Kembali ke rumah merupakan ritual
setiap hari yang menyenangkan bagi seorang ayah sepertiku. Berkumpul bersama
anak-anak serta merasakan nyamannya rumah kecil kami. Rumah ku terletak di
pinggiran kota Bandung, dengan jarak tempuh antara rumah dan kantorku sekitar 1
jam dengan mengendarai motor maticku. Lumayan jauh menurut teman-temanku,
tetapi tidak menurutku. Semuanya aku lakukan dengan senang hati. Sedari dulu
aku mendambakan ketenangan tinggal di pinggir kota jika di bandingkan tengah
kota yang padat.
Dipinggir kota masih terasa nuansa
alam yang sejuk, penduduk yang masih ramah dan mudah bersosialisasi, selain itu
lalu lintas yang tidak begitu padat. Sehingga Aku bisa mengajak anak-anakku
bermain di taman tengah kompleks perumahan dekat rumahku, merasakan segarnya
alam. Karena lalu lintas yang tidak terlalu padat sehingga tidak perlu khawatir
jika anakku bermain di luar rumah. Sangat berbeda dengan kondisi di tengah
kota. Akses untuk tempat dan kebebasan bermain di luar rumah sangat sulit di
dapatkan. Kalaupun ada harus pergi ke Mall, sehingga menurutku mengganggu
tumbuh kembang anakku.
Aku sadar kami tinggal tidak di
kompleks mewah ataupun elit. Namun yang paling penting lingkungan sekitar masih
mendukung tumbuh kembangnya kedua anakku. Kedua anakku dinda dan azam merupakan
anak yang hyper aktif. Hal tersebut sudah kami sadari sebagai orang tuanya
semenjak mereka kecil. Tidak heran jika masih kecil umur 2 tahun mereka berdua
sudah bisa mengoperasikan komputer ayahnya, walaupun tujuannya hanya bermain
games komputer.
Dinda anakku yang pertama dan
sekarang sudah menginjak usia 7 tahun. Karena hyper aktivenya, semenjak kecil
sudah diarahkan untuk belajar menulis. Ia belajar untuk mencurahkan semua apa
yang ia lihat, ia rasakan, serta sebagai media untuk menyalurkan imajinasinya.
Hal ini sebagai usaha kami orang tuanya untuk meredam sifat hyper aktif menjadi
tindakan yang positif. Hal tersebut menurutku penting untuk meredakan emosional
sang anak yang kadang-kadang meledak, sehingga menjadi lebih jahil, nakal dan
kadang bertindak ekstrem yang dapat mencelakakan orang sekitarnya.
Azam yang menginjak usia 4 tahun
sudah mulai diarahkan untuk mengikuti jejak kakaknya. Namun untuk anak seusia
tersebut, media gambar serta pengenalan objek yang kami tanamkan. Bukannya
anak-anak pada usia tersebut lebih suka menerima sesuatu dalam bentuk gambar
bukan? Bahkan di biarkan lepas menggambar apapun yang ia suka. Ya,
menggambar...seperti sore hari ini ketika ku tiba bersama istriku dari tempat
berkerja.
"Papa, bunda...." teriak
serempak bandit bandit kecilku, ketika motorku tiba di depan rumah. Pengasuh
anak-anakku menahan azam agar tidak menghalangi motorku yang akan masuk ke
garasi rumah. Istriku terlebih dahulu mencium dan memeluk anak-anak, setelah
itu giliranku setelah memastikan motor pada tempatnya dan meletakkan helm dan
melepas sepatuku. Aku masuk dengan azam di gendonganku sedangkan dinda memeluk
dari belakang dan bergelantungan di leherku.
"dasar anak-anak. "
Pikirku, walaupun badan lelah tetapi semuanya sirna ketika bertemu kedua bandit
kecil ini. Sore ini bandit-bandit kecil ini begitu terlihat sangat manis dan
manja yang berlebihan. Biasanya tidak pernah meminta cium ataupun mau mencium,
biasanya tidak pernah mau digendong atau memeluk dari belakang. Ritual pulang
ke rumah biasanya mereka menyambut dengan heboh dan minta di peluk, setelah itu
kabur ke dalam rumah kembali bermain komputer ataupun membaca buku dan menonton
televisi.
