Jam
menunjukkan pukul 4.35 sore. "15 menit lagi sampai,"pikirku setelah
melihat jam yang ada di pintu masuk gerbong, bersamaan dengan selesainya
pengumuman dari staf kereta api akan tibanya kereta api ini di Stasiun tugu
Yogyakarta.
Ini
pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Yogyakarta, turun dari gerbong kereta
api ada rasa haru yang menyelimuti diriku. Jiwa petualang semenjak aku mengeyam
pendidikan di Sekolah Menengah Umum terus menerus menuntut diriku untuk melihat
suasana suasana kota di daerah daerah lain khususnya Indonesia. Semenjak
sekolah berbagai daerah pernah aku jelajahi namun sayangnya belum pernah
sekalipun ke daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur ataupun daerah lain di bagian
Indonesia bagian timur selain Sumatera dan Jawa Barat. Menginjak kuliah dan
bergabung dengan Mapala juga hanya gunung-gunung yang ada di Sumatera dan Jawa
Barat saja aku jelajahi.
Beruntungnya
diriku selepas lulus kuliah ini mendapatkan perkerjaan sebagai supervisor
retail. Bukan kebetulan juga ternyata daerah yang menjadi tanggung jawabku
adalah Indonesia bagian Timur. Senangnya hatiku mendapatkan perkerjaan ini,
artinya aku bisa melihat kondisi dan berkenalan langsung dengan kota kota yang
ada didaerah Indonesia Bagian Timur. Tugas pertama ku adalah berkenalan dengan
area Jawa tengah. Aku mulai dari Yogyakarta, solo lalu semarang, karena di 3
kota itulah terdapat outlet brand perusahaanku.
Disinilah
aku sekarang berada, Stasiun tugu, pintu gerbang masuk Yogyakarta jika
menggunakan transportasi Kereta Api. Stasiun dengan media informasi yang
memanjakan pengunjungnya dengan 3 bahasa, yaitu Indonesia, Inggris dan bahasa
Jawa. Stasiun yang bergaya asitektur khas Eropa dengan pintu pintu yang besar
berwarna coklat dan langit langit yang tinggi. Gaya asitektur kolonial
Belandanya sangat kental jika kita keluar dari stasiun karena bentuk aslinya
masih terlihat. Menurut info yang saya dapatkan bahwa stasiun ini didirikan
pada tahun 1887, wajar jika arsitekturnya masih bergaya kolonial.
Keluar dari stasiun tampak berjejer rapi para
penjaja jasa angkutan becak. Para tukang becak yang sambil bercanda melempar
senyum dan tawaran kepada para pendatang bahkan sesekali saling bercanda antar
tukang becak, riuh teman-temannya tertawa dan berteriak.
Saya pun
mendekati salah satu tukang becak.
"Bang,
ke Mall Galeria yogya, pinten pak?" Tanyaku, ini bekal yang aku dapatkan
dari tetanggaku orang yogya, pakai bahasa setengah jawa setengah Indonesia,
akhirnya dapatlah kata-kata pinten, yang artinya berapa. Kata ini dipakai untuk
menanyakan harga secara sopan. Itu menurut penuturan tetanggaku.
"Biar
gak di kasih harga mahal mas,"itu penuturan tetanggaku.
Tapi
menurutku bukan arti mahalnya untuk belajar mengetahui bahasa daerah lain, tapi
belajar untuk supaya bisa berbaur dan bekomunikasi dengan mereka, itu sesuatu
yang mahal menurutku. Banyak sesuatu yang bisa saya dapatkan jika mengerti
bahasa suatu daerah. Akhirnya pak warno, si tukang becak pun mengantarkanku ke
tujuan. Selama dalam perjalanan aku pun menanyakan kondisi keluarga pak Warno
dan alasannya kenapa masih menjadi tukang becak, padahal perkerjaan lainnya
masih banyak seperti menjadi kenek angkot, sopir angkot, berjualan di pasar.
Dengan
tanpa malu malu dan sedikit bangga dalam nada suaranya, pak Warno bercerita.
