Siang itu di sebuah pinggiran kota
besar, tampak sepasang suami istri sedang berteduh di bawah pohon besar rindang
yang letaknya tidak jauh dari pertigaan jalan yang terbilang masih baru. Sebuah
jalan yang baru selesai di hubungkan untuk mencegah kemacetan lalu lintas di
jalur yang padat lalu lintas. Seperti jamur di musim hujan, di sekitar jalan
baru tersebut tampat semrawut beberapa pembangunan-pembangunan ruko, hotel
ataupun gedung-gedung perkantoran baru. Sangat kontras dengan berbagai
sisa-sisa semen, pasir ataupun batu batu kecil yang masih berserakan di
sepanjang jalan. Pedestrian baru pun sedang di persiapkan untuk menghias
sisi-sisi jalan di sepanjang jalan tersebut. Masih tampak asal dan tidak
teratur, entahlah..apakah memang tidak ada perencanaannya sama sekali atau
memang menunggu instruksi yang masih mengambang. Seperti biasanya di Negara ini
tampak tidak pernah ada komunikasi dengan departemen lain. Sebagai contoh tidak
lama jalan di bangun dan tampak rapi pasti tidak lama akan ada galian lagi
untuk departemen telekomunikasi menanam kabel-kabel telepon, ataupun nanti
departemen air minum menanam pipa-pipa air. Hasil galian tersebut akan terus
menambah indah suasana di sekitar jalan. Bahkan membuat sebuah kubangan di musim
hujan atau pun menambah assesoris gundukan baru yang memang tidak membahayakan
namun kata beberapa orang malah menambah daya estetikal seni jalan di Negara
ini.
Dengan memanfaatkan gundukan
batu-batu kali yang tidak terpakai bekas pembuatan jalan, sepasang suami istri
itu pun duduk sambil menikmati angin sepoi sepoi yang bertiup di sekitar pohon
tersebut. Dengan penuh perhatian pandangan mereka tidak lepas memperhatikan
beberapa anak-anak yang sedang bermain disekitar pertigaan tersebut. Anak-anak
tersebut bermain di antara kendaraan-kendaraan yang berhenti karena pengaturan
lampu lalu lintas. Setiap lampu merah menyala mereka pun beraksi dan mencoba
untuk menarik perhatian para penumpang atau pengendara tersebut. Ada yang
mencoba menari, bernyanyi dengan bertepuk tangan atau pun membawa kerencengan
yang terbuat dari tutup botol yang di pipihkan lalu di gabung jadi satu dengan
menggunakan paku dan kayu sebagai alat pegangan.
Lampu hijau pun menyala, mereka
pun menepi di pinggir jalan lalu secara bergilir berjalan menuju sepasang suami
istri yang duduk di bawah pohon dan memberikan beberapa uang yang mereka
dapatkan dari para dermawan jalan. Beberapa keping uang logam atau beberapa
lembar uang kertas mereka dapatkan dari para dermawan-dermawan jalan tersebut yang
dengan berbaik hati memberikan uang lebih yang ada di kantong mereka. Hasil
yang sangat lumayan di bandingkan mereka bermain di tanah lapang ataupun
bermain digang gang sempit dekat dengan rumah mereka.
Beberapa tatapan sinis orang-orang
yang dari tadi berdiri di sekitar sepasang suami istri tersebut. Mereka menatap
lekat sepasang suami istri tersebut yang sedang memberikan beberapa pengarahan
kepada anak-anak tersebut.
“aneh, kok orang tua setega itu menyuruh
anaknya mengemis,” sungut seorang perempuan kepada temannya sambil menatap
heran kerumunan keluarga tersebut.
“belum tentu itu anaknya min,
siapa tau itu koordinator pengemis yang mengambil anak-anak jalan lalu di
perkerjakan menjadi pengemis. Usaha tersebut lagi marak-maraknya di kota ini,”
seru perempuan yang memakai hijab menjelaskan sambil berbisik lirih.
“ho-oh...bisa jadi nur,” seru
perempuan satunya yang di panggil min mengiyakan sambil mengangguk angguk
menatap tidak lepas dari keluarga tersebut.
Beberapa bapak-bapak hanya
mengeleng-gelengkan kepala lalu mengalihkan perhatiannya kearah jalan menuju
bus kota yang selalu lalu lalang di jalan tersebut. Aku pun mencoba mencermati
dengan sudut pandangku sendiri, mencoba untuk memposisikan diriku sebagai
seorang laki-laki yang entah ayahnya atau koordinator yang beberapa orang
sangka. Namun pada akhirnya yang ada hatiku terenyuh membayangkan diriku
membiiarkan anak sendiri untuk mengemis. Ataupun aku seorang koordinator yang
mengambil keuntungan dari anak anak jalan di bawah perlindunganku untuk
mengemis.