"Ada yang aneh dengan
mereka," "perasaanku mengatakan pasti ada yang dilakukan oleh
bandit-bandit kecil ini." Pikir dugaanku.
"Mungkin azam merusakkan
komputer kembali, merusakkan pintu lemari es, merobek buku koleksi ayahnya,
memecahkan vas bunga, atau seperti kejadian yang terbaru kembali memecahkan jendela
" pikirku kembali, sambil mataku menerawang kaca-kaca pintu jendela, namun
semuanya masih seperti sedia kala.
Aku sudah berjanji untuk tidak
akan pernah marah kepada bandit-bandit kecil ini apapun yang mereka buat. Hal
tersebut masih kuanggap sifat alami mereka karena masih anak-anak. Harus di
arahkan perlahan-lahan tanpa adanya kekerasan. Itu sudah komitmen kami berdua
dengan istriku. Suara berisik aku dan anakku tertawa dan berteriak senang
sambil melangkah memasuki rumah, begitu hebohnya. Sekarang baru aku tahu apa
yang mereka lakukan....
Istriku dengan tersenyum berdiri
di ruang tamu, tersenyum lebar kepadaku lalu melihat azam dan dinda. Aku
tercengang melihat semua dinding penuh dengan coretan pensil, crayon bahkan
ballpoint. Dari ruang tamu, ruang keluarga, serta kamar tidur.
"Azam bun, dinda pas pulang
sekolah sudah begini." Seru dinda merasa tidak mau di salahkan dan merasa
tidak mau di hukum akibat perbuatannya.
Kalau menuduh azam tentu saja
orang tuanya tidak akan menghukum berat adiknya. Dinda tidak mau jika uang
jajannya di potong akibat kesalahannya. Namun ia pasti punya andil karena telah
sembarangan meletakkan crayon. Dinda pun lari ke arah buku bacaannya berusaha
untuk tidak terlibat pembicaraan mengenai hal tersebut seterusnya. Pengasuh anak
ku pun hanya tersenyum, ia memang tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sangat
melarang jika pengasuhku melarang atau pun memarahi anakku. Biarkan mereka
berkembang apa maunya.
"Azam, udah pintar
menggambar. Memang ini gambar apa sih sayang?" Tanyaku sambil berjongkok.
Azam hanya memandang tangan ku yang menunjuk coretan-coretan di dinding.
Memasang ekspresi malu-malu namun tampak serius menjawab pertanyaan ku.
" Ini pah, mau ngegambal kaya
teteh dinda.... Ini papa..., bunda, teteh." Kata anakku terbata-bata,
tersenyum malu dan sambil duduk di pangkuan sambil memeluk lenganku. Aku pun
tersenyum....memandang azam. Lalu mencium keningnya dan membiarkan anakku
berlari kembali bermain bersama mobil-mobilan dump truck-nya.
Terhenyak sendirian di ruang
keluarga, sambil mencari saluran televisi yang dapat menghiburku malam ini.
Istriku sedang menemani anak-anak untuk tidur. Sekali lagi ku pandangi coretan
dinding yang berwarna warni di dinding rumahku ini.
"Harus kembali di cat dan
azam di belikan papan tulis kecil," pikirku. Ku amati kembali coretan
coretan bandit bandit kecilku.
Aku pun tersenyum, teringat
beberapa tahun yang lalu ketika aku masih kecil dan duduk di bangku sekolah
dasar....
"Aan....kamu ini bagaimana
sih, itu kertas atau buku yang terpakai khan banyak," seru ibu memarahiku
karena telah mencoret dinding dapur.
"Tunggu ayahmu datang, habis
di marahi," lanjut ibuku. Aku pun beringsut takut. Ingat jika ayahku
marah, bakalan habis pantatku di pukul olehnya.
Aku pun kabur ke kamar ku dan
mengunci pintunya. Berusaha untuk tidur menghindari kemarahan ayahku, tetapi
tetap saja sore itu pukulan hadiah ayahku pun mendarat sukses di pantatku.
Namun keesokan harinya pun aku di
belikan white board oleh ayahku. Awalnya sangat menyenangkan Namun lama
kelamaan membosankan, karena whiteboard hanya bisa menggambar dengan satu warna
spidol hitam. Tidak seperti zaman sekarang dimana spidol sudah berwarna warni.
Aku pun berubah selera,
mencoret-coret di dalam buku tulis. Aku lebih suka menggambarkan bentuk-bentuk
mesin perang dan peperangan di dalam buku tulisku. Selain Menggambar pesawat
tempur, tank ataupun kapal laut aku pun gemar Menggambar detail-detail alam,
pepohonan ataupun objek benda mati lainnya. Tapi aku belum bisa jika untuk
menggambar detail manusia. Semuanya lebih suka ku curahkan dengan menggunakan
ballpoint jika di bandingkan dengan alat tulis lainnya. Entah kenapa, aku lebih
suka menggambar memakai ballpoint jika di bandingkan dengan pensil, pensil
crayon ataupun pensil berwarna lainnya. Menurutku menggunakan ballpoint lebih
terlihat nyata, berwarna, dan lebih luwes digerakkan.
Akhirnya kebiasaanku tercium oleh
ayahku. Kecurigaannya bermula dengan seringnya aku meminta uang untuk membeli
buku tulis baru. Dengan alasan banyaknya catatan dan pekerjaan rumah yang harus
aku kerjakan untuk kegiatan dan tugas sekolah.
Pada akhirnya di suatu hari yang
naas, aku pun tertangkap basah sedang asyik mencoret buku tulisku dimalam
sebelum tidur. Malam itu pun sukses aku mendapat dampratan serta pukulan lagi
di pantatku.
"Laen kali, papa lihat kamu
ngegambar yang aneh-aneh di buku tulis, papa patahkan
ballpointnya...ingat...buku tulis itu mahal...," seru ayahku.
“Beli teruss...beli teruss...kaya
anak orang kaya aja kamu," lanjut ayahku.
Ayahku membina keluarga kami
sangat sederhana. Tidak ada yang mewah di rumah kami, semuanya serba sederhana.
Namun segala kebutuhan terpenuhi dan masih tampak lebih baik di bandingkan
tetangga di sekitar kami. Mengenai kelengkapan dan perabotan rumah tangga baik
elektronik maupun bukan seadanya sesuai kebutuhan untuk menunjang kebutuhan
rumah tangga kami. Ayah ku pun pintar mengatur alokasi keuangan baik pendapatan
maupun pengeluaran. Sehingga memang serba ketat dan teratur. Ya intinya lah
agak sedikit pelit lah... Tidak heran jika ia tahu segala hal yang melebihi
budget pengeluarannya
Namun hal tersebut selalu terulang
dan terulang lagi. Entah kenapa, hasrat dan kegemaranku menggambar menggunakan
ballpoint sangat besar sekali. Hingga pada suatu ketika ayahku benar-benar
serius terhadap ancamannya. Ia pun marah besar dan benar-benar mematahkan semua
ballpoint yang aku punya lalu membantingnya di hadapanku.
"Sekali lagi ketauan papa
masih begini. Papa gak akan peduli, biayai sendiri sekolah kamu," seru
ayahku dan begitu nyaring di telingaku.
Namun hal tersebut tidak membuatku
kapok. Selalu ada waktu untuk mencurahkan kebiasaanku tersebut. Sehingga pada
suatu waktu bukuku habis semua. Ayah dan ibuku benar-benar tidak peduli tentang
rengekanku untuk membeli buku tulis baru. Setiap pr dan tugas aku selalu
meminta kertas ke teman-temanku. Akhirnya guru ku pun curiga dan memeriksa isi
tasku. Buku tulisku lengkap namun tidak ada isi yang kosong sama sekali.
Semuanya penuh dengan gambar-gambar yang aku buat. Aku pun memberikan alasan
kenapa tidak ada buku tulis baru di tasku. Dengan polos aku pun menceritakan
duduk permasalahannya. Pada akhirnya Orang tua ku pun di panggil dan di berikan
arahan mengenai permasalahanku. Namun...ternyata kedua orang tua dan guruku
menjadi sekongkol. Aku di hukum selama satu minggu untuk selalu menulis di
papan tulis, berdiri di depan kelas selama pelajaran beliau.
"Duuuh, sengsaranya..."
Aku benar-benar shock atas apa
yang aku alami, berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku pun berusaha untuk
melupakan kebiasaanku. Caranya aku merubah kebiasaanku, setiap belajar
menghapal aku pun menuliskannya di kertas ataupun buku bekas. Sehingga tanganku
terbiasa yang tadinya menggambar terarah menjadi menulis. Walaupun efeknya
malah tulisanku seperti dokter yang menulis resep. Membingungkan bagi orang
yang membacanya.
"Masa bodoh dengan penilaian
orang, terpenting di saat ujian aku bisa memperlambat tempoku menulis sehingga
tulisan ku bisa terbaca." Pikirku saat itu.
Kegemaranku menggambar tidak
berhenti begitu saja. Aku masih bisa menuangkan di saat pelajaran seni rupa di
sekolahku. Namun hanya seadanya saja, tidak menggebu gebu seperti sedia kala.
Keinginanku menuangkan objek gambar ke bentuk lukisan pun sekenanya saja. Tidak
ada keinginan untuk mempertajam atau melatih insting seni rupaku lagi. Aku pun
hanya sebagai penikmat hasil lukisan-lukisan orang lain dari buku-buku
perpustakaan atau referensi-referensi majalah.
Pernah suatu waktu aku minta di
belikan kuas dan cat air kepada ayahku namun permintaan tersebut tidak
diluluskan. Baru diluluskan ketika memang ada permintaan dari guru sekolahku
untuk praktek melukis di kelas. Itu pun aku sudah tidak memiliki keinginan
untuk melukis kembali. Waktu senggangku sekarang ku gunakan untuk membaca buku
ataupun komik-komik bergambar seperti tin tin, smurf, asterix dan obelix.
Ayahku juga mengijinkanku untuk berlangganan majalah bobo. Novel kesenanganku
dimasa kecil adalah Wiro sableng dan Pendekar Rajawali sakti...semua bisa
kuhabiskan dalam waktu 1 hari untuk membaca 1 buku.
Aku juga menjadi Anggota
perpustakaan di kantor Ayahku, Anggota perpustakaan di sekolah sampai anggota
perpustakaan daerah. Itu hanya untuk memuaskan hasratku membaca buku.
Keseharianku pun tetap seperti biasa, masih bermain bersama teman-temanku,
memancing ikan, bermain di kebun dekat hutan di belakang kampung, bermain sepak
bola.
Masa kecil yang dibilang
menyenangkan buat ku untuk aku kenang kembali. Aku sadari kemauan ayahku yang
tidak ingin aku menyukai dunia seni rupa. Membatasi anak untuk berkreasi dengan
menggambar akan membuat mereka tidak bisa kreatif dan imajinatif. Di masa kecil
pendekatan dengan gambar yang hanya bisa masuk ke dalam pikiran mereka.
Termasuk diriku ke tika kecil, imajinasiku tidak terbentuk kalau aku tidak di
perbolehkan menggambar. Padahal Imajinasi ini nanti yang akan membawaku
berkreasi dan menjadi imajinatif.
Namun akhirnya aku bisa menemukan
jalan dan cara lain untuk memuaskan dan menuangkan daya imajinasi dan kreatifku
dengan menulis. Untungnya guru-guru di sekolahku bisa membantu diriku untuk
menemukan apa yang aku butuhkan di luar rumah. Hal tersebut di support oleh
kedua orang tuaku, dengan mengijinkan seluruh akses ke buku-buku untuk
memuaskan rasa ingin tahu ku. Dengan dunia yang baru yaitu membaca, memang
sangat mengasyikkan. Mungkin karena pada saat itu rasa ingin tahuku sedang
sedemikian besarnya.
Namun perasaan ingin menggambar
terkadang menghinggapi perasaanku. Aku pun menuangkannya ke dalam bentuk
lukisan secara normal. Melalui pensil dan tidak menggunakan ballpoint. Itupun
hanya sketsa kasar dan tidak ada keinginan untuk mewarnai ataupun menuangkannya
ke dalam bentuk kanvas dan cat air ataupun cat minyak. Seperti yang sudah aku
utarakan sebelumnya, pelajaran seni rupa dalam bentuk cat air dan cat minyak
serta canvas sudah aku pelajari pada sekolah dasar. Namun perasaan sepeti itu
tidak menjadi sesuatu hal yang menyenangkan kembali.
Entahlah....
