Sunday, April 30, 2023

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO




Jam menunjukkan pukul 4.35 sore. "15 menit lagi sampai,"pikirku setelah melihat jam yang ada di pintu masuk gerbong, bersamaan dengan selesainya pengumuman dari staf kereta api akan tibanya kereta api ini di Stasiun tugu Yogyakarta.

Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Yogyakarta, turun dari gerbong kereta api ada rasa haru yang menyelimuti diriku. Jiwa petualang semenjak aku mengeyam pendidikan di Sekolah Menengah Umum terus menerus menuntut diriku untuk melihat suasana suasana kota di daerah daerah lain khususnya Indonesia. Semenjak sekolah berbagai daerah pernah aku jelajahi namun sayangnya belum pernah sekalipun ke daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur ataupun daerah lain di bagian Indonesia bagian timur selain Sumatera dan Jawa Barat. Menginjak kuliah dan bergabung dengan Mapala juga hanya gunung-gunung yang ada di Sumatera dan Jawa Barat saja aku jelajahi.

Beruntungnya diriku selepas lulus kuliah ini mendapatkan perkerjaan sebagai supervisor retail. Bukan kebetulan juga ternyata daerah yang menjadi tanggung jawabku adalah Indonesia bagian Timur. Senangnya hatiku mendapatkan perkerjaan ini, artinya aku bisa melihat kondisi dan berkenalan langsung dengan kota kota yang ada didaerah Indonesia Bagian Timur. Tugas pertama ku adalah berkenalan dengan area Jawa tengah. Aku mulai dari Yogyakarta, solo lalu semarang, karena di 3 kota itulah terdapat outlet brand perusahaanku.

Disinilah aku sekarang berada, Stasiun tugu, pintu gerbang masuk Yogyakarta jika menggunakan transportasi Kereta Api. Stasiun dengan media informasi yang memanjakan pengunjungnya dengan 3 bahasa, yaitu Indonesia, Inggris dan bahasa Jawa. Stasiun yang bergaya asitektur khas Eropa dengan pintu pintu yang besar berwarna coklat dan langit langit yang tinggi. Gaya asitektur kolonial Belandanya sangat kental jika kita keluar dari stasiun karena bentuk aslinya masih terlihat. Menurut info yang saya dapatkan bahwa stasiun ini didirikan pada tahun 1887, wajar jika arsitekturnya masih bergaya kolonial.

           Keluar dari stasiun tampak berjejer rapi para penjaja jasa angkutan becak. Para tukang becak yang sambil bercanda melempar senyum dan tawaran kepada para pendatang bahkan sesekali saling bercanda antar tukang becak, riuh teman-temannya tertawa dan berteriak.

Saya pun mendekati salah satu tukang becak.

"Bang, ke Mall Galeria yogya, pinten pak?" Tanyaku, ini bekal yang aku dapatkan dari tetanggaku orang yogya, pakai bahasa setengah jawa setengah Indonesia, akhirnya dapatlah kata-kata pinten, yang artinya berapa. Kata ini dipakai untuk menanyakan harga secara sopan. Itu menurut penuturan tetanggaku.

"Biar gak di kasih harga mahal mas,"itu penuturan tetanggaku.

Tapi menurutku bukan arti mahalnya untuk belajar mengetahui bahasa daerah lain, tapi belajar untuk supaya bisa berbaur dan bekomunikasi dengan mereka, itu sesuatu yang mahal menurutku. Banyak sesuatu yang bisa saya dapatkan jika mengerti bahasa suatu daerah. Akhirnya pak warno, si tukang becak pun mengantarkanku ke tujuan. Selama dalam perjalanan aku pun menanyakan kondisi keluarga pak Warno dan alasannya kenapa masih menjadi tukang becak, padahal perkerjaan lainnya masih banyak seperti menjadi kenek angkot, sopir angkot, berjualan di pasar.

Dengan tanpa malu malu dan sedikit bangga dalam nada suaranya, pak Warno bercerita. Dari becak dia bisa membawa semangat ke dalam diri anak anaknya supaya tidak seperti bapaknya, membawa inspirasi bahwa hidup itu adalah suatu perjalanan yang sulit namun jika di rencanakan dari dini akan terlihat hasilnya serta perencanaan yang matang mau di bawa kemana hidup ini, dari becak juga membawa daya juang bagi anak anaknya bahwa hidup ini seperti roda, dan dari becak juga membuat mental anak anak pak warno tidak goyah dalam meniti hidup.

Pak Warno mempunyai dua orang anak laki laki dan semuanya bertitel sarjana serta sudah berkerja di Jakarta. Tidak ada penghasilan lain dari pak Warno selain membecak. Namun bukan materi yang di berikan pak Warno kepada anak anaknya namun nasehat dan nasehat serta semangat selalu disodorkan untuk disantap anaknya sebagai makanan penutup setiap hari. Bukan buah buahan atau sop seperti orang kaya santap sebagai makanan penutup namun petuah yang bijak dari seorang Ayah yang sayang kepada anak anaknya.

"Alhamdulliah, anak anak pada mengerti mas dengan kondisi orang tuanya, mereka berprestasi, biaya pendidikan semuanya berasal dari beasiswa dan beasiswa sampai akhirnya ke perguruan tinggi." Ujar pak Warno.

"Pada kuliah dimana pak, anak anaknya," tanyaku.

"Gak jauh jauh mas, keduanya lulusan UGM,"pak Warno menjawab sampil tersenyum lugu.

Aku pun terpatri menatap jalanan di depanku mendengar setiap perkataan pak warno. Luar biasa perjuangannya, luar biasa kegigihannya dalam mendidik anak anaknya. Karena aku sendiri tidak akan mampu mendidik anak anakku hanya dengan nasehat-nasehat. Butuh kesadaran emosi dari diri pak warno sendiri serta kesadaran batiniah dari anak anaknya. Mungkin ini yang dinamakan hidup prihatin namun di jalani dengan kesungguhan, keikhlasan dalam menerima hidup yang pada akhirnya mendapatkan kesadaran dari diri anak anaknya bahwa mereka suatu saat nanti tidak akan seperti ayahnya.

Suatu cerita yang menginspirasiku selama perjalanan ini, bahwa tidak semua pendidikan membutuhkan uang banyak. Hanya dari kesadaran diri anaknyalah untuk merangsang supaya berpikir bisa maju. Namun metode menciptakan dan merangsang timbulnya kesadaran diri anak anaknya lah yang sulit.

Namun dari cerita pak warno, ia tidak membutuhkan seorang yang ahli sebagai guru bahkan sebuah buku untuk di praktekkan ataupun metode lainnya, hanya untuk merangsang dan menciptakan anak anaknya supaya berpikir maju. Hanya dengan cara nasehat, memberikan contoh konkret, intinya adalah komunikasi. Selalu berkomunikasi dengan anak-anaknya lah rahasia yang terbaik dari pak Warno mendidik anaknya.

"Bapak kok masih narik becak, padahal anak anak khan udah sukses?" Tanyaku menyelidik.

Dengan tertawa renyah dan menarik napas pak Warno pun berkata, "hanya untuk bisa berguna bagi orang lain mas, saya narik becak untuk bisa beramal, bukannya berkerja itu mencari pahala juga toh? Sampeyan tadi khan nanya ke Galeria berapa? Saya khan jawab seikhlasnya sampeyan saja, tapi sampeyan bilang pengen tarif biasanya, ya saya kasih 30rb krn tidak enak dengan teman teman saya yang sudah menetapkan tarif." Seru pak Warno dengan logat jawanya yang kental.

Aku pun tertawa mendengarnya, "aneh juga pikirku, kok jaman sekarang masih ada yang seperti ini? Mungkin ada tapi diantara 40 tukang becak mungkin hanya ada satu, ya ini pak warno.


No comments:

Post a Comment

POTRET SENJA SEORANG PAK WARNO