucap kepada suster yang bertubuh langsing.
                   “Semua oke dan tidak ada yang perlu di khawatirkan,” pikir perempuan tersebut sambil memperhatikan permukaan kaca cermin kecil tempat bedak yang ada di telapak tangannya. Pada akhirnya dia menyadari bahwa kedua suster sedari tadi memperhatikan tingkahnya.
                   “Loh, tadi saya kesini mau apa ya?” Pikir perempuan tersebut sambil tersenyum malu kepada kedua suster tersebut dan mengembalikan tempat bedak kecil sambil mengucapkan terima kasih.
                   “Oh ya.....” Seru perempuan tersebut seperti sadar dan ingat sesuatu yang sebelumnya terjadi,” tadi kaget kenapa ya? Kok seperti melihat saya seperti melihat artis atau hantu begitu loe,’ Ucap perempuan tersebut ingin tahu dan berlagak seperti sudah kenal sangat dekat sebelumnya.
                   “Begini bu..ta......” Belum selesai suster bertubuh langsing menyelesaikan perkataannya, Suster gendut pun langsung berkata,” Ada yang bisa kami bantu bu?” Serunya memotong dengan lembut dan sambil berdiri lebih dekat dengan suster yang bertubuh langsing.
                   “Tadi kita kaget bu, karena lagi benar benar fokus dengan kerjaan. Seperti yang ibu lihat, dokumen yang harus kita sortir lumayan banyak,” Serunya menambahkan dan sambil mengibaskan tangan seperti mempersilahkan perempuan tersebut melihat ke tumpukan dokumen yang terkapar di meja dan tergeletak di lantai. Sambil mengibaskan tangannya tidak sengaja mata suster gendut melihat ke arah dokumen paling atas yang ada di meja yang barusan dia akan sortir. Sebuah map dengan tulisan nama “Aditya Suseno”  dan pada garis bawah tertulis Kamar No 5 Faviliun Delima. Tanpak tertegun sebentar ia pun mengalihkan perhatiannya ke arah perempuan di depannya.
                   “Ibu dari kamar no berapa bu dan nama pasiennya siapa...hm tadi keperluannya apa ya bu?” Tanya suster gendut sambil mencoba untuk tersenyum namun tetap saja tidak dapat menyembunyikan sorot kegelisahan pada mata suster tersebut. Suster tersebut pun kembali menoleh ke arah pintu masuk lalu kembali menatap perempuan didepannya sambil mencoba untuk menarik nafas pelan menunggu jawaban.
                   Perempuan tersebut tampak berpikir sejenak serta tampak tidak percaya atas jawaban dari kedua suster tersebut. Namun sepertinya ia tidak mencoba untuk bertanya lebih jauh. “Anak saya masuk ke kamar no 5 atas nama Aan, tadi saya tanya besok dokter kontrol jam berapa ya? Karena saya harus pagi pagi pulang dahulu kerumah untuk ngurus adik adiknya.”
            Kedua suster tersebut pun saling berpandangan karena sebelumnya ada yang meminta tolong atas nama Aditya, pasien anak yang baru 3 hari meninggal yang sebelumnya berada di kamar no 5. Sambil terbata bata dan dengan sedikit bergidik gemetar karena kedinginan disebabkan tiba tiba angin berhembus agak kencang dari arah pintu Faviliun, Suster gendut pun berkata, “beeeesooook jam 8 pagi brrr, Dokter biasanya kontrol dan paling telat jam 9 bu brrr,” 

Sunday, March 26, 2017

AAN KECIL “TRAGEDI DI RUMAH SAKIT (BAG 1)”

“Ini kecapean sepertinya bu, terus asupan makanan juga seperti jajanan yang kurang sehat masuk jadi kena Tipes,” Ujar dokter yang memeriksa ku pagi ini sambil menulis di sebuah secarik kertas berwarna putih mirip notes punya papa yang sering aku jumpai di lemari buku. Dokter ini terus menulis sambil mulutnya tidak berhenti berbicara, kacamatanya menggantung di atas hidung tampak bergerak gerak mengikuti irama mulutnya yang tidak berhenti mendektekan apa yang di tulis oleh nya sambil matanya terus terarah ke arah tulisan yang di buatnya. Tampak tubuh gemuknya tertutup oleh jas putih panjang menggantung sampai ke bawah tampak apik dan rapi duduk di balik meja pemeriksaan yang merupakan meja satu satunya yang ada diruangan tersebut selain tempat tidur dan lampu besar yang menaungi tempat tidur tersebut. Sementara itu gadis dengan topi berbentuk pita besar berwarna putih di atas kepalanya dan juga memakai dress up berwarna putih berdiri di samping dokter tersebut dan tampak memperhatikan apa yang di tulis oleh dokter tersebut.
“Tolong bawa ke Faviliun Delima dan kasih ke dokter jaga,” Seru  sang Dokter menginstruksikan sebuah perintah sambil memberikan secarik kertas yang di buat oleh nya sedari tadi.
“Tolong juga bawa ibu ini ke ruang pendaftaran pasien dan adeknya langsung saja di rawat ya sus,” Sambungnya kembali dan sambil mengalihkan perhatiannya ke arah ku dan mama.
“Nanti saya kontrol setiap jam 8 Pagi yang bu dan jangan khawatir adeknya pasti cepat sembuh, ya... paling lambat satu minggu lah beristirahat di Rumah Sakit,” seru Dokter tersebut sambil tersenyum. Namun tatapan dan senyuman Dokter tersebut tidak membuat ku nyaman atau terhibur sama sekali, bahkan aku beranggapan bahwa Dokter tersebut sepertinya merencanakan sesuatu yang jahat terhadapku. Aku pun bergidik menatapnya dan merasa sangat takut luar biasa.
Aku pun merasa menyesal karena tidak memperhatikan kesehatan ku selama ini dan banyak jajan di luar rumah serta jarang berisitrahat dengan baik. Waktu tidur siangku kebanyakan di habiskan bermain dengan teman temanku, Ditambah semenjak kejadian sepedaku terjun ke kali membuat kesehatanku drop drastis. Tadi malam aku mengeluh sakit di perut dan muntah muntah tanpa henti. Sehingga Papa dan Mama memutuskan untuk membawa ku ke Rumah Sakit Swasta dekat tempat tinggalku.

