Sunday, February 5, 2017

PERJALANAN

Disebuah mobil travel rute semarang menuju surabaya pada suatu pagi yang temaram. Cuaca di luar mobil tampak menampakkan sinar cahaya matahari yang agak redup dikarenakan tertutup sedikit awan hitam. Jalanan tampak lenggang karena kebetulan hari ini masih dalam suasana libur. Setiap orang masih betah bercengkrama dengan keluarganya di rumah memanfaatkan moment libur yang panjang. Di mana hari Jumat adalah libur hari paskah di sambung dengan sabtu dan minggu moment libur akhir minggu. Mobil L.300 ini mengangkut 9 orang dengan 2 orang di depan bersama sopir, 3 orang di tengah dan 3 orang di belakang.
Sang Sopir merupakan seseorang laki laki yang cukup berumur. Aku menaksirnya berumur sekitar 55-58 tahun. Dengan guratan-guratan tanda ketuaannya melekat pada wajahnya. Wajah yang telah menyaksikan segala perjuangan hidup setiap anak manusia. Wajah yang telah merasakan kerasnya dalam meniti kehidupan ini. Saking kerasnya sehingga menempa lekuk dan guratan wajahnya berkarakter masam dan keras. Di hiasi dengan rambut pendek yang sebagian telah berwarna putih. Rambut yang memutih di karenakan lelahnya merasakan lamanya belaian sinar matahari sepanjang perjalanan hidupnya.

Rambut yang telah mengatakan kepada si orang tua, "telah kubaktikan seluruh kekuatanku untuk melindungi kulit kepalamu haii orang tua dari kejamnya panas sang mentari, sekarang tibalah saatnya kekuatanku berkurang dan mungkin saatnya akan tiba nanti. Bersama dengan tubuh tua mu yang mulai telah renta untuk bergabung bersama tanah, tempat asal kita."

Tidak ada keraguan ataupun ketakutan pada wajah sang sopir menghadapi ketuaannya. Tidak ada rasa menyerah, mengeluh ataupun merasakan kekuatannya yang semakin melemah. Aku melihat adanya tekad yang bulat, sebuah semangat yang entah dari mana munculnya meliputi sang sopir. Mungkin rasa tanggung jawab yang di pikul sang sopir untuk mengantarkan kami dengan selamat ke alamat tujuan kami masing-masing.

“Solar saat ini langka sekali di semarang, kemarin pagi ketika jalan dari Surabaya tidak ada masalah. Solar banyak di temui sepanjang jalan menuju semarang. Namun ketika sampai di Tuban, solar kosong sama sekali, beberapa spbu memasang tanda solar kosong. Untungnya ada satu spbu yang ada dan itu pun ngantri." Ujar sang sopir membuka pembicaraan dengan nada yang kesal.

Kekesalan sang sopir beralasan bermula dengan telatnya jadwal sang sopir untuk meluncur menuju ke Surabaya karena harus mencari Solar ke SPBU sekitar Kota Semarang.

"Dari bandung menuju semarang, tidak ada masalah pak, solar banyak di jumpai pada spbu, sepertinya ada yang bermain untuk area semarang, " jawabku menanggapi obrolan sang bapak.

            “Biasa di Indonesia, orang kaya lebih suka untuk memonopoli barang-barang kebutuhan rakyat. Terutama para pejabat yang mempunyai usaha sampingan. Dengan begitu harganya bisa naik dua kali lipat." Sambil menghembuskan nafasnya Sang sopir pun melanjutkan ucapannya.

            Ya, begitulah...rakyat kecil yang di bikin sengsara. Dengan naiknya harga solar berarti naik juga biaya transportasi dan harga kebutuhan pokok."

            Aku pun tersenyum menanggapi jawaban sang sopir. Ku condongkan badanku ke depan untuk mengatur posisi ac agar tidak langsung menerpa badanku. Di sebelah kiriku duduk seorang perempuan muda. Sedari tadi hanya menguping pembicaraan kami dan sibuk menekan tuts-tuts hapenya.

            "Saya mempunyai anak, sekarang dia di makasar bertugas jadi reserse di Kepolisian," sambung sang bapak dengan nada bangga.

            "Cuma dia laki-laki anakku., 2 orang adiknya perempuan semua. Sekarang semuanya sudah menikah. Satu di padang Sumatera Barat dan satu lagi di semarang." Ujarnya sambil mengambil kacamata hitam yang ada disaku bajunya, lalu berusaha membersihkan kacanya dengan menggunakan sebuah lap yang berada di dashboard mobil.

            "Sudah lama saya tidak bertemu dengan anakku yang laki laki. Teramat sibuk katanya. Kebetulan anakku itu baru tamat sekolah pendidikan perwira di Jakarta," tambah sang bapak sambil tersenyum kecut terhias di mulutnya

            "Wah, hebat pak. Anaknya sudah perwira. Tapi ngomong-ngomong bapak umurnya sudah berapa? Sepertinya sudah tua tapi matanya masih sehat pak? Tidak rabun? Ujarku dengan memberikan rentetan pertanyaan yang sedari tadi menjadi misteri besar di benakku. Mataku juga tidak lepas memperhatikan sang sopir. Sehingga tidak heran rasa penasaran ku akhirnya menjadi kalimat pertanyaan yang merentet ke sang sopir.