“ hati nurani yang bicara.” Seruku
dalam hati. Namun jika berbicara mengenai hati nurani apakah masih ada orang
jaman sekarang yang membiarkan hati nuraninya berbicara. Bukannya urusan perut
yang di kedepankan, apapun caranya jika demi perut mereka rela melakukan apa
saja.
Di jaman yang katanya semuanya
serba mahal, dollar yang merangkak naik, di tambah dengan tuntutan buruh akan
kenaikan gaji membuat kondisi beberapa pengusaha di Negara ini untuk berpikir
dua kali menginvestasikan dananya. Efek domino berupa pengangguran karena
beberapa pengusaha memutuskan untuk menutup perusahaannya ataupun pindah ke
Negara yang menyediakan perkerja dengan gaji murah. Bahkan beberapa pengusaha
lebih memilih menginvestasikan dananya ke mesin atau teknologi tinggi di
bandingkan tenaga kerja manusia, sehingga booming pengangguran pun akan
terjadi.
Namun tampaknya pengusaha harus
mempertimbangkan baik-baik. Negara ini dikenal dengan costumer yang sangat
potensial dengan tingkat konsumsi yang sangat tinggi. Oleh karena itu mereka
masih ketergantungan dengan pasar Negara ini. mudah-mudahan pemerintah
mempunyai rumus yang jitu untuk mempertahankan kondisi investasi Negara ini,
sehingga para perkerja yang tidak mempunyai keahlian lebih masih bisa merasakan
naiknya gaji UMK mereka. Namun apabila terjadi, akan kemana larinya para
perkerja yang tidak mempunyai keahlian ini.
“akan kah mereka akan seperti ini?
seruku dalam hati sambil menatap sepasang suami istri tersebut yang sekarang
masih menatap kerumunan anak-anak mereka bermain dengan lincah di antara
kendaraan-kendaraan yang berhenti di lampu merah.
Tidak ada warna gembira yang di
tampilkan oleh sepasang suami istri tersebut, tidak ada obrolan yang berarti di
sela-sela waktu yang sudah mereka korbankan untuk hidup. warna mereka tampak
kelam dengan tampilan yang sederhana. Guratan-guratan wajah lelah tertampak
pada sang ayah yang tampak jelas diantara sorot tajamnya. Sementara sang
perempuan dengan wajah sedikit muram mencoba untuk mengusir peluh yang menetes
di dahinya. Walaupun suasana tampak teduh di bawah pepohonan namun sorot
matahari masih membiaskan suasana panas di siang hari ini. dengan tertutup
tudung kepala serta rambut yang tergurai acak, sang perempuan berusaha untuk
merapikan rambutnya dengan maksud berusaha untuk menghilangkan rasa gerah yang
hinggap dengan cara mengikat rambut dan mengibas ngibaskan rambutnya. Tidak ada
yang menarik dari penampilan kedua orang tersebut dengan berpakaian yang cukup
sederhana tanpa perhiasan apapun. Entahlah, apakah memang pakaian dinas mereka
seperti itu ataupun memang kamuflase yang sengaja di tampilkan oleh mereka.
sebagai daya tarik untuk menarik simpati rasa kasihan orang-orang yang melihat
mereka.
Aku pun mencoba untuk mengalihkan
perhatian dan pikiran ku dari mereka berdua. Kualihkan pandangan kearah bus
yang akan datang, berharap bahwa bus jurusan yang tengah aku nanti datang
menghampiriku. Namun ternyata yang tiba bukan bus dengan jurusan yang tengah ku
nanti, aku pun kembali mengalihkan pandanganku kearah lain. Namun belum selesai
aku mengalihkan perhatian ku, tampak lewat didepanku dua orang dengan tubuh
badan kekar dan memakai t-shirt ketat. Tampak beberapa tattoo yang tertutup
t-shirt ketat menghias di badan dan lengan kedua orang tersebut. Mereka
mendekati kedua pasang suami istri tersebut dengan sikap kasar, salah satu
pemuda mencolek sang suami. Tidak beberapa lama mereka terlibat pembicaraan
yang serius yang pada akhirnya sang suami tampak dengan tergesa-gesa mengambil
beberapa uang puluhan ribu dari kantongnya dan menyerahkan kepada kedua orang
tersebut. Kedua pemuda tersebut tersenyum dan menepuk nepuk pundak sang suami
lalu berpamitan kepada pasangan tersebut. Sang istri sedari awal kehadiran
kedua pemuda tersebut tampak tidak mengacuhkan apa yang terjadi. Sampai dengan
menghilangnya kedua pemuda tersebut pun tidak tampak sang istri terpengaruh
akan kejadian barusan. Mereka kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing
sambil memperhatikan anak anak yang berada di tengah jalan.
“tiap hari kedua preman tersebut
mengambil setoran kepada setiap pngemis yang beroperasi di daerah sini,” seru
seorang laki-laki yang berdiri di samping ku. Aku pun menoleh mencari tau siapa
yang berkata barusan. Tampak bapak penjaja warung kecil yang sedari tadi
memperhatikan tingkah laku preman tersebut.
“Tiap hari ya bang, memang masih
ada bosnya lagi ya bang yang harus di kasih jatah,” tanyaku penasaran.
” Iyalah dek, keluarga tersebut
khan memang punya bos masing-masing yang beroperasi di wilayah yang berbeda.
Tergantung siapa yang pegang,” jawab sang bapak, sambil menyulut sebatang rokok
kretek.
“Sangat kompleks,” pikirku
termenung. Tapi banyak orang yang menggantungkan hidup dengan cara begini.
Walaupun keras tetapi mereka tetap kukuh untuk bertahan berkerja seperti ini.
“Besar dek pendapatan mereka. satu
bulan mereka bisa minimal dapat 3 juta dan maksimal dapat 6 juta bersih,”
sambung tukang rokok sambil menghempuskan asap rokok yang tampak mengepul
mengudara, mengisi ruang-ruang hampa yang ada di hadapanku.
”Bersih bang, sudah dengan
pungutan liar seperti tadi,” seruku tidak percaya. Sang bapak pun hanya
mengangguk kan kepala, sambil matanya menatap kosong kepada pasangan istri
tersebut.
“Saya adalah bapak mertua sang
laki laki dek,” seru si bapak menghela napas. ”di kota mereka sengsara dan di
hina namun di kampung mereka kaya,” sambung sang bapak tersenyum penuh makna.
Senyum yang terus ku ingat sampai aku menulis cerita pendek ini. tidak pernah
ku mengerti makna senyum tersebut. Hanya menerka-nerka, Entahlah…apakah senyum
kepuasan, senyum kemenangan atau senyum kegetiran.
Pantas saja pemerintah tidak bisa
berbuat apapun. Tawaran menjadi petugas kebersihan kota dengan gaji UMR pun di
tawarkan, namun tidak ada satupun pramuwisma yang berminat. Pendapatan mereka
lebih besar sebagai pramuwisma dari pada sebagai petugas kebersihan. Walaupun
perkerjaan hina namun hasilnya sangat luar biasa. Ternyata Negara ini masih
penuh dengan orang-orang yang berhati mulia serta dermawan, itu di manfaatkan
oleh sebagian besar pramuwisma menangguk keuntungan yang instan. Ataukah memang
tidak ada lagi perkerjaan yang layak untuk kaya di Negara ini sehingga sebagian
orang berpikiran menjadi pramuwisma adalah langkah jitu untuk menjadi kaya
secara instan.
Pikiran ku pun menjadi buyar
sejurus dengan datangnya bus tujuan yang akan ku tempuh. Aku pun bergegas
berlari dan melompat memasuki bus yang belum berhenti sempurna. Beberapa orang
mengikut langkahku di belakang, Segera aku bergegas melangkah dengan pandangan
liar mencari kursi yang kosong berlomba dengan penumpang lain. Syukurlah salah
satu tempat di dekat kaca jendela kosong dengan segera aku duduk menghempaskan
kepenatanku yang sedari tadi menghinggapiku karena terlalu lama berdiri
menunggu bus.
Pandangku
pun tertumbuk pada sekumpulan anak-anak pengemis yang tadi aku perhatikan.
Mereka berlomba dengan panasnya sinar matahari mencoba untuk meluluh lantakkan
perasaan budiman sang dermawan yang ada di balik kemudi, di atas motor ataupun
di dalam angkutan kota. Di lain sisi aku masih merasa beruntung di lahirkan
dengan kondisi yang terhormat dengan orang tua yang terhormat tanpa harus
mencari rejeki dari hasil belas kasihan orang. Namun aku tidak bisa menyalahkan
anak-anak tersebut yang kini berada di jalanan. Secara naluriah aku yakin
mereka tidak ingin begitu namun kondisi dan tekanan dari orang tua mereka yang
harus membuat mereka melakukannya.
Apakah
memang peran orang tua yang mencetak mereka pada nantinya akan menjadi
pengemis?. Mudah-mudahan anak sekecil itu menyadari kealfaan orang tuanya dan
bisa menjalani hidup dengan penuh harga diri nantinya. Jika tidak, mungkin
seluruh anak negeri ini akan mencari hidup dari belas kasihan orang lain.
Lama-lama penduduk pribumi akan menjadi budak di negeri sendiri dimana para
orang-orang terhormatnya adalah orang-orang asing dari negeri lain yang tidak
secara langsung menjajah negera ini. silahkan renungkan dengan kondisi yang
sekarang ini, sudahkah kita sadar wahai penduduk negeri yang indah nan subur
ini….akan kemanakah kita melangkah?
No comments:
Post a Comment