Disinilah sekarang aku berada, didalam salah satu bangsal Rumah Sakit. Aku pun mengenakan pakaian orang sakit resmi yaitu piyama berwarna biru laut. Dibangsal ini hanya berkapasitas untuk 2 orang, salah satu tempat tidur dalam kamarku belum di tempati siapa pun. Disamping masing masing tempat tidur terdapat lemari kecil tempat menyimpan pakaian dan atasnya bisa di jadikan tempat menaruh makanan kecil. Tempat tidurku berada tepat di samping jendela kaca yang berbatasan dengan  teras pedesterian Faviliun Rumah Sakit. Sedangkan pintu masuk tepat berada di depanku agak menyamping sejajar dengan dinding jendela kaca. Pintu masuk juga terbuat dari pintu kaca dan dari tempat ku istirahat, aku dapat melihat aktivitas para suster dan para pengunjung yang datang.
Tiba tiba masuk suster bersama mama, mereka kelihatannya sangat akrab sekali. Mengobrol dan tertawa yang aku tidak mengerti ke arah mana pembicaraannya. Sepertinya membicarakan masalah pasien atau apalah...entahlah. Aku pun tidak heran jika mama akrab dengan siapa saja.
“dek, kata dokter, kita pasang impus dulu ya,” seru suster yang memakai kacamata dan tampak riasan ala kadarnya dengan bedak tipis dan lipstik pun tipis, beberapa helai rambut poni menutupi dengan manis jidat yang seperti ku sama seperti jidatku yaitu jidat lapangan terbang, rambutnya pun hanya diikat kebelakang. Ia pun tersenyum sambil mempersiapkan beberapa peralatan dan menarik sebuah tiang yang sepertinya sudah tersedia dari tadi namun luput dari pengamatanku.
“ini suster pasti suruhan dokter jahat tadi,“ pikirku dan aku tidak suka atas apa yang akan dia perbuat dengan ku, “namun jika aku tidak menuruti apa kemauannya, bakal lama nih di rumah sakit,” pikirku kembali. “tadi dia bilang apa “inpus” apa itu inpus kok susternya mempersiapkan seperti jarum suntik dengan ada selang sih.” Tanyaku kembali dalam hati dan aku pun mengkerut dan takut setengah mati. Maklum aku sangat takut sekali dengan jarum suntik mending berantem ataupun berhadapan dengan hantu sekalipun lah dari pada harus di suntik dan sudah benar benar kapok. Jarum suntik menurutku merupakan sesuatu yang paling aku takuti selain harus berhadapan dengan beberapa perempuan yang ingin berkenalan denganku.
“mah...mah....” ujarku setengah berteriak sambil berusaha beringsut menjauhi suster dan akan bangkit menuju mama. Mama yang sudah mengerti akan ketakutanku hanya tersenyum dan berusaha untuk menghalangi ku bangun dari tempat tidur.
“An, mau sembuh nggak? Gak bakalan sakit dan hanya seperti di gigit semut, itu pun kata dokternya juga sebagai pengganti cairan tubuh dan vitamin biar gak lemes dan sehat kembali,” ujar mama sambil terus memegangi badanku.
“dokter lagi dokter lagi....teriakku dalam hati...aku sangat membenci dokter satu ini,” ujarku dalam hati dan berusaha untuk tidak panik. “ya mau tidak mau harus pasrah demi cepat sembuh dan bisa main lagi,” pikirku dalam hati sambil mengalihkan perhatianku kearah jendela kaca. Tidak beberapa lama suster mengambil tanganku sebelah kanan yang sebelumnya aku dekapkan ke tangan mama yang memegang dadaku. Aku pun mulai meringis dan membayangkan sakitnya pasti luar biasa. Tidak terasa air mata pun mulai keluar dan aku pun berusaha menahan isakan dan berusaha untuk tidak melihat ke arah suster atau pun kearah  tanganku yang akan di inpus.
“Aan, belum di apa apain udah nangis tuh gimana sih?” ujar Papaku yang tiba tiba muncul dari pintu kamar bangsalku. “bodo amat,” teriakku dalam hati dan aku pun mulai beringsut kembali agak menjauh dari tepi tempat tidurku dan berusaha menengok ke arah jendela pintu kamar bangsalku. Tidak ku pedulikan kehadiran papaku dan beberapa orang yang masuk ke dalam kamarku. Aku pun berusaha menahan bayangan rasa sakit yang sebentar lagi akan kurasakan ke dalam tanganku. Kurasakan papa menahan gerakan kaki ku yang sedari tadi tidak bisa diam. Tiba tiba aku merasakan seperti suatu benda di masukkan ke dalam pergelangan tanganku agak kesamping, yang membuatku kaget luar bisa dan tidak tertahankan air mataku pun tumpah ruah walaupun masih aku tahan isakannya agar tidak keluar, yang keluar hanyalah teriakan “awww, duuuuh duuuh,” teriakku sambil akhirnya aku refleks melihat apa yang di masukkan ke dalam pergelangan tanganku. Teriakan ku pun searah dengan dorongan jarum suntik tersebut masuk ke dalam pergelangan tanganku.
Aku pun memperhatikan hasil dari kerja suster tersebut. Yang di maksud dengan infus itu adalah memasukkan beberapa cairan ke dalam tubuhku dengan jarum suntik yang di hubungkan dengan selang dan tabung plastik yang di gantung tinggi di tiang dekat tempat tidurku. Mama ku pun mengusap pipiku yang penuh dengan air mata dan tersenyum melihat ku tampak pucat dan merenggut tanda tidak suka atas apa yang barusan terjadi. Aku pun masih memperhatikan jarum suntik yang di plester dengan warna coklat tertanam pada lenganku sebelah kanan. Lalu memperhatikan suster yang akan beranjak dari pinggir tempat tidurku yang terlihat senang dan menampilkan senyum lebar pada muka yang sangat menyebalkan bagiku yang melihatnya.
“Suster, tolong di bantu ke sini sebentar dong,” teriak salah satu suara yang berasal dari belakang sang suster dan tampaknya ada baju putih lain yang ada di tempat tidur sebelah dari tempat tidurku. Suster di sebelah tempat tidurku pun menoleh lalu beranjak kearah tempat tidur yang agak jauh ke sebelah kanan dari tempat tidurku. Ada suster lain yang tampak lebih gendut dan lebih tua bahkan mukanya pun sepertinya lebih jutek dari suster yang mengurusku ini. Mereka berbincang bincang dengan agak pelan sehingga aku agak samar mendengarnya dan aku pun tidak peduli apa yang mereka perbincangkan. Yang aku perhatikan adalah seraut wajah yang terpampang agak tertutup oleh badannya suster gendut. Seraut wajah cantik dengan muka oval dan rambut panjang hitam tergerai menutupi bantal yang menopang kepala cantiknya.
“kapan masukknya ya? Kok bisa sih tanpa radarku berfungsi ada mahkluk cantik masuk ke dalam bangsal kamar,” pikirku kagum dan tersenyum sambil terus memperhatikan dan meneliti siapa tau aku pun salah lihat. Sejurus kemudian timbul malu dalam diriku, bukannya aku tadi barusan menangis. Kalau di tau aku menangis “akkhhh, malu lah,” seruku dalam hati dan mengalihkan perhatian ku dari dia dan memandangi papaku yang memperhatikan ku tertangkap basah sedang memperhatikan perempuan cantik yang berada dalam satu kamar denganku. Papaku tampak tersenyum lebar melihat aku rada kikuk karena tertangkap basah.
“Gak ada suara nangis dan kesakitan kok dari sebelah ya An, beda dengan anak papa kok cengeng sih laki laki, ganteng ganteng cengeng,” seru papaku setengah berbisik supaya tidak mengundang perhatian yang lain dan pada akhirnya akan mentertawakan diriku, jika terjadi hilang sudah harga diriku dan papa ku tahu betul anak laki lakinya satu ini. Aku pun hanya tersenyum dan mengalihkan perhatian ku dari papa sambil memperhatikan jendela kaca kamarku untuk melihat taman yang berada di tengah faviliun rumah sakit ini dan memperhatikan gerak gerik pengunjunga taupun suster ataupun petugas yang hilir mudik di pedesterian faviliun ini. Tidak beberapa lama terdengar mama mengobrol tentang tetanggaku yang baru dengan papa. Kebiasaaan mama yang selalu bisa tahu dan ingin tahu apa yang terjadi disekelilingnya. Ternyata tetanggaku mengidap penyakit yang sama denganku, barusan mama dapat info dari ibunya yang menemani perempuan cantik ini.