Dari becak dia bisa membawa semangat ke dalam diri anak anaknya supaya tidak
seperti bapaknya, membawa inspirasi bahwa hidup itu adalah suatu perjalanan
yang sulit namun jika di rencanakan dari dini akan terlihat hasilnya serta
perencanaan yang matang mau di bawa kemana hidup ini, dari becak juga membawa
daya juang bagi anak anaknya bahwa hidup ini seperti roda, dan dari becak juga
membuat mental anak anak pak warno tidak goyah dalam meniti hidup.
Pak Warno
mempunyai dua orang anak laki laki dan semuanya bertitel sarjana serta sudah
berkerja di Jakarta. Tidak ada penghasilan lain dari pak Warno selain membecak.
Namun bukan materi yang di berikan pak Warno kepada anak anaknya namun nasehat
dan nasehat serta semangat selalu disodorkan untuk disantap anaknya sebagai
makanan penutup setiap hari. Bukan buah buahan atau sop seperti orang kaya
santap sebagai makanan penutup namun petuah yang bijak dari seorang Ayah yang
sayang kepada anak anaknya.
"Alhamdulliah,
anak anak pada mengerti mas dengan kondisi orang tuanya, mereka berprestasi,
biaya pendidikan semuanya berasal dari beasiswa dan beasiswa sampai akhirnya ke
perguruan tinggi." Ujar pak Warno.
"Pada
kuliah dimana pak, anak anaknya," tanyaku.
"Gak
jauh jauh mas, keduanya lulusan UGM,"pak Warno menjawab sampil tersenyum
lugu.
Aku pun
terpatri menatap jalanan di depanku mendengar setiap perkataan pak warno. Luar
biasa perjuangannya, luar biasa kegigihannya dalam mendidik anak anaknya.
Karena aku sendiri tidak akan mampu mendidik anak anakku hanya dengan
nasehat-nasehat. Butuh kesadaran emosi dari diri pak warno sendiri serta
kesadaran batiniah dari anak anaknya. Mungkin ini yang dinamakan hidup prihatin
namun di jalani dengan kesungguhan, keikhlasan dalam menerima hidup yang pada
akhirnya mendapatkan kesadaran dari diri anak anaknya bahwa mereka suatu saat
nanti tidak akan seperti ayahnya.
Suatu
cerita yang menginspirasiku selama perjalanan ini, bahwa tidak semua pendidikan
membutuhkan uang banyak. Hanya dari kesadaran diri anaknyalah untuk merangsang
supaya berpikir bisa maju. Namun metode menciptakan dan merangsang timbulnya
kesadaran diri anak anaknya lah yang sulit.
Namun dari
cerita pak warno, ia tidak membutuhkan seorang yang ahli sebagai guru bahkan
sebuah buku untuk di praktekkan ataupun metode lainnya, hanya untuk merangsang
dan menciptakan anak anaknya supaya berpikir maju. Hanya dengan cara nasehat,
memberikan contoh konkret, intinya adalah komunikasi. Selalu berkomunikasi
dengan anak-anaknya lah rahasia yang terbaik dari pak Warno mendidik anaknya.
"Bapak
kok masih narik becak, padahal anak anak khan udah sukses?" Tanyaku
menyelidik.
Dengan
tertawa renyah dan menarik napas pak Warno pun berkata, "hanya untuk bisa
berguna bagi orang lain mas, saya narik becak untuk bisa beramal, bukannya
berkerja itu mencari pahala juga toh? Sampeyan tadi khan nanya ke Galeria
berapa? Saya khan jawab seikhlasnya sampeyan saja, tapi sampeyan bilang pengen
tarif biasanya, ya saya kasih 30rb krn tidak enak dengan teman teman saya yang
sudah menetapkan tarif." Seru pak Warno dengan logat jawanya yang kental.
Aku pun
tertawa mendengarnya, "aneh juga pikirku, kok jaman sekarang masih ada yang
seperti ini? Mungkin ada tapi diantara 40 tukang becak mungkin hanya ada satu,
ya ini pak warno.
No comments:
Post a Comment