Disebuah mobil travel rute
semarang menuju surabaya pada suatu pagi yang temaram. Cuaca di luar mobil
tampak menampakkan sinar cahaya matahari yang agak redup dikarenakan tertutup
sedikit awan hitam. Jalanan tampak lenggang karena kebetulan hari ini masih
dalam suasana libur. Setiap orang masih betah bercengkrama dengan keluarganya
di rumah memanfaatkan moment libur yang panjang. Di mana hari Jumat adalah
libur hari paskah di sambung dengan sabtu dan minggu moment libur akhir minggu.
Mobil L.300 ini mengangkut 9 orang dengan 2 orang di depan bersama sopir, 3
orang di tengah dan 3 orang di belakang.
Sang Sopir
merupakan seseorang laki laki yang cukup berumur. Aku menaksirnya berumur
sekitar 55-58 tahun. Dengan guratan-guratan tanda ketuaannya melekat pada
wajahnya. Wajah yang telah menyaksikan segala perjuangan hidup setiap anak
manusia. Wajah yang telah merasakan kerasnya dalam meniti kehidupan ini. Saking
kerasnya sehingga menempa lekuk dan guratan wajahnya berkarakter masam dan keras.
Di hiasi dengan rambut pendek yang sebagian telah berwarna putih. Rambut yang
memutih di karenakan lelahnya merasakan lamanya belaian sinar matahari
sepanjang perjalanan hidupnya.
Rambut
yang telah mengatakan kepada si orang tua, "telah kubaktikan seluruh
kekuatanku untuk melindungi kulit kepalamu haii orang tua dari kejamnya panas
sang mentari, sekarang tibalah saatnya kekuatanku berkurang dan mungkin saatnya
akan tiba nanti. Bersama dengan tubuh tua mu yang mulai telah renta untuk
bergabung bersama tanah, tempat asal kita."
Tidak ada
keraguan ataupun ketakutan pada wajah sang sopir menghadapi ketuaannya. Tidak
ada rasa menyerah, mengeluh ataupun merasakan kekuatannya yang semakin melemah.
Aku melihat adanya tekad yang bulat, sebuah semangat yang entah dari mana
munculnya meliputi sang sopir. Mungkin rasa tanggung jawab yang di pikul sang
sopir untuk mengantarkan kami dengan selamat ke alamat tujuan kami
masing-masing.
“Solar
saat ini langka sekali di semarang, kemarin pagi ketika jalan dari Surabaya
tidak ada masalah. Solar banyak di temui sepanjang jalan menuju semarang. Namun
ketika sampai di Tuban, solar kosong sama sekali, beberapa spbu memasang tanda
solar kosong. Untungnya ada satu spbu yang ada dan itu pun ngantri." Ujar
sang sopir membuka pembicaraan dengan nada yang kesal.
Kekesalan sang
sopir beralasan bermula dengan telatnya jadwal sang sopir untuk meluncur menuju
ke Surabaya karena harus mencari Solar ke SPBU sekitar Kota Semarang.
"Dari
bandung menuju semarang, tidak ada masalah pak, solar banyak di jumpai pada
spbu, sepertinya ada yang bermain untuk area semarang, " jawabku
menanggapi obrolan sang bapak.
“Biasa di Indonesia, orang kaya
lebih suka untuk memonopoli barang-barang kebutuhan rakyat. Terutama para
pejabat yang mempunyai usaha sampingan. Dengan begitu harganya bisa naik dua
kali lipat." Sambil menghembuskan nafasnya Sang sopir pun melanjutkan
ucapannya.
Ya, begitulah...rakyat kecil yang di
bikin sengsara. Dengan naiknya harga solar berarti naik juga biaya transportasi
dan harga kebutuhan pokok."
Aku pun tersenyum menanggapi jawaban
sang sopir. Ku condongkan badanku ke depan untuk mengatur posisi ac agar tidak
langsung menerpa badanku. Di sebelah kiriku duduk seorang perempuan muda.
Sedari tadi hanya menguping pembicaraan kami dan sibuk menekan tuts-tuts
hapenya.
"Saya mempunyai anak, sekarang
dia di makasar bertugas jadi reserse di Kepolisian," sambung sang bapak
dengan nada bangga.
"Cuma dia laki-laki anakku., 2
orang adiknya perempuan semua. Sekarang semuanya sudah menikah. Satu di padang
Sumatera Barat dan satu lagi di semarang." Ujarnya sambil mengambil
kacamata hitam yang ada disaku bajunya, lalu berusaha membersihkan kacanya
dengan menggunakan sebuah lap yang berada di dashboard mobil.
"Sudah lama saya tidak bertemu dengan anakku yang laki laki. Teramat sibuk katanya. Kebetulan anakku itu baru tamat sekolah pendidikan perwira di Jakarta," tambah sang bapak sambil tersenyum kecut terhias di mulutnya
"Wah, hebat pak. Anaknya sudah perwira. Tapi ngomong-ngomong bapak umurnya sudah berapa? Sepertinya sudah tua tapi matanya masih sehat pak? Tidak rabun? Ujarku dengan memberikan rentetan pertanyaan yang sedari tadi menjadi misteri besar di benakku. Mataku juga tidak lepas memperhatikan sang sopir. Sehingga tidak heran rasa penasaran ku akhirnya menjadi kalimat pertanyaan yang merentet ke sang sopir.
Dengan datar dan tanpa tersenyum seperti biasanya sang sopir menjawab, "58 tahun mas, akh...biasa aja kok. Masih banyak teman-teman saya yang seumur masih sehat matanya." Jawab sang sopir tanpa makna dan menggantung. Sambil mengklakson pengendara motor yang menghalangi jalannya kendaraan kami.
"Saya saja yang muda ini sudah minus pak, makanya saya heran melihat bapak masih sehat bugar," uraiku menjelaskan keadaanku.
"Tapi malas untuk memakai kacamata, banyak orang yang pakai kacamata tapi tidak berkurang minusnya malah nambah...yah artinya tidak jadi sehat dong..." Sambungku menambahkan penjelasanku sebelumnya.
Sang perempuan di samping kiriku
menanggapi dengan tertawa lirih, sebagai cara untuk berusaha masuk ke dalam pembicaraan kami
berdua.
"Pola makan mas nya yang harus
berubah, harus banyak makan sayur dan kurangi makan ikan (di jawa ikan itu
bukan berarti arti ikan yang sesungguhnya. Namun ikan di sini berarti makan
dengan lauk pauknya yang berupa daging sebagai teman makan)." Jawab sang
sopir tanpa mengalihkan perhatian dari jalan di depannya.
Sebenarnya aku sudah bisa menebak jawaban dari sang sopir. Pertanyaan tentang mata itupun hanya sekedar pancingan untuk lebih memperpanjang pembicaraan agar tidak merasa jenuh di mobil. Namun setelah itu aku tidak punya bahan lagi untuk melanjutkan pembicaraan. Sejenak kami pun saling berdiam diri. Akhirnya sang sopir lagi yang membuka pembicaraan kembali dengan topik yang berbeda.
"Sebenarnya dalam hidup ini
yang penting adalah iman, Tanpa iman kita tidak akan bakalan tenang dalam
mengarungi hidup ini. Saya kalau mau bisa kaya mas.” Seru sang sopir memecah keheningan sambil
menggoyang goyangkan badannya untuk memperbaiki posisi duduk, lalu melanjutkan
perkataannya.
"Dulu sewaktu masih jadi sopir
taxi, uang satu tas ketinggalan di bagasi mobil saya kembalikan. Bahkan
handphone juga pernah ketinggalan di mobil, saya selalu kembalikan ke
pemiliknya. Jelas sang sopir lalu melanjutkan dengan topik yang berbeda kembali
namun dengan tujuan yang sama.