Apakah karena sudah mempunyai
perasaan yang trauma diakibatkan tekanan-tekanan dari orang tuaku yang tidak
ingin aku menggambar atau melukis. Para orang tua harusnya jangan takut kalau
nanti anaknya menjadi pelukis. Hobby boleh saja tetapi tidak akan menjadi
sandaran hidup juga khan kedepannya. Hal tersebut aku sadari ketika aku dewasa
dan berkuliah. Sebenarnya didikan orang tuaku tidak pernah aku vonis salah.
Mereka yang membentukku seperti ini tetapi karena mereka juga aku bisa menulis,
menuangkan isi pikiran kreatifku, selain aku menyukai dunia seni rupa walaupun
pada akhirnya tidak bisa melukis. Tidak ku sesali sampai sekarang. Toh sekarang
posisiku sebagai orang tua. Aku berjanji tidak seperti ayahku yang keras dalam
membina kami anaknya. Tetapi suatu saat orang tuaku bisa berubah dan menyadari
kesalahan yang mereka lakukan semasa ku kecil....
Kelas 1-6 sekolah dasar ku lalui
dengan sukses. Hingga pada saatnya aku sebentar lagi aku akan menginjakkan kaki
di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ujian akhir sudah kami lewati. Seperti
biasanya, untuk anak-anak di bangku kelas 6 sebelum pengumuman kelulusan,
selama seminggu kami mengadakan Class Meeting. Acara ini semacam pertandingan
antar kelas 6, dari 6A-6D. Aku pun mendapatkan bagian berpartisipasi, baik di
olah raga maupun pertandingan lainnya, termasuk salah satunya adalah melukis.
Entah apa yang membuat ibu guru
Wali Kelas menunjukku. Padahal ketika aku di kelas 2 beliau yang membuatku
kapok untuk menggambar di buku menggunakan ballpoint. Di kompetisi tersebut,
aku menunjukkan bakatku. Akhirnya aku menjadi pemenang juara umum satu sekolah.
Untuk pertama dan terakhir kalinya.
Ayahku tersadar akan kemampuanku.
Setelah kejadian tersebut, aku di berikan kebebasan sebesar-besarnya untuk
menentukan jalan hidupku sendiri. Terkadang memang orang tua harus di berikan
kejutan...setelah mengalami masa di sekolah dasar, aku pun disibukkan untuk
kegiatanku menatap masa depanku. Namun menggambar tidak lagi menjadi prioritas
utamaku lagi. Masih banyak ternyata dalam kehidupan ini yang menarik untuk di
simak dan di pelajari. Kesitulah aku berkecimpung, mendalami hingga menguasai
berbagai disiplin ilmu, hingga kini.
Wahai orang tua, anakmu hidup
mengharapkan bimbinganmu, tetapi bukan kau batasi langkah dan kemauannya. Suatu
saat anakmu juga akan menjadi orang tua dan ia yang akan menentukan bagaimana
ia bersikap untuk mendidik anak-anaknya, seperti ayahnya kah atau lebih baik
lagi...
Aku
tersadar dalam lamunanku, ketika azam tiba-tiba sudah berada disampingku.
"Pah,
lagi ngapain?" Tanyanya singkat.
"Lagi
mengagumi gambar-gambarnya azam yang didinding," sambil tersenyum dan
mengangkat anakku duduk di pangkuanku.
"Kok
belum tidur,"tanyaku sambil membelai rambut anakku dan menciumnya.
"Pengen
di temenin papah, " jawab azam singkat.
"Itu
gambar papah, bunda dan teteh dinda," seru anakku sambil menunjuk coretan
di dinding ruang keluarga.
"Bagus
ya pah," seru azam kembali.
"Yah,
bagus...,"jawabku...
"Memang
azam mau jadi apa sih," tanya anakku.
Azam pun
bingung, menatap coretan dindingnya kembali, lalu berseru dan mengacungkan
tangannya dengan jari telunjuk teracung ke depan.
"mau
jadi olang yang bisa buat pesawat," serunya melompat dari pangkuanku dan
mengambil mainan pesawat rakit yang baru seminggu di belikan lalu kembali ke
hadapanku.
"Bisa
telbang, pergi kemana aja, menembak olang yang jahat, dualll dualll, "seru
anakku...
Aku hanya
tertawa melihat tingkah anakku.
"amienn
amieeen," seruku dalam hati, papa akan berusaha di masa yang sulit ini
dengan biaya sekolah yang tinggi untuk menyekolahkan mu azam, sampai tercapai
cita citamu...
Desember
2012