Berbagai bayangan bayangan aneh muncul di kepalaku atas apa yang terjadi pada hari ini. Dalam satu kamar ada makhluk cantik seperti ini membikin ku pun salah tingkah. Belum lagi membayangkan apa lagi yang bakal di lakukan oleh Dokter jahat terhadapku pun terus menghantui sepanjang hari ini. Namun pikiran itu pun sirna jika aku memperhatikan mahkluk cantik di seberang tempat tidurku. Ada rasa....apa ya??...terpenting aku suka memperhatikan seluruh gerak geriknya.
“Namanya Wulan sari Guritno aan, dia tinggal di kalidoni,” teriak mama mengagetkanku karena pandanganku terpaku ke pintu kamar mandi dimana makhluk cantik tersebut menghilang bersama dengan ibunya sambil menenteng impus. Aku pun memandangi mama yang tengah senyam senyum penuh arti sambil mengusap dahi dan rambuk di kepalaku dengan air hangat. Merasa sudah tertangkap basah dua kali oleh orang tua ku, aku pun hanya tersenyum dan mengalihkan perhatianku dari mama.
“ya namanya juga laki laki mah, wajarlah kalau ada perempuan cantik, he he he he,” seruku tertawa renyah dan membalikkan badanku untuk menghadap ke arah jendela.
“pikir dulu sembuh an, itu Amir sama Angel pada nanyain telp ke rumah,”
“wah, kalau Teman temanku pada tau aku sekamar dengan makluk cantik bakal keterusan ke rumah sakit terus nih mereka, gawat,” pikirku termenung
“bilang aja besok juga pulang mah, jangan di bilang Aan seminggu di rumah sakitnya. Oh ya Bilang juga kalau di rumah sakit anak kecil gak boleh jenguk orang sakit, nanti ketularan,” Jawabku agak sedikit panik.
Mama hanya tersenyum, “Aneh, ya paling kayanya sekelas bakal ngejenguk dech An sama ibu guru juga,” Kata mama sambil membereskan baskom berisi air hangat untuk di kembalikan ke petugas pantry, lalu berjalan keluar kamar.
“Waduuuuh, iya bakal sekelas nih ngejenguk...sewaktu Sehat juga sakit, satu kelas ngejenguk Sehat, yah..hilang sudah....”gumamku sambil mengeleng gelengkan kepala dan terpaku kembali melihat makhluk manis muncuk kembali dari pintu kamar mandi. Namun.....
Ia menatapku dan tersenyum....aku pun terhenyak kaget merasa tertangkap basah dan berusaha untuk mengalihkan perhatian, namun tidak bisa....mukaku memerah, tatapanku agak menunduk dan mencoba untuk membalas senyumannya dengan malu malu.
“Sekolah di SD 1 Sungai Musi ya?” serunya sambil berjalan menuju ke arah tempat tidurnya. Ibunya pun ikut memperhatikan ku sambil tersenyum, baru saja aku mau menjawab ibunya mengiyakan.
“Mana mamanya?” tanya ibu nya kembali.
“Anu tante, sedang keluar,” Seruku sambil mukaku masih bersemu merah.
“Kayanya masih panas ya, kok mukanya merah sekali,” seru ibunya kembali sambil terus memperhatikanku.
“Hadeuuuh bukannya anaknya yang ngajak ngobrol ini malah emak emak. Nggak tau apa lagi malu makanya mukanya merah,” Seruku dalam hati dan aku pun hanya tersenyum tidak menjawab pertanyaan ibunya. Sambil berharap mama cepat kembali biar tidak terus ngobrol. “Namun bukannya yang ngajak ngobrol calon mertua, harus sopan dan tidak boleh kurang ajar, hi hi hi,” Seruku dalam hati sambil tersenyum kecil membalikkan badanku karena takut kalau mereka tahu kalau aku sedang malu karena tertangkap basah kembali memperhatikan makhluk cantik. Ada sesuatu yang ingin kembali aku tanyakan, namun sepertinya sudah tidak penting sekarang. Paling ya rasa penasaran, kenapa dia tau aku bersekolah di SD 1 Sungai Musi, “apakah dari mama yang cerita, tapi kapan ceritanya?” tanyaku dalam hati. “Sudahlah nanti saja aku tanya,” desahku sambil berpikir keras dan mengingat ingat, “lah emang dia sekolah dimana? ya mungkin saja dia satu sekolah denganku atau dia bersekolah di SD 2 nya ya? Kalau seluruh SD1 aku pasti kenal. ya mungkin di SD 2 kali.”
“Sudah mandi?” tiba tiba teriak mama membuyarkan lamunanku
“Sudah bu, lumayan agak segarlah. Kemaren 2 hari di rumah tidak berani sentuh air dan menggigil terus kedinginan,” Jawab Ibu si Makhluk cantik.
“Iya sama aja seperti Aan,” Jawab mama sambil mendekati Ibu si Makhluk Cantik.
“Tadi ngobrol sama ibu sebelah kamar, katanya kalau malam faviliun ini seram loh bu,” bisik mama yang memang tidak sengaja aku dengar.
“Haduuuuh mama, udah tau lagi kondisi kaya gini, ini malah cerita aneh aneh,” seruku dalam hati dan melotot sambil memperhatikan mama. Namun mama tampaknya sangat serius sekali.
“Mah....diluar aja dech mah, berisik akh, mau tidur Aan nih,” seru ku sambil berkeliat ke samping dan berusaha untuk tidak melihat mereka berdua. Padahal dalam hati “aku mau ngajak ngobrol nih cewek sebelah, hi hi hi,” Tidak lama aku mendengar suara pintu berderit tanda membukia lalu langkah mama dan ibu si makhluk cantik menjauh dari pintu. Aku pun dengan sigap langsung berbalik ke arah tempat tidur makhluk manis, namun.....
“yah, molor....sialan....” umpatku dalam hati dan aku pun kembali berbalik, “namun....sebentar dech jangan dulu, jarang sekali bertemu dengan moment seperti ini,” pikirku dan aku pun kembali berbalik menghadap ke arah tempat tidur makhluk cantik tersebut. “hm...cantik sekali hidung mancung, rambut panjang hitam mirip mama, bibirnya tipis, tubuhnya kurus ramping, memang cantik,” gumamku sambil memperhatikan mahkluk cantik yang ada diseberangku. Namun ada sesuatu yang mengusik perhatianku, yaitu perkataan mama barusan, maklum aku sangat penakut sekali jika yang berhubungan dengan masalah gaib hantu. “Apa iya ya, rumah sakit sebesar ini menyeramkan,” pikirku kembali. Aku pun berbalik untuk melihat mama dan ibu si mahkluk cantik yang sedang mengobrol di luar. Mereka tampak sangat akrab sekali, sesekali mama menunjuk nunjuk terkadang mereka tertawa bersama, terkadang mama serius mendengarkan ucapan si ibu, “dasar emak emak, paling juga ngegosip yang nggak nggak, udahlah gak mungkin dan gak akan lah. Masa orang ganteng kaya ku bisa takut, malu lah sama sebelah,” gumamku sambil tersenyum. Sambil menutup mata terbayang di wajahku mimik muka Muklis, Amir, Angel dan Sehat jika mereka tau aku sekamar dengan mahkluk cantik. Mereka akan protes dan bakal rebutan untuk menemaniku di rumah sakit dan bertambah juga sainganku untuk mendapatkan sicantik. Mereka berempat pada akhirnya menghiasi mimpi tidurku di sore ini.

Saturday, March 25, 2017

BE PROFESIONAL OR STATUS QUO

Seorang teman telah berbicara kepadaku tentang suatu hal, namun baru aku mengerti sekarang ini apa yang ia bicarakan. Pembicaraan tersebut sebenarnya terjadi sudah lama sekali. Saking lamanya aku pun sudah lupa kapan aku melakukan pembicaraan tersebut. Atau mungkin...ini hanya perasaanku saja ataukah pikiranku yang telah menipuku...sehingga sebuah metode berpikir tercetus dalam benakku.

Cara berpikir yang berasal entah dari mana namun yang pasti metode berpikir itu bukan metodeku tetapi metode yang telah di ajarkan oleh temanku tersebut. Apakah ia seorang philsuf ? ataukah seorang begawan bijaksana ? ataukah ia..."aha!!! sebuah buku yang selalu membawa kebijaksanaan bagi para pembacanya ?" Namun entahlah, aku tidak yakin dan sudah lupa karena sudah lama sekali.

Hal itu pun terbesit karena terilhami oleh sebuah tontonan penghiburku di malam hari. Penghibur untuk melepas penat sehari berkerja, melepas pikiranku yang mulai akan berpikir kembali ke rumah mengenang anak-anakku. Sehingga pada akhirnya tidak dapat tertidur dan hanya bisa menatap kosong langit-langit kamar kost ku. Bahkan terkadang pikiranku liar mengembara ke sebuah ranah yang jarang di jamah oleh orang.

Terinspirasi oleh sebuah film fiksi yang lumayan lama sudah aku tonton 
"Tanamlah kakimu dan berdirilah, namun yang jadi pertanyaannya adalah sudah tepatkah tempat di mana kakimu kau tanamkan?" Di utarakan oleh marry elizabeth winstead yang berperan sebagai marry todd istri abraham lincoln dalam film fiksi berjudul abraham lincoln the vampire hunter.

Kata-kata marry tersebut membuatku terpaku, terhenyak sesaat merasakan apa yang sedang ku alami sekarang ini. Sebentuk pertanyaan timbul,

"Apakah tempatku memaku atau menanam kakiku untuk berdiri merupakan tempat yang benar? Sejumlah jawaban-jawaban klasik mulai timbul menjawab semua pertanyaan tersebut.

Namun timbul lagi pertanyaan dalam sisi diriku yang lain,"sudahkah dirimu sendiri berkaca dengan realita yang terjadi saat ini?
Realita?...

Berbicara mengenai realita atau kenyataan dalam hidup ini. Aku coba untuk melihatnya dari sisi perkerjaan yang sedang kulakukan saat ini. Aku pertimbangkan mengenai untung dan ruginya bagi keluargaku. Bukannya hidup ini kita harus pintar untuk menghitung untung atau rugi. Bukannya setiap langkah yang akan kita ambil juga, yang di pikirkan adalah untung atau ruginya. Pemikiran ini terlepas dari masalah Agama atau kepercayaan masing-masing yang kita anut, terlepas dari pahala atau dosa yang kita dapatkan. Namun satu hal prinsip yang aku pegang adalah setiap melakukan kebaikan atau usaha baik untuk diri sendiri atau pun keluarga tentunya pahala baik yang kita dapatkan, tergantung dari jalan yang kita tempuh. Okelah kalau berpikir tentang hal tersebut kita cukupkan dahulu.

Pembahasan ini tidak akan habis-habisnya dan kepalaku akan bertambah pening. Pada akhirnya keputusan ku pun tidak akan selesai aku ambil. Hal ini penting untuk memotivasi diriku sendiri yang sedang "galau" ceu' orang seberang. eleuh...eleuh....

Untuk itu aku coba untuk memakai pendekatan analogi menjadi suatu bentuk pertanyaan. Aku harapkan analogi yang aku buat bisa menjawab segala sesuatu yang membebaniku selama ini. Sesuatu yang dapat aku simpulkan sehingga bisa membuatku berkerja dengan ikhlas dan ridho.

Aku mulai menganalogikannya dari sesuatu yang paling dasar terlebih dahulu. Di mana anak SD pun pasti bisa menjawabnya. Aku juga mencoba untuk menghilangkan ego yang pasti akan muncul tiba-tiba.

Kerja tentunya mengharapkan sebuah hasil dan hasil tersebut ku gunakan untuk menghidupi keluargaku, Right?...

Namun tidak hanya untuk menghidupi keluarga, namun untuk menabung, memikirkan nasib masa depan anak-anak serta bekal di hari tua, right?...

Sekarang mengenai gaji? Cukup atau tidakkah? Apa actionnya? Mencari yang lebih bagaimana caranya? Kalau memilih bertahan masih bisa fokuskah jika harus di luar kota? Cari yang dalam kota, berarti harus nego ke kantor pusat dengan pilihan di ijinkan? Tidak diijinkan apakah harus hengkang?

Kondisinya sekarang kantor tidak mengijinkan karena di harapkan tetap support daerah luar kota tersebut. Sudah siapkah hengkang seperti option diatas? Persiapan sudah di mulai jauh jauh hari dan sudah dapat panggilan interview dan test, tapi sampai sekarang belum ada hasil. 7 panggilan tapi tidak ada hasil? Oh my god...Berarti belum maksimal usahanya.

Sekarang melihat kenyataan yang ada. Apa yang harus di simpulkan? Bertahan dengan mengharapkan kondisi status quo (status nyaman) ataukah bertahan dengan masih bersikap profesional mengharapkan kondisi bisa berubah. Pilihan lainnya keluar dan menganggur dahulu sambil melamar perkerjaan. Untuk pilihan terakhir lebih baik di buang jauh-jauh. Mending tidak usah hidup jika berpikir bisa hidup lebih baik hanya dengan menganggur. Kalaupun mau berusaha melamar kembali untuk berkerja, tidak ada harganya di hadapan perusahaan lain. Bisa-bisa jatuh harga (maksud disini nego gaji) dan percuma perjuangan selama ini kalau hanya hasilnya untuk menyerah.

Pilihan ada dua, "be profesional" or "status quo". Kedua pilihan tersebut ada ditangan saya. Jika "be profesional" berarti harus bisa menerima keadaan yang ada, memaintenance nya dengan baik, menyelesaikan permasalahan yang ada seperti masalah keuangan. Lebih pintar membagi dua dapur dengan berhemat, sampai menunggu kondisi perusahaan sehat. Ataupun menunggu kesempatan yang lebih baik. Dengan catatan tidak mengurangi loyalitas, fokus, pengabdian kepada perusahaan yang sekarang sedang di perjuangkan. Hasilnya pasti lebih baik di mata perusahaan, orang lain dan bahkan calon perusahaan lain yang akan kita abadikan.

Jika memilih "status quo" atau nyaman, sama saja seperti berkerja biasa-biasa saja tapi dapat gaji buta. Tidak bisa di tutup-tutupi, orang lain dapat menilai kinerja kita. Hasil yang akan menentukan pada akhirnya nanti. Taruhlah orang pusat atau atasan tidak tau menahu namun akibatnya omzet turun dan bahkan gulung tikar. Karena sudah gulung tikar, melamar perkerjaan ke perusahaan lain pun, orang akan segan menerimaku menjadi karyawannya apalagi dengan posisi yang lebih vital. Bisa-bisa banting setir menjadi penjaga toko, salesmen, administrasi ataupun kuli gudang. Percuma kuliah tinggi dan pengalaman segudang yang telah aku timba selama ini.

Pilihan ada di tanganku sekarang ini. Semuanya aku analogikan tanpa ego yang muncul. Agak lebih tenang dalam bersikap dan memutuskan dibandingkan hari kemarin. Tidak ada yang rugi dalam berpikir karena Allah telah memberikan kita akal.

Sebuah ayat yang pernah aku dengar dalam setiap ceramah dari para ustad, yang mengatakan , 
"Siapa yang bersungguh-sungguh pasti nikmat Allah yang akan ia terima." Kata sungguh-sungguh itu memiliki arti yang baku, arti yang "saklek" dan tidak dapat di tawar-tawar lagi. Untuk perjuangan dalam kata-kata sunguh-sungguh itu pun tentunya mempunyai proses yang tidak mudah, banyak godaannya, banyak lika likunya dan penuh perjuangan.

Kesimpulan yang aku peroleh merupakan suatu kesimpulan di mana aku bisa dengan tenang menanamkan kakiku di suatu tempat untuk menghadapi semua persoalan yang datang. Menanamkan kakiku untuk berdiri dan menantang setiap hal yang dapat merusak apa yang sudah aku buat untuk perusahaan tempatku mencari nafkah. Aku yakin ini tempat yang benar, tempat sementara ku serahkan pikiran dan tenagaku secara penuh. Aku yakin suatu saat aku akan berhasil dan keluar dari permasalahan yang membelitku. Aku akan coba berikan penjelasan kepada orang-orang yang kucintai untuk bersabar. Mentari pagi sebentar lagi pasti akan terbit dan menyinari kehidupan kita. Kita akan tersenyum menyongsong masa depan bersama dengan anak-anak kita. Semoga apa yang sudah aku putuskan merupakan keputusan yang benar. Aku tetap yakin benar...


Sunday, March 19, 2017

AAN KECIL “CORETAN DINDING”

“I wanna lay you down in bad of roses...for tonight I"ll sleep on a bed of nails...lantunan syair lagu dari Bon jovi terdengar merdu keluar dari radio tape butut di sudut kamarku. Sepatah-dua patah kata-kata pun ku lantunkan dengan lantang, seakan ingin menyamai merdunya suara Jon Bon Jovi.
"Tok...tok...tok...terdengar suara pintu kamarku di ketuk, "mungkin mama," pikirku, dengan malas aku pun bangun dari kasurku dan melangkah ke arah pintu. Aku melihat mama ku sudah berdiri di depan pintu dengan senyuman mengembang di wajahnya,
 "Ada apa mah? Lagi males untuk nyapu di halaman akh...badannya capek banget..." Seruku sambil kembali merebahkan badanku di tempat tidur.
Siang ini aku memang pulang terlambat, selain memang tidak ada jadwal kursus bahasa inggris, aku pun menyempatkan diri bersama teman-temanku berlatih basket. Maklum saat ini basket lagi trend di kalangan anak muda kotaku. Sehingga sepulang sekolah, aku pun bermain basket di halaman SMU dekat sekolah kami. Satu-satunya fasilitas lapangan basket yang di punyai dan masih dalam satu kompleks sekolah atau satu yayasan dengan sekolahku.
"Papa baru pulang, katanya bawa oleh-oleh untuk kamu. Kalau gak mau ya sudah," ujar ibuku sambil beranjak pergi sembari ingin menutup kembali pintu kamarku.
Aku pun mendengar kata oleh-oleh terlompat bangun dan langsung semangat. Aku ingat papa pernah berjanji kepadaku, jika aku naik kelas dan mencapai peringkat minimal 5 besar, akan di belikan radio tape baru. Kebetulan memang aku mendapatkan ranking 3 di kelasku, ketika ujian kenaikan kelas 5 ke kelas 6.
"Sekarang waktunya aku mendapatkan hadiah," pikirku, karena sudah 1 bulan hadiahnya tidak kunjung di belikan, karena kesibukan papaku di luar kota. Dengan berbasa-basi seperti anak yang merindukan papanya, aku pun memeluk papa dan menciumnya, walaupun mataku tetap jelalatan memandangi setiap bungkusan yang ada di meja.
"Sehat Pa, Aan udah kangen nih," ujarku manja. Adikku Rika yang tengah duduk dekat papaku nyeletuk,
"Basa basi, bilang aja nagih hadiahnya," ujarnya sambil memonyongkan mulutnya untuk menggodaku.
"He...he...kurang lebih begitulah Pa," ujarku ketauan belangnya.
"Malu dong Pa, Angel saja udah punya radio tape baru, Kusmiran juga, Sehat baru kemarin di belikan, sedangkan aku hanya punya radio tape lama yang butut bekas papa, suaranya cempreng lagi." Seruku tidak mau kalah.
"Papa juga sudah janji khan, sebagai seorang satria gaban (film fiksi pahlawan berhelm dari Jepang yang tenar di jaman tersebut) harus memenuhi janjinya, sekarang mana Pa?” Ujarku berusaha mengingatkan papaku, aku pun melanjutkan ocehanku seperti anak ayam yang mencuap-cuap mencari induknya yang hilang entah kemana.
Sedari tadi papa dan mama hanya melihat aku mengoceh tanpa menghiraukan sama sekali apa yang ku ucapkan. Mama sedang sibuk mengatur oleh-oleh makanan untuk tetangga, sedangkan papaku sambil mendengarkan suara anaknya yang bagai kaset rusak, sibuk menyedu teh manis hangatnya sembari sesekali tersenyum bagai mendengar aku melantunkan tembang kenangan rusak.
"Sudah selesai? Tanya papaku seperti meledekku.
"Itu ambil di ruang tamu depan dekat pintu kamarmu di atas kursi." Seru papaku sambil tertawa. Adikku pun tertawa keras, melihat aku di permainkan seperti itu. Sedari tadi ternyata hadiah itu sudah ada dekat pintu kamarku, tetapi terlewat olehku. Aku pun melesat meninggalkan keluargaku mentertawakan kekonyolanku barusan.
Radio tersebut berbentuk persegi panjang dengan 2 buah kotak speaker di kanan dan kiri yang bisa di lepas. Merknya yang terkenal buatan Jepang, membuatku bangga akan radio tape baru hadiah papa.
"Wah, teman-temanku pasti ngiri nih melihat radio tape milikku dengan merk terkenal pula," pikirku sambil tersenyum.
"Sudah waktunya kau pensiun, radio tape butut," ujarku bergumam ketika akan menggantikan tempatnya dengan radio tape baru.
Dipikir-pikir cukup terharu juga. Radio butut ini sudah lama menjadi temanku untuk mengusir kejenuhan, mengusir suasana mengerikan di malam hari, menemaniku dalam sendiri di kamar sehingga berani tidur sendiri. Akhirnya radio tape butut tersebut, aku pajang di meja belajarku sebagai barang antik. Suatu saat aku bisa mengingat akan jasa-jasanya. Aku pun menyalakan radio tape baru tersebut dan terdengar jelas bedanya dengan radio tape butut milik papa yang lama...
Keesokan harinya, sepulang dari kursus bahasa Inggris, kamarku di singgahi oleh 4 orang anak ajaib sohibku yang super jahil di sekolah. Seperti biasa kalau bukan Angel, Amir, Kusmiran dan Sehat. Mereka penasaran ingin melihat tape terbaruku. Ternyata mereka pun mengakui dari kualitas suara lebih jelas, jernih dan mengasyikkan dari yang mereka punya. Dari segi tombol, punyaku lebih banyak tombol di banding mereka, walaupun aku belum bisa tahu persatu fungsi tombol-tombol tersebut. Maklum yang kami tahu, kemuktahiran teknologi kami nilai dari banyaknya tombol. Tidak di sangsikan lagi, akhirnya radio tape ku lebih hebat di banding teman-temanku semua. Tapi sudahlah...
                   "An, menurutmu kemarin mau mendekorasi kamarmu, biar lebih keren..." Seru kusmiran.
            "Belum sempat beli posternya kus, nantilah pas pulang kursus besok," seruku mengingatkan kembali akan rencanaku untuk mendekorasi kamarku dengan menempel poster-poster group musik yang aku sukai.
                   "Aku mau merubah penampilan akh!," seru Sehat terlihat bersemangat.
                   "Penampilan yang mana sehat, badanmu yang gendut gak bisa di kecilin lagi. Atau mau jadi Gaban-Shariban?" Seru angel tertawa bercanda.
                   "Rambut mau aku buat acak-acak-an, kalau perlu gondrong, kalau kursus pakai celana dan baju robek-robek, pakai sendal jepit, pakai kalung tengkorak, biar keren," seru Sehat seperti menjelaskan rentetan menu yang menjadi agenda makannya.
                   "Kalau rambut gak mungkin gondrong lah Sehat, kalau yang lain bisalah di rubah," seru Amir yang tumben-tumbennya mendukung idenya Sehat. Dua orang ini biasanya tidak pernah akur dan hasil akhirnya pasti Amir yang mengalah.
                   "Mulai besok akh pas sekolah, aku mau pakai minyak rambut yang tebal biar rambutku bisa berdiri...kerenkan seperti group musik Duran..Duran.." Ujar Angel menimpali rencana sehat.
                   Pada akhirnya teman-temanku sepakat untuk merubah tatanan rambut ketika sekolah besok, kerena kalau pakaian, tas dan sepatu tidak mungkin di rubah. Bisa-bisa di hukum di tiang bendera lagi dech...

Ke-esokan harinya...