“Tidak pernah saya mengajak tamu
saya untuk menawari ketempat-tempat maksiat....memang sih argonya terus
berjalan dan belum tips yang di berikan tamu kepada saya. Tapi yah gak
bermanfaat juga buat saya, malah saya juga ikut dosa. Paling saya ingatkan,
pak...ingat istri dan anak di rumah," itu terus yang saya ingatkan kepada
para tamu." Jelas sang sopir sambil sambil memasangkan kacamata hitamnya.
Kebetulan cuaca di luar berubah
menjadi terang dan panas mencekat. Sinar sang mentari tampak tembus menerangi
bagian dashboard depan mobil.
Saat ini kami memasuki daerah pantai utara Jawa tengah. Cuaca panas menyengat sebagai ciri khas daerah ini bercampur dengan angin laut yang berhembus menghempas badan mobil yang berani menentang alur angin. Bunyi gemerisik kisi-kisi pintu yang terpentang menantang angin yang datang dari depan di belah oleh kecepatan mobil yang melaju kencang. Terkadang bau garam laut dan bau amis ikan tembus tercium sampai kedalam mobil.
Saat ini kami memasuki daerah pantai utara Jawa tengah. Cuaca panas menyengat sebagai ciri khas daerah ini bercampur dengan angin laut yang berhembus menghempas badan mobil yang berani menentang alur angin. Bunyi gemerisik kisi-kisi pintu yang terpentang menantang angin yang datang dari depan di belah oleh kecepatan mobil yang melaju kencang. Terkadang bau garam laut dan bau amis ikan tembus tercium sampai kedalam mobil.
Aku pun mengalihkan pandanganku menerawang keluar mobil. Memperhatikan pinggiran laut jawa dengan ombak yang masih tenang. Ada rasa iri ketika melihat anak-anak pantai bermain di sepanjang pantai. Ataupun menyaksikan penduduk sekitar yang sedang duduk menikmati keindahan laut dengan menampilkan aksi camar laut yang sedang mencari mangsa ataupun air laut yang tenang bergelombang kecil mempermainkan kapal-kapal nelayan yang sedang sandar beristirahat untuk kemudian nanti sore kembali untuk melaut lagi.
Iri menyaksikan itu semua karena aku
tidak pernah punya kesempatan lagi untuk menikmati indahnya laut. Terakhir
ketika aku di SMA menikmati indahnya laut pantai selaki dan pantai pasir putih
di Lampung.
"Kenangan lama, memang sulit
sekali hilang. Ingin kembali terulang tapi waktunya tidak pernah hadir.
Entahlah...mungkin suatu saat nanti," pikirku pun mengembara ke beberapa
tahun yang lalu ketika bermain di pantai bersama teman-teman SMA ku. Lamunanku
pun buyar, karena tidak lama kemudian sang sopir pun melanjutkan obrolannya.
"Karena iman itulah mas, saya
masih bisa bertahan sampai sekarang. Bisa menyekolahkan anak-anak sampai
perguruan tinggi. Masih bisa di percaya untuk menjadi sopir travel. Saya pernah
istirahat atau menganggur. Dilarang berkerja oleh anak-anakku selama 8 bulan.
Tapi tidak betah di rumah. Hanya makan dan tidur serta mengasuh cucu. Akhirnya
ya begini, saya kembali berkerja jadi sopir."
Ada raut tersenyum terlihat datar
dari muka masamnya sang sopir. Terlihat ikhlas dan tenang mengayun melebarkan
mulut melepas suatu sunggingan senyum. Seperti lepas dari belenggu yang selama
ini terkekang oleh rasa tanggung jawab yang berlebihan.
"Dari dulu juga saya tidak
pernah menuntut suatu hal yang tidak bisa saya dapatkan mas, apa adanya saja...,
ikhlas dalam menghadapi hidup ini. Tidak pernah neko-neko. Anak-anak minta ini
dan itu. Saya usahakan dengan tenang dan tidak tergopoh-gopoh. Alhamdulillah
selalu ada. Yah itu tadi, kalau kita ikhlas menjalaninya, InsyaAllah pasti ada
jalan." Lanjut sang sopir menjelaskan dengan nada menyakinkan.
Aku pun kembali memperhatikan nada
bicara dan mimik muka sang sopir. Ada rasa tidak percaya yang timbul di hatiku
yang berusaha muncul. Ikhlas itu selalu datangnya dari hati dan terbesit dari
mimik muka dan murah senyumnya seseorang, itu yang biasanya aku temui dalam
setiap pergaulanku selama ini. Namun hal ini lain dari gerak gerik sang sopir.
Mungkin di akhir perjalanan aku bisa menyimpulkan sinkromisasi antara ucapan
dan tindakan. Bukannya jaman sekarang setiap orang sudah pintar berbicara?
Terbukti dengan banyaknya pejabat-pejabat, para wakil rakyat yang obral janji
bahkan over acting. Karena pada awal kampanye nya pun hanya menjual janji dan
bukan bukti...hal tersebut pada akhirnya di ikuti oleh rakyat. Sekarang siapa
saja bisa membual, wong pemimpinnya aja raja membual...
Mungkin sebagian cerita sang sopir
ada benarnya juga. Tidak bermasalah jika hanya mencari obrolan pembuka supaya
tidak merasa bosan. Namun saat ini aku tidak sedang serius membahas mengenai
masalah iman dan ikhlas. Karena menurutku itu urusan masing-masing pribadi.
Kalaupun untuk urusan iman dan ikhlas, cukup membahas dengan orang yang
berkompetent yaitu para ustad.
Aku pun mengalihkan pembicaraan
bersama sang perempuan di samping kiriku. Ia ternyata seorang bidan yang baru
dua tahun lulus dari sekolah kebidanan. Sudah dua tahun juga ia berkerja di rumah
sakit kecil di Semarang. Kebetulan ia mendapat peluang untuk menjadi bidan di
Rumah sakit besar Surabaya. Peluang tersebut tidak disia siakannya, ia pun
langsung berangkat menuju Surabaya. Disinilah ia bersamaku berangkat ke
Surabaya. Proyeksi-proyeksi rencana kerja kedepannya sangat terencana rapi di
pemikirannya. Sangat aku kagumi, selama ini ia sudah 85% sesuai dengan
planningnya. Tinggal 15 % lagi ia harus menyelesaikan masa kerja 2 tahunnya
agar mendapat ijin praktek, lalu melamar menjadi pegawai negeri.
Banyak yang ku tanyakan seputar
kebidanan, sekolahnya, bahkan pengalamannya. Sangat mengasyikkan dan
menimbulkan minat keingin tahuanku seputar kebidanan selama perjalanan
tersebut. Namun tidak kutanyakan nama dan no telpnya. Karena bagiku sesuatu hal
yang klasik jika kutanyakan hal tersebut. Toh tidak ada manfaatnya juga bagiku,
ia hanya sebagai teman seperjalanan.
6 jam perjalanan, pada akhirnya tiba
di Surabaya. Benar dugaanku, sepanjang mengantar para penumpang, sang sopir
selalu mengeluh, bertanya kasar kepada penumpang yang kebingungan. Kebanyakan
mereka tidak tau jalan, ataupun baru pertama kali datang ke Surabaya, sehingga
memakai travel merupakan cara supaya diantarkan tepat pada alamat yang di tuju.
Terkadang jika sudah sampai tujuan, sang sopir meminta kembali tambahan sebagai
jasa ongkos mencari jalan. Hilang sudah teori iman dan ikhlasnya tadi yang di
bicarakan selama perjalanan.
Aku pun tertawa geli melihat
kelakuan sang sopir. Memakluminya, terkadang manusia ini sombong berpura-pura
tidak butuh padahal butuh. Atau terkadang manusia ini suka membual untuk supaya
di kasihani oleh orang lain sehingga mendapatkan lebih. Yah...teknik membual
yang sekarang banyak di pelajari oleh orang Indonesia dan sedang
marak-maraknya. Atau diantara pembaca ada yang berminat mempelajarinya?...
No comments:
Post a Comment