Siapa yang
tidak mengenal burung Kutilang. Suaranya yang khas dan merdu serta ekor khasnya
yang panjang membuat burun ini di buru oleh penggemar burung. Aku yang masih 10
tahun ini tidak pernah mengerti sama sekali kenapa burung ini digemari. Yang
kutahu dari teman temanku adalah bahwa setiap hari minggu di pasar burung
selalu ramai diadakan kontes suara burung kutilang yang paling merdu. Sama
sekali juga tidak ku mengerti, karena ku pikir suaranya juga sama saja antara
burung kutilang satu dengan kutilang yang lainnya. Entahlah, aku juga belum
pernah melihat sama sekali pertandingan adu suara burung. Setiap aku menemani
ibu ke pasar, ibu ku pasti menolak permintaanku untuk melewati pasar burung.
Alasannya
adalah "daerah itu bau dan kotor, banyak penyakitnya," seru ibuku
berkelit. Untuk menutup mulutku supaya tidak merengek terlalu lama akhirnya ibu
ku pun pasti menjanjikan untuk membeli martabak har kesukaanku.
Martabak
ini terbuat dari telur bebek dan di goreng pada pengorengan yang besar sekali.
Setelah masak martabak ini di kasih kuah daging bercampur kentang serta sedikit
cuka bercampur cabai.
"Hmmm,
Enaknya muantabbb banget," seruku. Aku tidak akan bisa menolak jika ibu
membelikanku martabak, karena hanya dengan ini keinginanku yang lain pasti
lumer di lidahku bercampur dengan enaknya martabak har atau juga di sebut
martabak tambi bagi sebagian penduduk Palembang.
Di
kampungku, burung kutilang masih hidup bebas di daerah perkebunan dekat
kampungku. Seperti sabtu siang ini sehabis pulang sekolah, aku dan teman
temanku merencanakan untuk bermain di kebun. Aku menyiapkan joran bambu
pancingku, umpan serta ember kecil. Peralatan ini harus selalu di bawa jika
untuk tujuan ke kebun. Walaupun memang aku tidak pernah punya lahan kebun di
daerah hutan yang baru di buka, namun ada kesenangan tersendiri untuk bermain
disana. Sebagian besar teman-temanku muchlis, amir dan jul pun juga tidak
mempunyai lahan kebun. Para orang tua kami kebanyakan pedagang dan buruh pabrik
di perusahaan pupuk yang terkenal di Palembang ini.
Selain
merencanakan untuk memancing, kegiatan kami adalah mencari anak burung kutilang
serta membuat perangkap untuk burung puyuh. Kami rasa kegiatan mencari anak
burung kutilang tidak berguna dan tidak mengasyikkan sama sekali, namun ada
keinginan besar bahwa kami mampu merawat anak burung kutilang. Keinginan
tersebut timbul ketika aku dan teman-temanku mendengarkan cerita pak arief
kemarin sore. Beliau menceritakan pengalaman dimasa mudanya menemukan lalu
merawat anak burung kutilang hingga dewasa. Menurut kabar di kampung kami juga
bahwa burung kutilangnya pak arif sangat jinak sekali. Pak arif merupakan salah
satu sepuh kampung kami. Beliau merupakan orang tertua yang mendiami kampung
setelah di tinggalkan oleh penjajah Belanda. Mendengar cerita pak arif itulah
timbul obsesi kecil kami...
Setelah
memasuki daerah perkebunan, kami menemukan sebuah sungai kecil yang pas untuk
menajur joran. Setelah berebut untuk menajur joran di tempat yang tepat, kami
pun bersaing memeriksa rerimbunan batang lengkuas. Kutilang di kebun ini memang
paling senang untuk membuat sarang di rerimbunan batang lengkuas. Jadi tidak
heran sasaran pertama kali kami adalah rerimbunan batang lengkuas yang tidak
jauh letaknya dari sungai kecil tempat kami menajur joran. Tidak beberapa lama
kami pun mendapatkan apa yang kami inginkan. Sebuah sarang dengan tiga ekor
anak kutilang. Dengan senang hati kami pun berbagi bertiga, aku, muklis dan
amir. Sedangkan jul sama sekali tidak berniat untuk memelihara.
"Gak
lah, bikin repot saja, aku tak bisa untuk merawatnya nanti malah mati
lagi?" Kata jul menolak. Anak burung tersebut aku tempatkan di sebuah
kotak kayu kecil yang sengaja aku sediakan dari rumah. Kotak kayu itu aku isi
dan di tata dengan rerumputan kering di dalamnya, sehingga sang anak burung
nyaman di dalamnya. dengan senang kami pun kembali ke sungai kecil.
"Burung
ku akan ku beri nama si manis," seru ku berteriak. amir dan muklis pun
berebut untuk menemukan nama yang tepat dan cuku[ keren.
Ketika
sudah sampai ditempat masing masing-masing joran, ternyata ikan pun sudah siap
menempel di kail kami masing-masing cuma joran muklis yang kurang beruntung.
dengan tertawa senang kami pun mengejek muklis yang dengan bersungut sungut
memindahkan jorannya untuk menajur di tempat lain.
"Hei,
kita belum memasang perangkap untuk burung puyuh," teriak amir.
"Ya
benar juga." Seru jul. Jul yang paling ahli memasang perangkap, segera
bersiap siap mencari tempat yang pas.
Biasanya
kami melacak dengan melihat jejak-jejak kaki burung yang ada di lumpur
perkebunan. Kebetulan kami menemukan tempat yang pas. Banyak jejak kaki burung
di tempat tersebut. Peralatan untuk menjerat hanyalah sebuah bambu yang bisa di
lengkungkan dan ujungnya di ikat dengan tali. Batang buluh bambu tersebut di
tanam yang dalam ke tanah, lalu tali yang sudah diikatkan di bambu tersebut di
tarik ke bawah. Untuk menahan agar tetap melengkung di tengah tali diikatkan
kayu kecil dengan panjang 5 cm, lalu di selipkan ke batang bambu kecil. Batang
bambu kecil di tanam di dalam tanah dengan membentuk setengah lingkaran. Tali
untuk menjerat dilingkarkan di tanah sekitar tersebut lalu dikasih palang kayu.
Jika burung tersebut menginjak palang kayu, palang kayu akan menekan kayu kecil
5 cm tadi lalu akan melepaskan batang bambu dengan bebas naik ke atas. Otomatis
tali jerat akan menjerat kaki si burung ketika batang bambu naik ke atas.
Dengan
cekatan jul memasang jerat tersebut. Berkali kali dia menguji jerat tersebut
supaya dengan beban burung bisa melepaskan kayu kecil 5 cm tersebut untuk naik
dan menjerat kaki sang burung. Ketika di rasa siap, kami pun meninggalkan area
jerat kembali ke sungai kecil.
"Hei,
lihat..." Seru ku, aku menunjuk seekor ular belang sepanjang setengeh
meter menghadang perjalanan kami menuju tempat joran. Jul dan amir yang paling
takut ular menjerit ketakutan.
"Tenang...tenang,"
kata muklis. "Ular paling takut kalau kita membawa buluh bambu,"
sambungnya.
Ia yang
kebetulan masih membawa buluh bambu sisa jerat, mengayunkan buluh bambu ke ular
tersebut. Benar saja ular itu pun menjauh dari tempat kami dan hilang di antara
rimbunnya rerumputan ilalang. Kami pun tertawa lega lalu kembali berjalan
menuju sungai tempat joran kami berada. muklis yang dengan pongah menepuk-nepuk
dadanya,
"alaaah,
sama ular saja takut, "serunya melampiaskan kekesalannya karena sebelumnya
di ejek habis habisan.
Area
perkebunan ini baru di buka beberapa bulan yang lalu. Sebelumnya daerah ini
adalah daerah hutan dengan di tumbuhi ilalang ilalang yang lebat serta
rawa-rawa. Wajar di penuhi rawa karena tempatnya tidak jauh dari sungai Musi.
Tidak heran masih kami temukan bianatang-binatang melata yang berkeliaran di hutan
ini. Sebelumnya memang sudah diingatkan oleh orang tua kami, namun rasa keingin
tahuan yang besar sehingga mengalahkan rasa takut kami.
Setiap
akhir minggu banyak kami habiskan waktu di kebun luas ini. Kebanyakan
kebun-kebun ini pemiliknya berada jauh di kampung sebelah atau bahkan hanya
secara iseng berkebun dan di tinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Hal ini
terlihat dari kondisi kebun yang tidak terurus ditumbuhi oleh rerumputan liar.
Sehingga tidak heran kami sangat leluasa untuk melakukan apapun terhadap
kebun-kebun yang tidak terurus. Kami berani untuk mengambil hasil kebunnya
seperti nanas, singkong dan ubi jalar. Nanas biasanya kami makan bersama garam,
sedangkan singkong dan ubi jalar kami bakar bersama dengan ikan hasil
memancing. namun terkadang kami juga menanam di tempat tersebut supaya suatu
saat nanti dapat kami petik hasilnya.
Di kebun
ini selain kami dapat menikmati hasil kebun orang lain, kami juga dapat
menikmati segarnya bermain di air rawa. Kebanyakan airnya bersih dan tidak
terlalu dalam sehingga dengan bebas dan tanpa kuatir arus yang deras kami dapat
berenang di tengah teriknya panas matahari. Namun kami juga harus berhati-hati
terhadap binatang melata liar terutama ular air. untungnya selama kami bermain
di kebun ini, belum pernah ada yang celaka di gigit binatang. paling juga di
gigit semut hitam atau pun semut geranggang pohon. Selain bermain dengan
alamnya kami pun memanfaatkan area kebun sebagai tempat bermain layang-layang
yang paling aman selama musim kemarau. Karena anginnya yang kencang serta tidak
adanya pohon-pohon yang tinggi serta tiang listrik.
"Aha,
teriakku, "udah lima ekor nih..." Seruku memanas manasi
teman-temanku. Kebanyakan hasil yang ku tangkap hari ini adalah ikan juaro
(ikan ini banyak hidup di rawa rawa, seperti lele mempunyai kumis dan lebih
kecil).
"cuit...cuit...cuit..cuit"
tiba-tiba kudengar suara tersebut. Suara tersebut kembali berulang. Asalnya
dari kotak penyimpanan anak burung kutilang. Suara itu pun juga terdengar di
kotak penyimpanan muklis dan amir seperti sambung menyambung dan mempunyai
naluri batin yang kuat. Anak burung tersebut terliat mencuap cuap dengan mulut
menengadah ke atas. Naluriku mungkin mereka kelaparan.
"Dikasih
makan apa ya?," seruku terlihat bingung sambil menatap si anak burung.
"Kasih
cacing aja, burung khan biasanya makan cacing," seru muklis.
Kami pun
mengaminkan ucapan muklis dan segera mengambil umpan cacing kami. Namun
beberapa suap cacing yang kami berikan, anak burung ini masih mencuap cuap
juga. Padahal tembolok sang burung sudah menggembung tanda ke kekenyangan.
Dengan putus asa, aku pun berembuk dengan teman-temanku.
"lebih
baik kita kembalikan saja anak burung ini pada induknya," saran ku.
"Iya,
tidak tega juga jika anak burung ini di pisahkan dari orang tuanya, kalau mati
kita juga akan berdosa...," seru amir terpotong.
"Aku
kan sudah bilang dari tadi, kalian masih gak percaya. Memelihara burung itu
repot apalagi mau memelihara anaknya," rentet jul memotong ucapan amir.
"Iyalah,
kita kembalikan saja, "seru muklis dengan berat hati dan berjalan ke arah
rerimbunan batang lengkuas tempat sarang burung kutilang ini.
Setelah
dengan benar meletakkan ketiga anak burung tersebut. Bergegas kami membereskan
peralatan kami untuk pulang ke rumah. Hari sudah menjelang sore, dari jauh
terdengar sayup sayup suara orang mengaji yang keluar dari pengeras suara
mesjid yang menandakan sebentar lagi Salat Magrib. Tidak lupa kami pun mengecek
jerat siapa tau mendapatkan hasil, namun belum rejeki karena jerat masih
seperti sedia kala. Mungkin esok hari kami akan kembali dan mudah mudahan
jeratnya akan mendapatkan hasil.
Sepanjang
jalan, aku mendengar suara kutilang mencuit nyaring seakan berteriak kegirangan
dari arah rimbunan batang lengkuas. Kegirangan karena anaknya kembali seperti
semula ketika di tinggalkan. Ada perasaan bersalah juga sudah berniat mengambil
anak burung kutilang padahal induknya masih ada. Aku pun berpikir mungkin akan
sama halnya jika aku suatu waktu kehilangan anakku. Sangat sedih dan seakan
dunia hilang dari pandanganku sama hal nya seperti sore ini yang sebentar lagi
akan tenggelam akan gelapnya malam. Diam diam dalam hati aku berbisik
"berjanji tidak akan mengulangi hal yang sedemikian bodohnya."
No comments:
Post a Comment