                   Pagi itu seperti biasa sehabis mandi, berpakaian dan terakhir merapikan rambut. Namun untuk urusan yang paling akhir, aku pun sengaja hilangkan. "Ingin seperti Jon bon Jovi dengan rambut urakan." Pikirku sambil melangkah menuju meja makan untuk menyantap sarapan.
                   "An, kamu udah nyisir belum sih? Emang minyak rambut kamu habis? Nanti siang mama belikan dech. Sini mama sisir" ujar mama berusaha mendekati Aan dan mengambil sisir sehbais menyisir rambut Rika adikku.
                   "Eittt mah, jangan...ini lagi trend nih...musimnya Rock n Roll. Nanti sore pas pulang sekolah mau beli kalung sama gelang akh...biar keren..."Teriakku sambil menghabiskan roti bakar dan susu sarapanku. Lalu berbalik berniat untuk langsung berangkat sekolah sebelum mama berubah pikiran dan bertambah murka.
                   "An, bentar...itu mama punya kalung metal...kamu mau gak? Ujar mama setengah berteriak.
                   "Loh..." Ujarku terdiam, tumben nih mama gak marah, aku pun menghentikan langkahku dan berputar menghadap ke mama.
                   "Mana mah," seruku senang karena mama mendukung anaknya berkembang sesuai dengan usianya…he..he…he
                   "Itu kalung tasbih peninggalan punya nenek, keren kalau di pakai, mau?" Ujar mama sambil melangkah menuju kamar. Namun tanpa menunggu mama kembali, aku pun langsung kabur terbirit-birit,
                   "Mana ada tasbih di jadiin kalung, ada-ada aja orang tua," pikirku sambil melarikan diri.
                   Alhasil aku pun tiba di sekolah dan kembali bergabung dengan gank-ku. Pagi ini kami membawa penampilan baru yang membuat setiap teman-teman memperhatikan kami. Rambutku, Amir dan sehat benar-benar terlihat urakan dan tidak tersisir dengan rapi alias berantakan habis, sedangkan rambut Angel dan Kusmiran bagaikan duri-duri rambut ada yang kecil, besar, tampak hitam dan mengkilat. Entah berapa banyak gel minyak rambut yang mereka habiskan.
                   Kepala sekolah yang kebetulan setiap pagi selalu keliling untuk mengontrol kelas dan anak anak murid sebelum bel masuk, terdiam terpaku di tempat, ketika melihat kami berlima yang sedang bercengkrama.
                   "Panggil bu Sri Mulyati kemari, " serunya menyuruh guru yang mendampinginya untuk pergi mencari Ibu Sri. Kami berlima di larang meninggalkan tempat kami berada, seperti biasa di pojokan luar depan kelas. Kelas kami memang berada tepat di pojok dan mempunyai ruang yang biasa di pakai untuk kami berkumpul. Di tempat tersebut terdapat bangku duduk panjang yang terbuat dari kayu. Tempat yang asyik untuk bercerita dan membagi pengalaman serta bermain. Sambil menunggu Bu Sri datang pak kepala sekolah pun membuka obrolan.
                   "Bisa bernyanyai atau menggunakan alat musik?" Kami pun berlima hanya menggelengkan kepala.
                   Tidak lama bu Sri pun datang tergopoh-gopoh dan terdiam sambil mengamati dengan lekat penampilan kami berlima. Pak Kepala Sekolah hanya berbisik dan Bu Sri pun menganggukkan kepala tanda mengerti. Seutas senyum menyeringai terbias di wajahnya sambil tetap memandangi kami tajam terutama kepada diriku. Merasa aku di pandangi tajam, aku pun hanya menunduk dan jariku menunjuk ke arah sehat. Sebagai tanda isyarat bahwa ide ini berasal dari sehat.
                   "Gak usah tunjuk-tunjuk, semuanya salah, semua ikut ibu," seru Bu Sri berjalan menuju kantor guru. Bagai di cocok hidungnya seperti kerbau, kami pun mengikuti bu Sri.
                   "Pak Mulyono, kelima anak ini katanya sangat ingin ikut kegiatan paduan suara, minta tolong di daftarkan ya pak." Seru bu sri ketika berada di ruang guru dan kami di pertemukan dengan Pak Mulyono guru seni suara.
                   Aku pun mengerti apa yang di bisikkan oleh bapak Kepala Sekolah kepada bu Sri. Ternyata kami diserahkan kepada pak Mulyono guru seni suara, untuk di jadikan anggota paduan suara di bawah asuhan beliau. Selama ini kelompok paduan suara sekolah kami, memang selalu kekurangan murid dan peminatnya sangat kurang. Wajar Kalau menurut kami, kegiatan tersebut sangat membosankan karena kami pun tidak yakin dengan kualitas suara kami. Selain itu gurunya pun galak dan cerewet seperti perempuan, termasuk gaya dan kelakuannya.
                   "Siapa yang tidak geli jika melihatnya," pikir kami semua jika melihat pak mulyono mengajar.
                   "Alamat tidak beres nih..."Pikirku sambil memandang keempat teman-temanku yang lain. Mending kami di hukum dengan cara biasa seperti berdiri di depan tiang bendera atau membersihkan sampah, dari pada harus bergabung dalam paduan suara di bawah bimbingan pak Mulyono.
                   "Anak-anak kalau aku dengar ada yang keluar dari kelompok paduan suaranya pak Mulyono, siap-siap saja orang tuanya datang dan di jamin tidak bakal ikut Ujian Nasional." Ancam bu sri di depan pak Mulyono.
                   "Silahkan pak Mulyono," ujar bu Sri mempersilahkan bapak tersebut untuk memberikan pengarahan kepada kami sedangkan bu Sri berlalu meninggalkan kami dan bersiap siap untuk mengajar.
                   "Hmmmm...setiap hari sabtu sore dan minggu pagi datang ke sekolah untuk latihan ya," ujar pak Mulyono seperti biasanya kemayu...
                   "Dan...satu lagi...harus rapi, karena paduan suara memerlukan orang-orang yang rapi." Sambung pak mulyono sambil mengibaskan telapak tangannya sebagai isyarat menyuruh kami pergi.
                   "Ini yang aku tidak suka...jadwalnya paduan suara mengganggu jadwal basket dan tidurku di hari minggu," ujarku kesal sambil berjalan di koridor sekolah menuju kelas.
                   “Oooh, itu khan tidak masalah an, bisa kita atur kok rencana kita,” seru sehat menirukan gayanya pak Mulyono yang kemayu dan keperempuanan. Kami pun tertawa terkikik menahan suara kami supaya tidak mengganggu kelas yang sedang kami lewati.
                   Akhirnya dengan terpaksa kami pun bergabung dengan paduan suara. Mencoba belajar mengolah suara...siapa tau bakal benar-benar jadi vokalis...he...he...he. Namun ternyata itu tidak berjalan lama, sumbangnya suara Sehat dan Amir, malu-malunya suaraku dan Mukhlis untuk keluar bernyanyi serta cemprengnya suara Kusmiran membuat kami di usir dari kelompok paduan suara dengan sukses.
                   "Akhirnya, tidur sampai siang di hari minggu ku pun sukses tidak ada yang mengganggu," pikirku sambil berjalan keluar kelas paduan suara.
                   “Mungkin bu Sri lain kali akan memikirkan cara yang terbaik untuk menghukum kami” pikirku sambil tersenyum.
                   Namun ketika masuk sekolah di hari Seninnya, ibu Sri melakukan perubahan yang radikal. Ia merubah posisi tempat duduk murid di kelas kami. Anak laki-laki di larang duduk mengelompok seperti biasanya. Tempat duduk diatur berjajar di selang seling, antara laki-laki dan perempuan. Satu bangku di isi laki-laki dengan perempuan. Dengan urutan berdekatan dengan dinding laki-laki sebelahnya perempuan, lalu bangku berikutnya pun sama.
                   “Ini untuk meredam biar di dalam kelas tidak berisik mengobrol.” jelasnya
Aku yang kebagian duduk bersama teman satu gank-ku berjajar merapat ke dinding.
                    "Sepertinya bu Sri sengaja biar aku bisa ngobrol sama tembok saja kali ya." Pikirku sambil mendesah jenuh. Setiap aku jenuh, aku pun menulis di dinding tentang kejadian ku yang ku alami sebelumnya ataupun barusan beserta tanggal kejadian. Ternyata kebiasaanku pun di ikuti oleh teman-teman satu gank-ku. Kami pun sering bertukar tempat untuk membaca cerita yang dialami temanku yang lain.
                   "Hei, coba nih kalian baca. Aan menuliskan kejadian kemarin...ha...ha...ha" Seru Kusmiran tertawa, sedangkan Amir,Angel dan Sehat pun berebutan untuk membaca tulisanku yang di tunjuk Kusmiran.

3 November
Aku benar-benar malu, jidatku kepentok tiang rambu-rambu lalu lintas ketika berjalan di trotoar menuju stadion menonton pertandingan basket. Gara-gara cewek cantik yang lewat, berkacamata dan cantik juga...semua teman-temanku tertawa termasuk si cantik yang ada di seberangku...malunya...

Sedangkan cerita sehat:

15 oktober
Asyik menonton acara kartun Mickey Mouse di televisi sambil makan snack yang di belikan mama. Tidak sadar yang aku makan adalah sticker hadiah beserta plastik pembungkusnya. Aku pun tersedak...hampir mati rasanya tidak bisa bernapas...untung bisa keluar karena punggungku di pukul-pukul mama...

"Ha...ha...ha...,sehat...sehat...makan melulu, sekalian aja sendal di makan...rakus...nya," seru Amir tertawa terpingkal-pingkal diikuti oleh tawa kami yang berderai ramai.

Cerita Amir pun tidak kalah serunya:

21 Oktober

Menatap bintang yang memenuhi langit malam itu. Alangkah indahnya, tetapi tiba-tiba...cairan lengket dan terasa agak hangat menempel di jidatku. Aku pun mengambilnya dengan jariku dan menciumnya...uhhh baunya...ku lihat di atasku membentang kabel listrik dengan seekor burung tepat diatasku...sialan...ternyata tahi burung...tapi kata orang bakal dapat rejeki...mudah-mudahan...

"Ini kurang nih mir..." Seru kusmiran sambil bersiap-siap ingin menuliskan sesuatu sebagai tambahan namun di larang amir dengan marah.
"Mau di tambahkan apaan kus?" Seru sehat penasaran...
"Aku pun menjilat tahi burung tersebut berharap rejeki cepat datang...ha...ha...ha." Seru kusmiran dengan terpingkal-pingkal, kami pun tidak kalah hebohnya tertawa. Melihat kehebohan kami yang tertawa-tawa ketika jam istirahat, menimbulkan beberapa pertanyaan bagi teman-teman kami yang lain.
Pada akhirnya mereka pun turut membaca hasil curahan hati kami di dinding.
Sebenarnya perubahan ini sangat efektif, karena sebelumnya kelas kami yang di kenal paling berisik. Namun setelah dilakukan perubahan tempat duduk, menjadi yang paling tenang diantara kelas yang lain. Kelas kami pun menjadi percontohan di sekolah, namun hal tersebut tidak berlangsung lama...
Tepat 3 bulan setelah perubahan, timbul masalah. Ternyata anak-anak laki-laki di kelas ku terlampau aktif. Sebelumnya hanya aku dan gank ku yang senang menulis di dinding, sedangkan anak-anak lain hanya membaca kejadian-kejadian kami yang telah kami tuliskan di dinding. Namun lama kelamaan sepertinya kegiatan tersebut menyenangkan. Karena hampir tiap hari kami dapat membaca dan mengingat kejadian yang telah terjadi. Hal itu pun menular ke teman-temanku yang lain. Mereka mengikuti, hampir semua dinding di kelas penuh dengan coretan curhat, kejadian tragis, putus cinta dan lain sebagainya. Bahkan teman-teman kelasku sudah membuat kavling-kavling sendiri sesuai dengan tempat privasi yang diinginkan. Sebelumnya hal ini tidak di sadari oleh bu Sri karena memang belum terlihat dan masih sedikit tulisan, sehingga tidak terlalu terlihat. Namun setelah lama-kelamaan dan dinding telah penuh karena semua orang ikut menulis, bu Sri pun merasa kecolongan dan naik pitam. Siapa lagi yang bakal di salahkan tiada lain Aan and the gank.
"Kalian...gak ada tempat lain untuk menulis selain di dinding!!! Tidak pernah di ajarkan untuk menulis di kertas ya!!!, Atau Kertas di buku kalian habis? Kalau habis bilang ke ibu!!!, sekalian ibu belikan yang banyak!!! Ujar bu guru dengan nada yang tinggi dan menggema ke seluruh ruangan kelas ini, tanpa ada sedikitpun yang berbicara.
“Kalau kalian mau tahu, kejadian ini sudah ketahuan sampai ke kepala sekolah. Ibu benar-benar malu, seperti tidak bisa mengajarkan yang baik ke kalian." Lanjut Seru bu Sri yang kali ini kata-katanya sepertinya keluar dari hati yang paling dalam dan penuh penjiwaan. Sehingga aku pun melihatnya terpana bagai melihat sebuah penjelmaan bu broto di serial drama losmen TVRI.
"Aan, kamu jangan memasang tampang yang tidak bersalah! Kamu menatap ibu seperti itu memangnya kenapa? Kamu pikir ibu tidak sedang marah? Sedang bersandiwara?" Teriak bu sri dengan penuh emosi yang meluap luap. Merasa kalau kali ini bu Sri mengetahui apa yang ia pikirkan dan merasa ia pasti menjadi satu-satunya tersangka yang bertanggung jawab penuh atas kejadian ini, akhirnya Aan pun ikut tertunduk seperti teman kelas lainnya.
 Perasaannya pun kali ini terbukti…
"Sekarang aan, ibu tanya? Jangan pernah mengelak! ibu tau kalau kamu dedengkotnya yang memulai ini semua!” Masih dengan teriakan dan sedikit mengancam dengan mata melotot yang tajam dan muka yang merah.
"Alasan kamu menulis cerita-cerita orang gila di dinding itu, maksudnya apa?" Tanya bu Sri yang menyebut cerita kami adalah cerita orang gila. Hal tersebut sebenarnya membuat aku ingin tertawa, namun ku tahan sehingga pada akhirnya hanya tercetus membentuk sebuah sunggingan senyum yang terlihat.
"Begini bu, sebelumnya aku minta maaf. Gak ada maksud apa-apa bu. Sungguh...sebelumnya aku hanya iseng, karena di sana sebelumnya terlihat tulisan rumus matematika dan arti dari teori-teori seperti bahan contekan untuk ujian. Karena ke-ide-an ya akhirnya aku menulis tentang kejadian ku sendiri bu. Lebih baik seperti itu khan bu daripada aku membuat contekan didinding." Ujarku menjelaskan dengan mimik muka serius dan seperti biasanya orang yang pasti melihat bakal akan tersenyum atau bahkan reda marahnya jika melihat mimikku yang lugu dan menggemaskan seperti yang sudah-sudah.
Ternyata cara ku berhasil, bu Sri menundukkan kepalanya dan menghembuskan napas dan berbalik sambil berjalan menuju ke meja guru depan kelas. Sepertinya sedang berusaha untuk meredakan kemarahannya dan mencoba untuk berlaku tenang.
" Hari minggu semuanya masuk, bantu pak Buat untuk mengecat kelas kalian" serunya pendek, lalu kemudian membuka buku untuk meneruskan pelajaran.

Ketika jam istirahat…

                   "Ngel, ngapain? Teriakku, ketika melihat Angel yang kembali mencoret-coret dinding walaupun memang sudah di larang bu Sri...Gak kapok-kapok nih anak" pikirku sambil mendekatinya beserta 3 orang temanku yang lain.
"Baca dech an," ujarnya sambil tersenyum.
"Hari ini kemungkinan hari terakhirku untuk menulis di dinding ini. Ya Allah, berkatilah kami semua, karena sebenarnya niat kami baik. Cuma bu Sri saja yang menyangka kami tidak berniat baik. Salam perpisahan dari ku untuk dindingku tercinta. Oh ya, maaf ya bu Sri, sebenarnya aku harus menyampaikan ini, tapi aku tidak berani untuk langsung bertatap muka dengan ibu. Kemarin malam yang melempar batu ke genteng bu Sri adalah aku. Karena aku di tantang oleh teman-temanku...sekali lagi aku minta maaf. Dinding ini akan menjadi saksinya bu, sekali lagi aku minta maaf.”
Aku dan teman-temanku hanya tertawa kecil sambil menengok kanan dan kiri takut ada yang mengadukannya ke bu Sri.
"Polos amat ngel...ketauan habislah kita," ujar Kusmiran menahan geli akibat tertawa yang di tahan.
"Sudahlah, hari minggu juga akan di cat, puas-puasin aja dululah..." Seruku lalu kembali menulis di dinding yang menjadi kavlingku. Mungkin hari itu merupakan hari terakhir kami dengan puas mencoret-coret dinding sekolah dasar. 

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO