Malam menampakkan kepekatan yang mengerikan
dengan langit tanpa sinar rembulan dan bintang. Bergelayut mendung menduduki
singasananya menunggu waktu untuk menumpahkan seluruh isinya. Burung walet berterbangan
menyapa hujan yang mulai akan turun. Bercericit riang memenuhi langit malam
ini, mengucapkan salam persahabatan kepada angin dan kepada malam. Bercericit
syukur kepada sang pencipta atas berkah hidup indahnya. Hujan rintik-rintik pun
berganti menjadi hujan yang sangat deras. Namun tidak berarti angin yang di
hembuskannya bernada dingin. Tetap seperti biasanya angin meniupkan hawa hangat
bercampur bau tanah kering yang tertimpa air. Tanah yang seharian di timpa
panas sang mentari yang terbakar, melepas debu asap berbau tanah ketika tertimpa
air sang hujan.
Seorang pemuda duduk terpaku menghalau
pandangannya yang terhalang air hujan yang tumpah ruah ke bumi. Setengah
berlari menuju kamar kostnya yang terhalang kisi-kisi kayu untuk menghalau sang
hujan agar tidak langsung menerpa pintu dan dinding kamarnya. Di biarkan
pintunya terbentang setengah terbuka, dengan harapan bisa merasakan udara
dingin yang masuk menggantikan hawa panas yang mendekap di dalam kamarnya.
Kembali dia duduk bersila menghadap ke arah
luar, seperti menunggu apa yang akan muncul di depan pintu kamarnya. Berkerut
keningnya menatap luar kamarnya, seperti memikirkan seperti apa bentuk atau
wujud yang akan nanti hadir di hadapannya. Matanya tanpa henti terpaku terus
menatap luar, napasnya tampak teratur mengatur irama pikirannya. Menghadirkan
suatu nada irama indah yang mengalun pelan menuju ke akal pikirannya, lalu di
hadirkan dalam bentuk object-objet maya yang di proyeksikan ke dalam tatapan
matanya.
Namun yang hadir tidak seperti yang di
harapkannya. Seorang ibu gemuk, dengan rambut terurai, memakai baju tidur hadir
tiba-tiba di depan matanya.
"Mas, kost tinggal 3 bulan lagi yah?
Syukurlah..., kalau begitu...” seru si ibu sambil tersenyum dan mengelus elus
dadanya.
“begini mas. kost an ibu ini sedang sepi, ya
cuma mas dan penghuni kamar dekat pintu masuk saja yang paling lama dan betah
tinggal di sini. Penghuni yang lain paling cuma satu sampai dengan dua bulan
sudah keluar...”sambung si ibu menjelaskan. Tanpa menunggu si pemuda
mengeluarkan suaranya, si ibu langsung melanjutkan kembali perkataannya.
"ibu berterima kasih kalau mas merasa
nyaman...jangan sungkan-sungkan kalau butuh sesuatu ya mas. ibu kemari cuma mau
cek...kok lagi hujan pintu kamarnya terbuka, takut mas ketiduran atau sedang
pergi lupa menutupkan pintu. Maaf ya mas mengganggu." Lanjut si ibu sambil
masih tersenyum manis dan masi setia berdiri diluar pintu kamar.
Sang pemuda tidak sempat berbicara apapun,
namun sang ibu kost pun sudah berlalu pergi. Tampaknya sang ibu cukup puas
dengan melihat anggukan dan senyuman sang pemuda saja, yang menganggap bahwa
apa yang di bicarakannya dapat di mengerti oleh sang pemuda. Tanpa memikirkan
pembicaraan yang terjadi barusan, sang pemuda pun merebahkan badannya ke tempat
tidurnya. Sambil kembali menatap ke luar pintu kamarnya. Kali ini ia menatap
hanya dengan tatapan kosong. Terlihat hanya gerakan dadanya yang kembang kempis
serta menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kencang. Seperti
mencoba untuk membuang beban pikiran yang menghantuinya semenjak tadi.
Kamar kost pemuda ini terletak di lantai dua
sebuah bangunan bedeng. Bangunan bedeng maksudnya bentuk kamar yang bersusun
menghadap sebuah halaman atau langsung menghadap dunia luar. Kebetulan di
sepanjang koridor yang membatasi kamarnya dengan dunia luar, dibatasi oleh
kisi-kisi kayu. Kegunaannya seperti yang sedang terjadi, dapat menahan hujan
ataupun ketika sedang cerah, dapat menahan panas matahari sehingga tidak
langsung menghujam ke arah kamarnya. Beruntung karena letaknya di atas,
sehingga pemuda tersebut tidak terganggu oleh orang-orang yang lalu lalang di
depan kost-annya ini.
Sudah 3 bulan, pemuda ini tinggal di rumah kost
ini. Awal mulanya ia mendapat tugas dari kantornya untuk menangani masalah anak
cabang perusahaannya di kota ini selama 6 bulan. Namun baru saja 3 bulan, ia
merasa seperti terbuang dari kehidupannya, terbuang dari keluarganya, serta
terbuang dari perkerjaannya. Merasa bahwa dirinya di tempatkan di daerah ini
karena tidak di butuhkan oleh kantor pusat sehingga sengaja membuang dirinya ke
luar kota yang jauh. Belum lagi perasaan kangen yang membuncah di dadanya jika
ingat anak-anaknya. Anak yang baru berusia 7 tahun “my princess” Dinda dan 4
tahun “si jagoan” Azam, masa di mana sedang manis, nakal dan lucu-lucunya. Pada
akhirnya kembali ia merenungkan dan menyesali keputusannya untuk menerima tugas
di luar kota.
"Perusahaan saat ini sangat membutuhkan
kontrol yang ketat di daerah tersebut, jadi saya harap anda mau menerima
tawaran ini,"Jelas sang bos.
“Apa yang saya dapatkan pak, kalau saya
menerima tawaran ini?."Tanya sang pemuda.
"Uang kost akan di tanggung perusahaan,
transport, sedangkan uang makan sedang saya ajukan, nanti saya usahakan akan
diadakan meeting 1 bulan sekali sehingga anda bisa pulang." Jawab sang bos
langsung pada tujuannya dan tanpa basa basi.
Pemuda tersebut setuju dan merasa tertantang
untuk memperbaiki daerah yang di tugaskan kepadanya. Sebelumnya ia memang sudah
tertempa untuk menerima tanggung jawab yang besar. Telah terbiasa menerima
tugas dan kepercayaan penuh dari para atasan sebelumnya. Oleh karena itu
kepercayaan dari perusahaan ini merupakan tantangan tersendiri bagi dirinya.
Namun Tidak ada kontrak atau kertas hitam di atas putih yang jelas. Tidak ada
surat tugas yang menegaskan batas-batas tugas atau wewenangnya di kota
tersebut.
Pada akhirnya di sinilah ia terdampar dengan
penuh luka terkoyak. Hanya tanggung jawab yang bisa menahan dirinya untuk
kembali. Tanggung jawab sebagai seorang bawahan yang sedang menjalankan tugas
serta tanggung jawab sebagai suami untuk menghidupi keluarganya.
Luka yang terkoyak tersebut di timbulkan oleh
janji yang tidak pernah terealisasi. Semuanya atas dasar pengertian dan
sukarela karena perusahaan tiba-tiba mengalami krisis financial akibat kenaikan
umr (Upah Minimum Regional). Hanya uang kost yang pemuda tersebut dapatkan,
uang makan berasal dari uang gajinya sendiri yang tidak cukup karena menghidupi
dua dapur, pulang pun memakai uang pribadi setiap bulannya dengan alasan-alasan
tertentu. Terkadang ia pun menggunakan uang pribadi untuk setiap pengeluaran
dalam masalah kerja.
Saat ini ia sedang mempertimbangkan untuk
mundur dari perusahaan ini, dengan pertimbangan alasan keluarga. Anaknya yang
kecil sudah sering sakit-sakitan, istrinya pun sering mengeluh karena jauhnya
tempat berkerjanya dari rumah. Karena sebelumnya pemuda tersebut yang bertugas
mengantar dan menjemputnya di tempat kerjaan. Selain irit juga hemat di waktu.
Akibatnya pengeluaran rumah tangga pemuda tersebut pun membengkak. Terkadang
mereka di tengah bulan sudah harus mencari pinjaman ke sana kemari untuk
menutupi biaya operasional dan makan keluarga. Sungguh ironis, padahal
perkerjaan di tangan mereka berdua merupakan perkerjaan yang paling strategis
dalam perusahaannya masing-masing.
Ditangan sang pemuda tergenggam handphones
dengan isi Short Message System (SMS) yaitu sebuah panggilan kerja di sebuah
perusahaan kompetitor. Sedari tadi ia memikirkan masak masak mengenai tawaran
yang berada ditangannya. Perusahaan yang memanggilnya merupakan perusahaan yang
sudah besar dan ternama. Hanya kerja keras untuk maintenance pencapaian omzet
salesnya. Namun perusahaan yang sedang ia geluti sekarang masih berumur 3
tahun. Tidak sedang dalam bangkrut dan aman, namun memang sedang melakukan
pembenahan dalam hal kalkulasi untung dan rugi nya operasional sehingga
kedepannya perusahaan lebih bisa safe kembali. Peluang yang ia dapatkan jika ia
bertahan tentu lebih besar dan terbuka.
Pemuda tersebut mengerti jika ia bertahan dalam
suatu badai, tentu kedepannya ia malah lebih kuat dalam menghadapi badai yang
lebih besar. Penghargaan yang ia dapatkan pun tentunya akan lebih baik jika ia
hengkang dalam keadaan perusahaan profit. Namun ia tidak bisa berlama-lama di
tempat seperti ini, mau sampai kapan? Kasihan keluargaku, mereka sangat
membutuhkan kehadiran seorang ayah untuk menjadi imam buat mereka.
Pertentangan-pertentangan tersebutlah yang
muncul dalam benak pikirannya. Mengganggu tidur di waktu malamnya, mengganggu
konsentrasi dan komunikasinya dengan pihak ketiga dalam perkerjaannya. Pandangannya
pun masih menerawang keluar pintu kamar, menunggu siapa yang akan mewujud hadir
dan menang dalam pertentangan ini. Berharap sang pemenang dapat menarik dirinya
keluar dari lingkaran-lingkaran frustasi yang menghinggapinya. Pertentangan itu
pun sampai saat ini terus berlangsung, mewujud menjadi bentuk suatu
persimpangan jalan.
Suatu persimpangan yang masing-masing arah
menuju jalan yang gelap tanpa cahaya. Semuanya masih meraba, semunya pasti ada
resiko, semuanya pasti akan berbeda namun dengan kondisi yang sama yaitu harus
kerja keras dimanapun berada. Namun semua pilihan yang ada adalah ia harus
kumpul bersama keluarganya baik di tempat yang baru atau di tempat yang lama
dengan kondisi tawar menawar.. Tapi mungkinkah? Entahlah...hanya gemericit
suara burung-burung walet yang melintas cepat menyambar sang ngengat sebagai
menu makannya sehabis menikmati segarnya air hujan malam ini. Pemuda itu pun
masih tenggelam dalam mencari keputusannya, menatap rintik-rintik hujan yang
mulai sedikit demi sedikit reda...berharap ada yang muncul sebagai pemenang
didepan pintu kamar dan membawa dirinya kearah mana dia harus melangkah.
Surabaya, Tunjungan Plaza 2011.
No comments:
Post a Comment