            Dengan datar dan tanpa tersenyum seperti biasanya sang sopir menjawab, "58 tahun mas, akh...biasa aja kok. Masih banyak teman-teman saya yang seumur masih sehat matanya." Jawab sang sopir tanpa makna dan menggantung. Sambil mengklakson pengendara motor yang menghalangi jalannya kendaraan kami.

            "Saya saja yang muda ini sudah minus pak, makanya saya heran melihat bapak masih sehat bugar," uraiku menjelaskan keadaanku.

            "Tapi malas untuk memakai kacamata, banyak orang yang pakai kacamata tapi tidak berkurang minusnya malah nambah...yah artinya tidak jadi sehat dong..." Sambungku menambahkan penjelasanku sebelumnya.

                 Sang perempuan di samping kiriku menanggapi dengan tertawa lirih, sebagai cara untuk berusaha masuk ke dalam pembicaraan kami berdua.
           
            "Pola makan mas nya yang harus berubah, harus banyak makan sayur dan kurangi makan ikan (di jawa ikan itu bukan berarti arti ikan yang sesungguhnya. Namun ikan di sini berarti makan dengan lauk pauknya yang berupa daging sebagai teman makan)." Jawab sang sopir tanpa mengalihkan perhatian dari jalan di depannya.

            Sebenarnya aku sudah bisa menebak jawaban dari sang sopir. Pertanyaan tentang mata itupun hanya sekedar pancingan untuk lebih memperpanjang pembicaraan agar tidak merasa jenuh di mobil. Namun setelah itu aku tidak punya bahan lagi untuk melanjutkan pembicaraan. Sejenak kami pun saling berdiam diri. Akhirnya sang sopir lagi yang membuka pembicaraan kembali dengan topik yang berbeda.

            "Sebenarnya dalam hidup ini yang penting adalah iman, Tanpa iman kita tidak akan bakalan tenang dalam mengarungi hidup ini. Saya kalau mau bisa kaya mas.”  Seru sang sopir memecah keheningan sambil menggoyang goyangkan badannya untuk memperbaiki posisi duduk, lalu melanjutkan perkataannya.
           
            "Dulu sewaktu masih jadi sopir taxi, uang satu tas ketinggalan di bagasi mobil saya kembalikan. Bahkan handphone juga pernah ketinggalan di mobil, saya selalu kembalikan ke pemiliknya. Jelas sang sopir lalu melanjutkan dengan topik yang berbeda kembali namun dengan tujuan yang sama.

            “Tidak pernah saya mengajak tamu saya untuk menawari ketempat-tempat maksiat....memang sih argonya terus berjalan dan belum tips yang di berikan tamu kepada saya. Tapi yah gak bermanfaat juga buat saya, malah saya juga ikut dosa. Paling saya ingatkan, pak...ingat istri dan anak di rumah," itu terus yang saya ingatkan kepada para tamu." Jelas sang sopir sambil sambil memasangkan kacamata hitamnya.

            Kebetulan cuaca di luar berubah menjadi terang dan panas mencekat. Sinar sang mentari tampak tembus menerangi bagian dashboard depan mobil.
Saat ini kami memasuki daerah pantai utara Jawa tengah. Cuaca panas menyengat sebagai ciri khas daerah ini bercampur dengan angin laut yang berhembus menghempas badan mobil yang berani menentang alur angin. Bunyi gemerisik kisi-kisi pintu yang terpentang menantang angin yang datang dari depan di belah oleh kecepatan mobil yang melaju kencang. Terkadang bau garam laut dan bau amis ikan tembus tercium sampai kedalam mobil.

            Aku pun mengalihkan pandanganku menerawang keluar mobil. Memperhatikan pinggiran laut jawa dengan ombak yang masih tenang. Ada rasa iri ketika melihat anak-anak pantai bermain di sepanjang pantai. Ataupun menyaksikan penduduk sekitar yang sedang duduk menikmati keindahan laut dengan menampilkan aksi camar laut yang sedang mencari mangsa ataupun air laut yang tenang bergelombang kecil mempermainkan kapal-kapal nelayan yang sedang sandar beristirahat untuk kemudian nanti sore kembali untuk melaut lagi.

            Iri menyaksikan itu semua karena aku tidak pernah punya kesempatan lagi untuk menikmati indahnya laut. Terakhir ketika aku di SMA menikmati indahnya laut pantai selaki dan pantai pasir putih di Lampung.

            "Kenangan lama, memang sulit sekali hilang. Ingin kembali terulang tapi waktunya tidak pernah hadir. Entahlah...mungkin suatu saat nanti," pikirku pun mengembara ke beberapa tahun yang lalu ketika bermain di pantai bersama teman-teman SMA ku. Lamunanku pun buyar, karena tidak lama kemudian sang sopir pun melanjutkan obrolannya.

            "Karena iman itulah mas, saya masih bisa bertahan sampai sekarang. Bisa menyekolahkan anak-anak sampai perguruan tinggi. Masih bisa di percaya untuk menjadi sopir travel. Saya pernah istirahat atau menganggur. Dilarang berkerja oleh anak-anakku selama 8 bulan. Tapi tidak betah di rumah. Hanya makan dan tidur serta mengasuh cucu. Akhirnya ya begini, saya kembali berkerja jadi sopir."

            Ada raut tersenyum terlihat datar dari muka masamnya sang sopir. Terlihat ikhlas dan tenang mengayun melebarkan mulut melepas suatu sunggingan senyum. Seperti lepas dari belenggu yang selama ini terkekang oleh rasa tanggung jawab yang berlebihan.

            "Dari dulu juga saya tidak pernah menuntut suatu hal yang tidak bisa saya dapatkan mas, apa adanya saja..., ikhlas dalam menghadapi hidup ini. Tidak pernah neko-neko. Anak-anak minta ini dan itu. Saya usahakan dengan tenang dan tidak tergopoh-gopoh. Alhamdulillah selalu ada. Yah itu tadi, kalau kita ikhlas menjalaninya, InsyaAllah pasti ada jalan." Lanjut sang sopir menjelaskan dengan nada menyakinkan.

            Aku pun kembali memperhatikan nada bicara dan mimik muka sang sopir. Ada rasa tidak percaya yang timbul di hatiku yang berusaha muncul. Ikhlas itu selalu datangnya dari hati dan terbesit dari mimik muka dan murah senyumnya seseorang, itu yang biasanya aku temui dalam setiap pergaulanku selama ini. Namun hal ini lain dari gerak gerik sang sopir. Mungkin di akhir perjalanan aku bisa menyimpulkan sinkromisasi antara ucapan dan tindakan. Bukannya jaman sekarang setiap orang sudah pintar berbicara? Terbukti dengan banyaknya pejabat-pejabat, para wakil rakyat yang obral janji bahkan over acting. Karena pada awal kampanye nya pun hanya menjual janji dan bukan bukti...hal tersebut pada akhirnya di ikuti oleh rakyat. Sekarang siapa saja bisa membual, wong pemimpinnya aja raja membual...

            Mungkin sebagian cerita sang sopir ada benarnya juga. Tidak bermasalah jika hanya mencari obrolan pembuka supaya tidak merasa bosan. Namun saat ini aku tidak sedang serius membahas mengenai masalah iman dan ikhlas. Karena menurutku itu urusan masing-masing pribadi. Kalaupun untuk urusan iman dan ikhlas, cukup membahas dengan orang yang berkompetent yaitu para ustad.

            Aku pun mengalihkan pembicaraan bersama sang perempuan di samping kiriku. Ia ternyata seorang bidan yang baru dua tahun lulus dari sekolah kebidanan. Sudah dua tahun juga ia berkerja di rumah sakit kecil di Semarang. Kebetulan ia mendapat peluang untuk menjadi bidan di Rumah sakit besar Surabaya. Peluang tersebut tidak disia siakannya, ia pun langsung berangkat menuju Surabaya. Disinilah ia bersamaku berangkat ke Surabaya. Proyeksi-proyeksi rencana kerja kedepannya sangat terencana rapi di pemikirannya. Sangat aku kagumi, selama ini ia sudah 85% sesuai dengan planningnya. Tinggal 15 % lagi ia harus menyelesaikan masa kerja 2 tahunnya agar mendapat ijin praktek, lalu melamar menjadi pegawai negeri.

            Banyak yang ku tanyakan seputar kebidanan, sekolahnya, bahkan pengalamannya. Sangat mengasyikkan dan menimbulkan minat keingin tahuanku seputar kebidanan selama perjalanan tersebut. Namun tidak kutanyakan nama dan no telpnya. Karena bagiku sesuatu hal yang klasik jika kutanyakan hal tersebut. Toh tidak ada manfaatnya juga bagiku, ia hanya sebagai teman seperjalanan.

            6 jam perjalanan, pada akhirnya tiba di Surabaya. Benar dugaanku, sepanjang mengantar para penumpang, sang sopir selalu mengeluh, bertanya kasar kepada penumpang yang kebingungan. Kebanyakan mereka tidak tau jalan, ataupun baru pertama kali datang ke Surabaya, sehingga memakai travel merupakan cara supaya diantarkan tepat pada alamat yang di tuju. Terkadang jika sudah sampai tujuan, sang sopir meminta kembali tambahan sebagai jasa ongkos mencari jalan. Hilang sudah teori iman dan ikhlasnya tadi yang di bicarakan selama perjalanan.


            Aku pun tertawa geli melihat kelakuan sang sopir. Memakluminya, terkadang manusia ini sombong berpura-pura tidak butuh padahal butuh. Atau terkadang manusia ini suka membual untuk supaya di kasihani oleh orang lain sehingga mendapatkan lebih. Yah...teknik membual yang sekarang banyak di pelajari oleh orang Indonesia dan sedang marak-maraknya. Atau diantara pembaca ada yang berminat mempelajarinya?...

No comments:

Post a Comment

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO