Sunday, February 12, 2017

DI SUATU SIANG

Siang itu di sebuah pinggiran kota besar, tampak sepasang suami istri sedang berteduh di bawah pohon besar rindang yang letaknya tidak jauh dari pertigaan jalan yang terbilang masih baru. Sebuah jalan yang baru selesai di hubungkan untuk mencegah kemacetan lalu lintas di jalur yang padat lalu lintas. Seperti jamur di musim hujan, di sekitar jalan baru tersebut tampat semrawut beberapa pembangunan-pembangunan ruko, hotel ataupun gedung-gedung perkantoran baru. Sangat kontras dengan berbagai sisa-sisa semen, pasir ataupun batu batu kecil yang masih berserakan di sepanjang jalan. Pedestrian baru pun sedang di persiapkan untuk menghias sisi-sisi jalan di sepanjang jalan tersebut. Masih tampak asal dan tidak teratur, entahlah..apakah memang tidak ada perencanaannya sama sekali atau memang menunggu instruksi yang masih mengambang. Seperti biasanya di Negara ini tampak tidak pernah ada komunikasi dengan departemen lain. Sebagai contoh tidak lama jalan di bangun dan tampak rapi pasti tidak lama akan ada galian lagi untuk departemen telekomunikasi menanam kabel-kabel telepon, ataupun nanti departemen air minum menanam pipa-pipa air. Hasil galian tersebut akan terus menambah indah suasana di sekitar jalan. Bahkan membuat sebuah kubangan di musim hujan atau pun menambah assesoris gundukan baru yang memang tidak membahayakan namun kata beberapa orang malah menambah daya estetikal seni jalan di Negara ini.
Dengan memanfaatkan gundukan batu-batu kali yang tidak terpakai bekas pembuatan jalan, sepasang suami istri itu pun duduk sambil menikmati angin sepoi sepoi yang bertiup di sekitar pohon tersebut. Dengan penuh perhatian pandangan mereka tidak lepas memperhatikan beberapa anak-anak yang sedang bermain disekitar pertigaan tersebut. Anak-anak tersebut bermain di antara kendaraan-kendaraan yang berhenti karena pengaturan lampu lalu lintas. Setiap lampu merah menyala mereka pun beraksi dan mencoba untuk menarik perhatian para penumpang atau pengendara tersebut. Ada yang mencoba menari, bernyanyi dengan bertepuk tangan atau pun membawa kerencengan yang terbuat dari tutup botol yang di pipihkan lalu di gabung jadi satu dengan menggunakan paku dan kayu sebagai alat pegangan.
Lampu hijau pun menyala, mereka pun menepi di pinggir jalan lalu secara bergilir berjalan menuju sepasang suami istri yang duduk di bawah pohon dan memberikan beberapa uang yang mereka dapatkan dari para dermawan jalan. Beberapa keping uang logam atau beberapa lembar uang kertas mereka dapatkan dari para dermawan-dermawan jalan tersebut yang dengan berbaik hati memberikan uang lebih yang ada di kantong mereka. Hasil yang sangat lumayan di bandingkan mereka bermain di tanah lapang ataupun bermain digang gang sempit dekat dengan rumah mereka.
Beberapa tatapan sinis orang-orang yang dari tadi berdiri di sekitar sepasang suami istri tersebut. Mereka menatap lekat sepasang suami istri tersebut yang sedang memberikan beberapa pengarahan kepada anak-anak tersebut.
 “aneh, kok orang tua setega itu menyuruh anaknya mengemis,” sungut seorang perempuan kepada temannya sambil menatap heran kerumunan keluarga tersebut.
“belum tentu itu anaknya min, siapa tau itu koordinator pengemis yang mengambil anak-anak jalan lalu di perkerjakan menjadi pengemis. Usaha tersebut lagi marak-maraknya di kota ini,” seru perempuan yang memakai hijab menjelaskan sambil berbisik lirih.
“ho-oh...bisa jadi nur,” seru perempuan satunya yang di panggil min mengiyakan sambil mengangguk angguk menatap tidak lepas dari keluarga tersebut.
Beberapa bapak-bapak hanya mengeleng-gelengkan kepala lalu mengalihkan perhatiannya kearah jalan menuju bus kota yang selalu lalu lalang di jalan tersebut. Aku pun mencoba mencermati dengan sudut pandangku sendiri, mencoba untuk memposisikan diriku sebagai seorang laki-laki yang entah ayahnya atau koordinator yang beberapa orang sangka. Namun pada akhirnya yang ada hatiku terenyuh membayangkan diriku membiiarkan anak sendiri untuk mengemis. Ataupun aku seorang koordinator yang mengambil keuntungan dari anak anak jalan di bawah perlindunganku untuk mengemis.
“ hati nurani yang bicara.” Seruku dalam hati. Namun jika berbicara mengenai hati nurani apakah masih ada orang jaman sekarang yang membiarkan hati nuraninya berbicara. Bukannya urusan perut yang di kedepankan, apapun caranya jika demi perut mereka rela melakukan apa saja.
Di jaman yang katanya semuanya serba mahal, dollar yang merangkak naik, di tambah dengan tuntutan buruh akan kenaikan gaji membuat kondisi beberapa pengusaha di Negara ini untuk berpikir dua kali menginvestasikan dananya. Efek domino berupa pengangguran karena beberapa pengusaha memutuskan untuk menutup perusahaannya ataupun pindah ke Negara yang menyediakan perkerja dengan gaji murah. Bahkan beberapa pengusaha lebih memilih menginvestasikan dananya ke mesin atau teknologi tinggi di bandingkan tenaga kerja manusia, sehingga booming pengangguran pun akan terjadi.
Namun tampaknya pengusaha harus mempertimbangkan baik-baik. Negara ini dikenal dengan costumer yang sangat potensial dengan tingkat konsumsi yang sangat tinggi. Oleh karena itu mereka masih ketergantungan dengan pasar Negara ini. mudah-mudahan pemerintah mempunyai rumus yang jitu untuk mempertahankan kondisi investasi Negara ini, sehingga para perkerja yang tidak mempunyai keahlian lebih masih bisa merasakan naiknya gaji UMK mereka. Namun apabila terjadi, akan kemana larinya para perkerja yang tidak mempunyai keahlian ini.
“akan kah mereka akan seperti ini? seruku dalam hati sambil menatap sepasang suami istri tersebut yang sekarang masih menatap kerumunan anak-anak mereka bermain dengan lincah di antara kendaraan-kendaraan yang berhenti di lampu merah.
Tidak ada warna gembira yang di tampilkan oleh sepasang suami istri tersebut, tidak ada obrolan yang berarti di sela-sela waktu yang sudah mereka korbankan untuk hidup. warna mereka tampak kelam dengan tampilan yang sederhana. Guratan-guratan wajah lelah tertampak pada sang ayah yang tampak jelas diantara sorot tajamnya. Sementara sang perempuan dengan wajah sedikit muram mencoba untuk mengusir peluh yang menetes di dahinya. Walaupun suasana tampak teduh di bawah pepohonan namun sorot matahari masih membiaskan suasana panas di siang hari ini. dengan tertutup tudung kepala serta rambut yang tergurai acak, sang perempuan berusaha untuk merapikan rambutnya dengan maksud berusaha untuk menghilangkan rasa gerah yang hinggap dengan cara mengikat rambut dan mengibas ngibaskan rambutnya. Tidak ada yang menarik dari penampilan kedua orang tersebut dengan berpakaian yang cukup sederhana tanpa perhiasan apapun. Entahlah, apakah memang pakaian dinas mereka seperti itu ataupun memang kamuflase yang sengaja di tampilkan oleh mereka. sebagai daya tarik untuk menarik simpati rasa kasihan orang-orang yang melihat mereka.
Aku pun mencoba untuk mengalihkan perhatian dan pikiran ku dari mereka berdua. Kualihkan pandangan kearah bus yang akan datang, berharap bahwa bus jurusan yang tengah aku nanti datang menghampiriku. Namun ternyata yang tiba bukan bus dengan jurusan yang tengah ku nanti, aku pun kembali mengalihkan pandanganku kearah lain. Namun belum selesai aku mengalihkan perhatian ku, tampak lewat didepanku dua orang dengan tubuh badan kekar dan memakai t-shirt ketat. Tampak beberapa tattoo yang tertutup t-shirt ketat menghias di badan dan lengan kedua orang tersebut. Mereka mendekati kedua pasang suami istri tersebut dengan sikap kasar, salah satu pemuda mencolek sang suami. Tidak beberapa lama mereka terlibat pembicaraan yang serius yang pada akhirnya sang suami tampak dengan tergesa-gesa mengambil beberapa uang puluhan ribu dari kantongnya dan menyerahkan kepada kedua orang tersebut. Kedua pemuda tersebut tersenyum dan menepuk nepuk pundak sang suami lalu berpamitan kepada pasangan tersebut. Sang istri sedari awal kehadiran kedua pemuda tersebut tampak tidak mengacuhkan apa yang terjadi. Sampai dengan menghilangnya kedua pemuda tersebut pun tidak tampak sang istri terpengaruh akan kejadian barusan. Mereka kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing sambil memperhatikan anak anak yang berada di tengah jalan.
“tiap hari kedua preman tersebut mengambil setoran kepada setiap pngemis yang beroperasi di daerah sini,” seru seorang laki-laki yang berdiri di samping ku. Aku pun menoleh mencari tau siapa yang berkata barusan. Tampak bapak penjaja warung kecil yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku preman tersebut.
“Tiap hari ya bang, memang masih ada  bosnya lagi ya bang yang harus di kasih jatah,” tanyaku penasaran.
” Iyalah dek, keluarga tersebut khan memang punya bos masing-masing yang beroperasi di wilayah yang berbeda. Tergantung siapa yang pegang,” jawab sang bapak, sambil menyulut sebatang rokok kretek.
“Sangat kompleks,” pikirku termenung. Tapi banyak orang yang menggantungkan hidup dengan cara begini. Walaupun keras tetapi mereka tetap kukuh untuk bertahan berkerja seperti ini.
“Besar dek pendapatan mereka. satu bulan mereka bisa minimal dapat 3 juta dan maksimal dapat 6 juta bersih,” sambung tukang rokok sambil menghempuskan asap rokok yang tampak mengepul mengudara, mengisi ruang-ruang hampa yang ada di hadapanku.
”Bersih bang, sudah dengan pungutan liar seperti tadi,” seruku tidak percaya. Sang bapak pun hanya mengangguk kan kepala, sambil matanya menatap kosong kepada pasangan istri tersebut.
“Saya adalah bapak mertua sang laki laki dek,” seru si bapak menghela napas. ”di kota mereka sengsara dan di hina namun di kampung mereka kaya,” sambung sang bapak tersenyum penuh makna. Senyum yang terus ku ingat sampai aku menulis cerita pendek ini. tidak pernah ku mengerti makna senyum tersebut. Hanya menerka-nerka, Entahlah…apakah senyum kepuasan, senyum kemenangan atau senyum kegetiran.
Pantas saja pemerintah tidak bisa berbuat apapun. Tawaran menjadi petugas kebersihan kota dengan gaji UMR pun di tawarkan, namun tidak ada satupun pramuwisma yang berminat. Pendapatan mereka lebih besar sebagai pramuwisma dari pada sebagai petugas kebersihan. Walaupun perkerjaan hina namun hasilnya sangat luar biasa. Ternyata Negara ini masih penuh dengan orang-orang yang berhati mulia serta dermawan, itu di manfaatkan oleh sebagian besar pramuwisma menangguk keuntungan yang instan. Ataukah memang tidak ada lagi perkerjaan yang layak untuk kaya di Negara ini sehingga sebagian orang berpikiran menjadi pramuwisma adalah langkah jitu untuk menjadi kaya secara instan.
Pikiran ku pun menjadi buyar sejurus dengan datangnya bus tujuan yang akan ku tempuh. Aku pun bergegas berlari dan melompat memasuki bus yang belum berhenti sempurna. Beberapa orang mengikut langkahku di belakang, Segera aku bergegas melangkah dengan pandangan liar mencari kursi yang kosong berlomba dengan penumpang lain. Syukurlah salah satu tempat di dekat kaca jendela kosong dengan segera aku duduk menghempaskan kepenatanku yang sedari tadi menghinggapiku karena terlalu lama berdiri menunggu bus.
Pandangku pun tertumbuk pada sekumpulan anak-anak pengemis yang tadi aku perhatikan. Mereka berlomba dengan panasnya sinar matahari mencoba untuk meluluh lantakkan perasaan budiman sang dermawan yang ada di balik kemudi, di atas motor ataupun di dalam angkutan kota. Di lain sisi aku masih merasa beruntung di lahirkan dengan kondisi yang terhormat dengan orang tua yang terhormat tanpa harus mencari rejeki dari hasil belas kasihan orang. Namun aku tidak bisa menyalahkan anak-anak tersebut yang kini berada di jalanan. Secara naluriah aku yakin mereka tidak ingin begitu namun kondisi dan tekanan dari orang tua mereka yang harus membuat mereka melakukannya.

Apakah memang peran orang tua yang mencetak mereka pada nantinya akan menjadi pengemis?. Mudah-mudahan anak sekecil itu menyadari kealfaan orang tuanya dan bisa menjalani hidup dengan penuh harga diri nantinya. Jika tidak, mungkin seluruh anak negeri ini akan mencari hidup dari belas kasihan orang lain. Lama-lama penduduk pribumi akan menjadi budak di negeri sendiri dimana para orang-orang terhormatnya adalah orang-orang asing dari negeri lain yang tidak secara langsung menjajah negera ini. silahkan renungkan dengan kondisi yang sekarang ini, sudahkah kita sadar wahai penduduk negeri yang indah nan subur ini….akan kemanakah kita melangkah?  


No comments:

Post a Comment

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO